Jumat, 29 Maret 2013

RELASI AL-QURAN DAN ILMU PENGETAHUAN.

Oleh: Tauhedi As'ad Pendahuluan Pada dasarnya ilmu pengetahuan merupakan sarana obyekfitas yang berhubungan dengan alam pikiran dan akal manusia. Perbedaan manusia dengan makhluk lain terletak pada akal yang berfungsi. Ilmu pengetahuan sebagai alat memahami akan sesuatu untuk mengetahui kebenaran yang obyektif. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia dengan akalnya bisa menentukan arah oreintasi hidup yang bermanfaat bagi alam semesta, sehingga manusia dengan ilmunya mampu berbuat dan mendomanisi. Perkembangan ilmu pengetahuan mulai sejak awal manusia ada sampai berdirinya yang disebut dengan Ilmu pengetahuan dan Teknologi. Sementara pandangan Islam yang dijelaskan dalam al-Quran hanya membicarakan tentang keteraturan alam raya untuk tidak benturan dengan alam yang lain. Dengan bekal lmu pengetahuanpun, manusia menjadi fenomena, sehingga manusia mampu melakukan tugas dimuka bumi. Banyak ayat-ayat al-Quran yang membahas tentang ilmu pengetahuan dan struktur penciptaan secara teratur agar alam terjaga dengan baik. Sehingga alam berjalannya dengan porosnya, oleh karenanya, seorang ahli filsafat menyatakan bahwa "manusia adalah alam kecil dan alam adalah manusia besar". Artinya manusia melakukan tugasnya sebagai pemimpin dibumi dengan baik maka alampun juga akan baik, jika manusia tidak berbuat baik maka alampun juga tidak akan berbuat baik. Jadi Sunnahtullah berlaku bagi manusia yang berakal untuk memanfaatkan alam ciptaannya agar alam menjadi persahabatan terhadap penghuni di alam raya ini. Inilah konsep dasar ilmu pengetahuan sesuai dengan dasar-dasar al-Quran yang diperuntukkan bagi manusia untuk dikelolah secara baik sesuai dengan kebutuhan zamannya. Agar ilmu pengetahuan tidak berikibat pada kesalahan berpikir sesuai dengan fungsi kode etik manusia sebagai makhluk yang bermoral. Tulisan ini mendeskripsikan ilmu pengetahuan secara tematik yang beroreintasi pada kesadaran manusia sesuai dengan nilai-nilai Quranik. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Perkembangan ilmu pengetahuan dilihat dalam konteks sejarah sekitar mulai abad 6 masehi dengan munculnya dongeng yang sering dijadikan referensi ilmu pengetahuan manusia. Ilmu pengetahuan Yunani kuno hanya berkisar pada pengetahuan tentang mitos yang melangit dengan manusia untuk mencari penjelesan tentang kejadian alam semesta melalui mite. Ada dua bentuk mite yang berkembang menjadi dua, yakni mite kosmogenis yang mencari asal-usul kejadian alam semesta dan mite kosmologis yang mencari asal-asul alam semesta serta sifat kejadian alam semesta. Konsep perkembangan ilmu pengetahuan mulai dari Tales sampai kontemporar lebih cenderung kecorak mite kosmologis yang memadukan antara kejadian asal-asul alam dengan sifat kejadian peristiwa alam. Pandangan konsep ini merupakan awal permulaan ilmu pengetahuan manusia untuk mencari dan berpikir tentang alam yang kosmosentris sehingga paradigmanya berpusat pada teologis. Oleh karenanya, para ilmuan membagi dua pandangan dalam mencari ilmu pengetahuan yang pertama pemahaman secara teosentris dan kedua pemahaman dengan cara antroprosentris. Sedangkan teosentris berpusat pada pemahaman tentang ketuhanan yang berada diatas sementara antroprosentris titik sentralnya berpusat pada pemahaman tentang manusia yang berada di bawah. Inilah yang sampai sekarang menjadi kekuatan ilmu pengetahuan yang memisahkan konsep ilmu tentang Tuhan dan konsep ilmu tentang manusia secara ilmiah sesuai dengan konteks ilmu interdisipliner. Sementara ilmu pengetahuan tidak lepas dari perolehan yang ditangkap oleh sarana yang di gunakan untuk mengetahui secara obyektif tentang kebenaran, karenanya ilmu pengetahuan yang diperoleh sangat penting untuk dilaksanakan, maka media yang digunakan ilmu pengetahuan adalah bersifat apriori. Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indra maupun pengalaman bathin. Dengan demikian, ilmu pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan yang obyektif. Menurut John dalam Bukunya An Introduction to Philosophical Analisis mengemukakan ada enam alat untuk memperoleh pengetahuan, yaitu petama, pengalaman indra (sense experience), kedua, Nalar (reason), ketiga Otoritas (authority). Keempat Intuisi (intuition), kelima wahyu (revelation), keenam Keyakinan (faith). Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu subyek yang dihadapinya hasil usaha manusia untuk memahami suatu obyek tertentu. Karena korelasi pengetahuan dengan cabang filsafat yang memabahas pengetahuan disebut dengan epistemologi. Istilah lain dalam kepustakaan filsafat dari epistemologi adalah filsafat pengetahuan, gnosiologi, kritika pengetahuan, logika material, teori pengetahuan, dan kritriologi. Sementara epistemologi adalah merupakan cabang yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan validitiy pengetahuan. Pada akhirnya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan secara sistemik didalam ukuran obyektifitas yang berdasarkan kaidah-kaidah logika yang akan melahirkan bentuk obyek material ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan menjadikan pokok pembahasan epstemologi pengetahuan. Oleh karenanya, sarana ilmu mempunyai lingkaran untuk kebenaran obyektif, maka gejala pengetahuan akan dapat menjelaskan secara sistemik diantara dari aktivitas, pengetahuan dan metode yang digunakan didalam ilmu pengetahuan. Sementara ilmu berjalan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan motode tertentu dan akhirnya metodis itu akan melahirkan pengetahuan yang sistematis. Oleh karena itu, tanpa adanya sistematika atau struktur berpikir maka ilmu tidak akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang benar secara obyektif walaupun bersadarkan pada pengamatan dan pengalaman empiris. Manusia dengan ilmu pengetahuan secara faktual untuk memperoleh pengetahuan dengan sarana yang digunakannya tetap menggunakan metode sebagai jalan menuju kepada materi itu sendiri secara benar. Sasaran analisis ilmu pengetahuan akan bisa diverifikasi kebenarannya manakala obyek materialnya sesuai dengan metode yang akan dibidik untuk mendapatkan sasaran wacana. Dengan demikian ilmu pengetahuan akan berfungsi apabila aktivitas pengetahuan memiliki data yang valid untuk dijadikan sasaran wacana pengetahuan secara obyektif tanpa adanya intervensi kepentingan eksternal sehingga ilmu pengetahuan mempunyai karakteristik ilmiah yang sistematik. Relasi Ilmu Pengetahuan Dengan al-Quran Konsep perkembangan ilmu pengetahuan yang dijelaskan diatas, maka konsep berikutnya akan mengkaji tentang relasi ilmu pengetahuan menurut al-Quran, sebab al-Quran tidak akan berfungsi manakala tidak ada dijelaskan secara ilmiah untuk merumeskan metodologi yang relevan dengan perkembangan zaman. Dengan al-Quran, akal bisa melanjutkan tradisi ilmu pengetahuan yang digunakan bermacam perpektif ilmu. Salah satu contoh ilmu dengan pendekatan sosial-politik dan ekonomi-pendidikan dan lain sebagainya. Intinya cara menggunakan didalam memahami al-Quran menggunakan dua kategori, yang pertama menggunakan dengan akal dan pikiran, yang kedua dengan cara menggunakan nash dan wahyu. Pada perkembangannya, ilmu pengetahuan lebih fokus pada kajian tentang ilmu-ilmu humaniora dan ilmu eksakta tanpa melibatkan konsep wahyu sebagai dasar pemahamannya. Pada umumnya para pengkaji ilmu pengetahuan identik dengan ilmu pengetahuan sains, padahal ilmu pengetahuan merupakan alat berpikir untuk mendapatkan pengetahuan itu sendiri. Akan tetapi perkembangan umat islam dengan pemikir barat berbeda cara memandang terhadap ilmu pengetahuan, sehingga paradigma yang gunakan juga berbeda pula. Sedangkan dari kalangan umat Islam memandang ilmu pengetahuan dengan nash sebagai sumber primer kemudian dikembangkan kedalam kehidupan secara ilmiah yang terikat dengan nilai itu sendiri. Sementara dari kalangan pemikir barat menggunakan paradigma rasionalitas instrumental dengan satu-satunya ilmu pengetahuan posistivistik yang cenderung mengedapankan rasio sebagai pusat kebenaran sehingga melahirkan pemahaman tidak terikat pada nilai. Dengan demikian, al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan untuk memahami secara universal terhadap alam. Menurut pandangan Mahdi Ghulsyani menyebutkan, bahwa membagi ayat-ayat dalam al-Quran tentang kebenaran ilmu pengetahuan dengan pembagian berikut: pertama, ayat-ayat yang mengambarkan elemen-elemen pokok obyeknya atau menyeluruh tentang manusia untuk menyingkapkannya, kedua, ayat-ayat yang mencakup masalah cara penciptaan obyek-obyek material maupun yang menyuruh manusia untuk menyingkap asal-usulnya, ketiga, ayat-ayat yang menyuruh manusia untuk menyingkap bagaimana alam semesta ini berwujud, keempat, ayat-ayat yang menyuruh manusia untuk mempelajari gejala-gejala alam, kelima, ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah bersumpah atas berbagai obyek alam, keenam, ayat-ayat yang merujuk tentang beberapa gejala alam, untuk menjelaskan kemungkinan terjadinya hari kebangkitan, ketujuh, ayat-ayat yang menekankan kelangsungan dan keteraturan penciptaan Allah, kedelapan ayat-ayat yang menjelaskan keharmonisan keberadaan manusia dengan alam semesta. Gambaran diatas merupakan keteraturan alam yang dijadikan oleh Tuhan didalam mengatur alam raya agar alam harmonis berjalan dengan porosnya sesuai sunnatullah berlaku. Sementara ilmu pengetahuan yang berkembang selalu bertentangan alam sesuai dengan keinginan manusia sehingga alam tidak harmonis. Mestinya, alam ciptaan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menjaga dan memeliharanya dengan akal yang sehat, sedangkan akal itu memiliki peranan dan fungsi yang sangat besar bila dimanfaatkan dengan baik. Akallah yang menghantarkan terwujudnya sains dan teknologi modern. Semakin dapat memberdayakan akalnya, semakin berhasil mencapai kemajuan. Tdak ada satupun bangsa dan Negara dapat mencapai kemajuan dengan mengabaikan akalnya. Dalam al-Quran banyak menjumpai istilah yang berbentuk kata kerja yang menggambarkan proses akal setelah manusia ditunjukkan kehebatan alam ciptaan Tuhan ini. Pada surat al-Nahl (16): 11-13 secara berurutan terjadi proses berpikir dengan menggunakan kata-kata yang berbeda yatafakkarun (memikirkan), ya'qilun (memahami), dan yazzakkarun (mengambil pelajaran). Menurut Arkoun, penggunaan tiga kata kerja yang berbeda dalam konteks yang sama tersebut menandakan bahwa, aqala menunjuk pada aktivitas yang tidak dapat dibagi-bagi dengan mengikutkan pendengaran, penglihatan, sentimen, ingatan, pemahaman, instropeksi dan panetrasi. Jadi dalam pelaksanaannya, aqala itu melibatkan peleburan proses inderawi dan rohani manusia sekaligus. Manusia Dan Ilmu Pengetahuan Relasi ilmu pengetahuan dengan manusia sangat fenomenal, karenanya sejak manusia ada seringkali menjadi perdebatan sengit sehingga berimplikasi terhadap eksistensi manusia sebagai pemimpin dimuka bumi. Realitas sejarah yang termaktub dalam al-Quran bahwa manusia dikritik secara kritis oleh makhluk lain yang bernama malaikat tentang manusia yang perusak dengan penuh menumpahkan darah. Gambaran ini merupakan simbolisasi yang diasosiasikan kepada Adam sebagai manusia dalam dimensi tertentu untuk melakukan hasrat dengan ilmu pengetahuan yang cenderung mengarahkan kepada kebaikan pada satu sisi, sedangkan satu sisi lain manusia melakukan sesuatu yang tidak baik, Sementara ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia dengan sarana ilmu yang digunakan untuk melakukan kepada hal-hal yang bermanfaat demi berlangsungnya kesejahteraan hidupnya, akan tetapi proses pengetahuan yang dimiliki oleh manusia berdasarkan pada obyek tertentu didalam memahami kebenaran secara subyektif. Ada beberapa kategori dasar manusia yang berilmu untuk menginginkan kehidupan yang mampu untuk mengatur alam raya di bumi, yaitu pertama, manusia tidak siap hidup di alam yang pertama yaitu alam Azali, yang kedua, manusia merupakan mahkluk yang tidak pernah puas dengan apa yang telah dilakukan dan dicapainya, yang ketiga, ilmu juga berkembang dan sekaligus menjadi kebutuhan karena manusia merupakan makhluk yang memiliki kebutuhan akan jawaban atas pertanyaan tentang makna sebagai sesuatu immaterial dan bathin. Dengan pandangan diatas, bahwa manusia merupakan makhluk rasional yang dibekali ilmu pengetahuan untuk melakukan sesuai apa yang telah di rencanakan sehingga keinginan tercapai, namun pada sisi lain manusia tetap merencanakan sesuatu yang baru untuk menjawab pertanyaan makna realitas yang baru pula, serta mampu membawa kepada jalan yang benar. Walaupun manusia mempunyai akal dan pikiran untuk berbuat sesuatu di bumi demi kemaslahatan manusia secara keseluruhan. Akan tetapi perkembangan ilmu pengetahuan mengambil posisi yang sangat penting untuk mengembangakan ilmu pengetahuan yang disebut dengan teknologi modern. Inilah saatnya manusia memasuki alienasi kesadaran muncul tanpa adanya kekuatan spritualitas yang tinggi. Alienasi manusia pada abad modern ini akan menghancurkan kesadaran subyek dirinya masing-masing, karena melupakan eksistensi manusia sebagai makhluk berpikir, sehingga manusia kontemporer dimanjakan oleh alat-alat teknologi yang serba tersedia, bahkan akal tidak lagi sebagai sarana berpikir dinamis untuk berbuat substantif terhadap pembaharuan pemikiran manusia sepanjang zamannya. Akan tetapi realitas yang berkembang bahwa teknologi akan mampu mendominasi manusia menjadi hegemonik didalam percaturan kekuasaan Negara, sehingga tanpa disadari ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjelma ideologi baru atau agama baru. Dan inilah perkembangan ilmu pengetahuan manusia pada abad kekinian yang dapat merusak eksistensi manusia sebagaimana malaikat protes tentang manusia sebagai pemimpin di Bumi. Eksistensi manusia sebagi makhluk subyek akan berbalik pada dirinya sebagai obyek ilmu pengetahuan, padahal ilmu pengetahuan adalah sarana yang terus dikaji bermacam variasi sesuai dengan paradigma berpikir yang berdasarkan nilai-nilai pesan Tuhan. Dengan struktur manusia untuk membangun ilmu pengetahuan sesuai sarana dan alat yaitu pengelaman inderawi yang akan menjadikan obyektifitas didalam memahami kesadaran berpikir manusia secara umum. Oleh karenanya, manusia dengan ilmu pengetahuan tidak berpisah dan saling melengkapi struktur berpikir yang sesuai dengan paradigma didalam menentukan kebenaran obyektif. Sedangkan teknologi pengetahuan merupakan alat untuk dikembangkan secara obyektif sesuai dengan batas dan ruang lingkup pembahasan ilmu pengetahuan yang berkembang. Implikasi IPTEK Terhadap Agama Masa depan manusia tampaknya, akan ditentukan oleh bentuk-bentuk kerjasama yang dilakukan oleh para agamawan dan ilmuan, yang duduk bersama untuk memecahkan persoalan kemanusiaan. Para ilmuan dituntut bersikap rendah hati untuk bersedia menerima pesan-pesan keagamaan. Begitupun kaum agamawan harus membuka diri terhadap temuan dan tawaran ilmu pengetahuan. Masing-masing akan sampai pada suatu kesadaran bersama bahwa yang satu membutuhkan yang lain. Misalnya ilmu pengetahuan menawarkan penyelesaian yang bersifat kuantitatif-teknikal yang menyadarkan pada kakuatan teknologi yang bersifat empiris yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, sekalipun tawaran utama teknologi hanya menawarkan jasa teknis, namun secara social dampaknya amat besar. Kehadiran teknologi modern mampu mengubah pola hidup beragama, teknologi telpon, misalnya mengubah tatakrama bersilaturrahmi, computer mengubah cara belajar, dan televisi mendominasi wacana dalam rumah tangga. Sehingga tanpa disadari telah mengubah sebuah keyakinan ideologi sebagai agama baru. Dengan bagitu kehidupan manusia akan sangat diuntungkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi namun sekaligus juga dibayangi oleh proses pendangkalan dan penghayatan makna hidup karena manusia menjadi begitu manja, pragmatis, kurang peka terhadap dimensi spiritual. Manusia lalu berubah sebuah angka atau skrup mengikuti logika teknologi. Permainan ilmu pengetahuan akan berimplikasi terhadap proses ktidaksadaran manusia sebagai makhluk eksistensi yang kerap menggunakan pola berpikir yang mencerahkan. Oleh karena itu, dominasi barat atas Islam diakibatkan munculnya perang paradaban untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan teknologi sehingga Islam dan barat saling mempertahankannya. Persoalan muncul, mengapa khazanah peradaban islam di Timur yang tumbuh di abad tengah dengan prestasinya yang demikian kaya yang tidak tertandingi oleh barat ketika memasuki abad modern menjadi tersisihkan oleh Eropa? Apa yang salah dari ajaran islam ataupun dari sikap umat Islam sehingga perkembangan iptek, ekonomi, dan manajemen politik di dunia Islam begitu suram wajahnya? Berbeda dari pengalaman di barat, mengapa dalam masyarakat Islam tidak ditemukan orang-orang yang terang-terangan mengatakan bahwa agama tidak berfungsi untuk membawa pencerahan masa depan kemanusiaan. Dengan pertanyaan diatas bisa dikemukakan beberapa alasan. Pertama, karena agama Islam diyakini tidak membunuh akal kritis para pemeluknya dan manusia pada umumnya. Bahkan agama sejak awal telah tampil sesungguhnya mengundang akal untuk melakukan perenungan tentang manusia, alam dan Tuhan. Sehingga dalam ajaran dasarnya islam kebebasan yang sangat luas untuk mengembangkan rasionalitas dan kerja-kerja ilmiah mendapatkan. Kedua, di barat ada satu kondisi itu adalah sains yang begitu liberal dan kemudian dihadapkan dengan kondisi gereja dihadapkan pada kondisi gereja yang waktu sangat dogmatik. Dual hal ini diatas pada awalnya tidak terjadi, akan tetapi di penghujung abad tengah kekuasaan pemikir Islam mulai penghambat iklim kebebasan berpikir, disamping karena dunai Islam dibuat pertikaian politik sehingga muncullah disintegrasi ketika pula pada saat yang sama eropa bangkit. Inilah dampak ilmu pengetahuan tekhnologi yang sangat berimplikasi terhadap gaya hidup manusia khususnya orang Islam. Bahkan ilmu pnegetahuan dan teknologi mampu menjadikan dominasi kekuatan ideologi dan Negara terhadap bangsa yang lain sehingga mengalami insuburdinasi terhadap kesadaran manusia sebagai eksistensi hidup secara alamiah. Sehingga iklim kesadaran manusia dan ilmu pengetahuan teknologi semakin tarik-menarik untuk menjadi peranan ideologi masyarakat di Eropa. Kesimpulan Al-Quran sebagai wahyu untuk ditafsirkan menurut ruang dan waktu demi kemaslahatan Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, sehingga manusia dengan akalnya bisa melahirkan ilmu pengetahuan. Kesadaran kehendak dirinya mampu membawa pada pencerahan masa depan manusia secara komprenhensif terhadap problem hidup yang akan melahirkan disintegrasi dualitas antara ilmu pengetahuan sebagai sarana didalam mengembangkan sains sesuai dengan nilai-nilai pesan Tuhan yang termaktub didalam firmannya, karena itu, banyak ayat-ayat Tuhan yang membahas tentang ilmu pengetahuan secara universal terutama mengenai keteraturan alam dan keseimbangan alam, relasi manusia dengan ilmu pengetahuan yang telah terkandung didalam al-Quran untuk upaya merenungi kembali terhadap perkembangan alam semesta secara alamiah. Jika ilmu pengetahuan tidak diberikan sebagai terikat nilai, maka melahirkan keseimbangan untuk tetap menjaga kode etik yang menghantarkan manusia hidup secara stabil. Manusia dengan ilmu pengetahuan merupakan paket tidak bisa dipisahkan dan harus saling melengkapi antara satu sama lainnya. Manusia dengan ilmunya, sedangkan pengetahuan sebagai sarana dalam menangkap ilmu pengetahuan secara obyektif sehingga manusia mampu melahirkan jenis ilmu pengetahuan yang disebut dengan ilmu sains modern. Akan tetapi pada perkembangan ilmu sains modern tidak lagi sebagai obyek pengetahuan yang seimbang untuk meletakkan sebagai bagian buatan akal manusia melainkan ilmu-ilmu pengetahuan sains berubah makna yang lebih sempit sehingga sains menjadi ideologi Negara-negara industri, akhirnya akan berimplikasi terhadap kebebasan berpikir manusia untuk dirinya sebagai subyek. Sementara ilmu pengetahuan sains memposisikan dirinya sebagai ideologi yang akan mendominasi terhadap kepentingan kekuasaan Negara industri, maka ilmu sains adalah sebagai subyek bukan obyek. Maka inilah yang harus dikritisi oleh pemikir postmodermisme untuk melakukan telaah ulang terhadap ilmu pengetahuan sebagai landasan ideologi dan kekuasaan yang akan merusak masa depan manusia, teknologi hanya sebagai alat-alat teknikal yang berfungsi untuk melengkapi sarana hidup manusia. Bahan Bacaan Charris Zubair, Achmad, Dimensi Etik Dan Asketik Ilmu pengetahuan Manusia. Yogyakarta: Lesfi, 2002. Departemen Agama RI, al-Quran Dan Terjemahannya. Jakarta: J-ART, 2007. Hidayat, Komaruddin. Wahyu di Langit Wahyu di Bumi, Doktrin Dan Peradaban Di Panggung Sejarah. Jakarta: Paramadina, 2003. Kartanegara, Mulyadhi, Nalar Religius, Memahami Hakikat Tuhan, Alam, Dan Manusia. Jakarta: Erlangga, 2007. Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara, 2005. Qomar, Mujamil, Epitemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005.

MEMBACA KEMBALI KREATIVITAS SARJANA MUSLIM KLASIK.

Oleh: Tauhedi As’ad Pengantar Dalam konteks sejarah, kalangan pemikir muslim klasik telah membangun semangat kreativitas didalam dunia akademik khususnya di bidang organisasi kelembagaan maupun dalam karya tulis ilmiah. Bahkan menjadi kiblat pengetahuan ke seluruh dunia sehingga banyak di ikuti oleh peradaban barat sampai ke masa kolonial. Pada abad kejayaan peradaban Islam dengan bangkitnya pemerintahan Dinasti Abbasiyah pada tahun 132H/750 M merupakan masa berkembangnya para pemikir Islam yang jenius dengan penekanan besar pada ilmu pengetahuan dan masalah dalam negeri. Salah satu karakteristik di era Abbasiyah pada saat itu adalah upaya penerjemahan dan menyerap ilmu pengetahuan dari peradaban lain, termasuk Mesir, Babilonia, Yunani, India, Cina, dan Persia. Peradaban Abbasiyah tersebut telah memberikan pencerahan baru terhadap regenerasi para sarjana muslim. Dalam kurun waktu tiga fase buku-buku dalam bahasa Yunani, Syiria, Sanskerta, Cina dan Persia. Dan Persia di terjemahkan ke dalam bahasa Arab. Fase pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), pada masa khalifah al-mansur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase kedua yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua tersebut, berlangsung pada masa khalifah al-Makmun (232 H/847 M-334 H/945 M), buku yang banyak di terjemahkan adalah bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung (334 H/945 M-347 H/1005 M), terutama setelah adanya pembuatan kertas, bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas. Setelah gerakan penerjemahan, dimulai tugas sulit dan lama untuk menyaring, menganalisis dan menerima atau menolak ilmu pengetahuan dari peradaban lain. Pada perkembangannya berbagai cabang ilmu pengetahuan dan memunculnya karya tulis para sarjana, berkembang pula produksi kertas yang tersebar luas di seluruh wilayah Islam, kemudian memberikan dorongan besar tidak saja bagi gerakan penulis, penerjemahan dari pengajaran, akan tetapi juga berpengaruh pada gerakan pengumpulan naskah. Kondisi tersebut berlangsung ketika seluruh peradaban muslim dilanda debat hebat, dan buku menyebabkan merebaknya perpustakaan diberbagai penjuru dunia Islam. Mereka berlomba untuk membeli karangan-karangan ilmiah para penulisnya sehingga memberikan komentar dengan cara seksama yang bernuansa baru dalam perkembangan pemikiran Islam yang dimulai dengan dialog kritis transformatif. Oleh karena itu, para sarjana muslim klasik telah memberikan teladan terbaik khususnya di bidang ilmu pengetahuan untuk di transformasikan kedalam bentuk tulis karya ilmiah. Mahasiswa Aktifitis dan Organisatoris Tri Darma Perguruan Tinggi ada tiga komponen yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian. Di bidang pendidikan, mahasiswa mengikuti organisasi kelembagaan akademik untuk memproleh pengajaran ilmu pengetahuan, sedangkan di bidang penelitian mahasiswa diwajibkan untuk meneliti terhadap persoalan-persoalan yang ada sehingga bisa menemukan kebenarannya baik penelitian yang bersifat lokal, nasional maupun penelitian internasional. Sementara di bidang pengabdian, mahasiswa mengabdi secara tanggung jawab dalam kehidupan sosial untuk membantu dan menolong masyarakat. Kemudian mahasiswa mengambil sasaran dan dokumentasi yang akan dijadikan bahan penelitian dan ditulis kedalam bentuk jurnal penelitian maupun karya ilmiah. Namun dalam konteks ini, penekanannya pada aspek kreatifitas yaitu mahasiswa kreatif. Mahasiswa seharusnya membaca kembali karya-karya sarjana muslim klasik untuk mengambil spirit dan semangat kreatifitas yang telah berhasil memberikan nuansa pencerahan terhadap generasi muslim khususnya bagi kalangan mahasiswa di perguruan tinggi Islam. Salah satu keberhasilan para sarjana muslim klasik adalah penekanannya yang besar terhadap penulisan karya ilmiah untuk di analisis, di evalusi, dialog kritis yang disesuaikan dengan konteks kekinian sehingga melahirkan pemahaman baru. Oleh karenanya, penulisan karya ilmiah sangat penting untuk di kembangkan secara kritis dengan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmiah yang ada. Kreatifitas mahasiswa seperti inilah masuk pada kategori aktivifis di bidang karya tulis yang produktif-transformatif. Berbeda dengan kreativitas mahasiswa yang fokus pada dunia organisasi kelembagaan. Organisasi kelembagaan yang berhubungan dengan akademik non akademik seperti unit kemahasiswaan (UKM) dengan lembaga organisasi lain mampu menampung sebagai sarana aktifitas dan gerakana mahasiswa untuk membangun kreatifitas dan kemandirian dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan pedoman organisasi (PO) dan anggaran dasar rumah tangga (ADRT). Sedangkan visi misi organisasi di sesuaikan dengan oreintasi dan tujuan organisasi tersebut yang di sepakati secara konstitusional sehingga melahirkan karakter dan corak organisasi itu sendiri. Sementara organisasi kemahasiswaan yang terjun kedunia gerakan aksi mampu mewarnai kehidupan masyarakat kampus dan masyarakat pada umumnya sehingga melahirkan kreatifitas berpikir kritis transformatif untuk memecahkan persoalan yang ada di masyarakat. Maka kreatifitas ini, mahasiswa masuk kategori mahasiswa aktifis-organisatoris. @@@ Selamat Diskusi Kritis Transformatif @@@

Kamis, 28 Maret 2013

DISKURSUS PEMIKIRAN GUSDUR DAN NEGARA ISLAM.

Diskursus Pemikiran Gus Dur dan Negara Islam Oleh: Tauhedi As'ad Relasional antara negara dan agama selalu ambivalen. Ia terdebat dalam benturan politico-jurisprudentik antara struktur negara-bangsa (nation state) yang menganut hukum alam (natural law), dengan agama (Islam) yang memiliki struktur hukum transferensial (teks suci). Keduanya selalu berbenturan. Satu hal yang dilihat Gus Dur bahkan tidak menyentuh jantung dari persoalan kenegaraan. Ini terjadi karena di dalam dirinya, masalah negara memiliki ruang politis material yang menuntut pendekatan multi-sektoral, terkait kondisi struktural yang membuat negara efektif dalam menjalankan amanat publik. Sementara di sisi lain, tuntutan politik Islam lebih didorong oleh jihad ideologis yang sayangnya bersifat sectarian, karena masing umat Islam memiliki ragam penafsiran berbeda, terkait bagaimana menempatkan agama dalam hidup berbangsa. Dalam Jurnal Prisma edisi No. 11, November 1980, Gus Dur memberikan gambaran problematik, hubungan antara agama, sebagai ideologi, yang harus berhadapan dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Tema Agama, Ideologi dan Pembangunan ini menjadi penting, sebab Orde Baru pada awal agenda pembangunannya, telah memosisikan secara dikotomis antara agama sebagai ideologi politik dengan kepentingan pembangunan ekonomi yang tentunya mensyaratkan “matinya ideologi”. Makna urgen dari makalah ini juga terdapat dalam fungsi penjelas, dimanakah posisi Gus Dur: apakah dalam gerbong modernisasi yang berarti meminggirkan agama demi kelancaran percepatan ekonomi, ataukah salah satu dari bagian gerakan agama yang saat itu dipasung oleh negara, dalam arti Gus Dur adalah bagian dari Islam politik? Posisi agama dan Gus Dur sebagai pemikir Islam dalam pergulatan represifitas negara, yang hendak dikupas di tulisan ini, dengan harapan memberikan satu informasi pemikiran Gus Dur, kaitannya dengan bagaimanakah sikap ideal yang harus dimiliki antara agama dan negara, agar tidak terjadi perbenturan yang tentunya merugikan nilai-nilai yang dijunjung oleh kedua faktor tersebut. Gus Dur mengawali analisanya dengan memberikan gambaran atas fakta ketegangan agama dan negara. Secara abstraktif, Gus Dur menemukan banyak bukti yang menunjukkan besarnya hambatan dalam proses pembangunan, karena terjadinya kesalahpahaman yang sangat besar antara pihak penanggungjawab ideologi negara dan pimpinan gerakan keagamaan dikalangan negara-negara yang sedang berkembang. Kesalahpahaman ini sudah begitu jauh sehingga kehidupan politik di negara yang sedang berkembang menjadi labil. Tenaga sangat besar ditujukan hanya untuk membatasi gerakan keagamaan, yang dianggap mengganggu lancarnya pembangunan. Dalam perjalanannya, proses penghambatan ini malah menciptakan kelambatan kalau tidak boleh dikatakan menghentikan sama sekali, roda pembangunan. Gus Dur kemudian melihat terciptanya strategi ganda oleh negara, dalam menghambat “gangguan” gerakan keagamaan tersebut. Di satu pihak, gerakan keagamaan “dijinakkan” dengan bantuan negara untuk keperluan ritual, sedang dipihak lain terjadi upaya pemojokan gerakan agama yang memiliki aspirasi politis dan berwatak korektif terhadap pemerintah. Upaya pemojokan ini biasanya dilakukan melalui penciptakan gerakan keagamaan tandingan dengan fasilitas besar, dari negara. Dalam istilah Gus Dur, negara menghambat gerakan keagamaan, melalui politik “memotong baja harus dengan baja”. Pada sisi lain, radikalisme yang dimiliki oleh gerakan keagamaan terbentuk dari besarnya persepsi akan konsolidasi ideologi negara sebagai “kerugian” bagi nilai-nilai transendental yang mereka yakini. Hal ini disebabkan oleh kesibukan negara dalam menciptakan infrastruktur rasional dan teknik yang efisien, sehingga aspirasi transendental diatas terabaikan. Sebagian karena oportunisme politik, dan sebagian lagi karena ketidakmampuan membuka cakrawala politik yang dapat diterima oleh semua kalangan. Persepsi akan “kerugian” nilai-nilai transendental ini kemudian melahirkan “konsolidasi spiritual” yang menemukan ketetapan pendirian gerakan keagamaan, dalam berbagai sumber ajaran agama, sehingga apapun yang mereka yakini, memiliki keabadian dan kelanggengan cita-cita. Konsep kesyahidan (martyrdom) mendudukkan akibat penindasan fisik dalam kerangka perjuangan suci, yang tentunya berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh aparat yang melakukan penindasan tersebut. Pada tataran kultur politik, ketegangan antara pemegang ideologi negara vis a vis gerakan keagamaan ini terkonstruk oleh strategi represif dari Orde Baru dalam “mengamankan” proyek pembangunan. Oleh Frans Seda, kultur politik Orde Baru (Orba) dilihat sebagai “kebudayaan ekonomi” yang tentunya lebih berorientasi pada mengejar performance (performance oriented) atau prestasi, serta hasil sebesar dan secepat mungkin. Satu orientasi yang berbeda dengan Orde Lama, yang menjadikan politik sebagai panglima, sementara ekonomi (hanya) menjadi faktor penunjang. Dalam orientasi ini, Orba mendambakan satu pengamanan, yakni sebuah penyiapan situasi dan kondisi politik yang aman untuk prestasi serta penertiban terhadap akibat-akibat negatif dari performance tersebut, baik secara preventif maupun represif. Dalam fakta politik, kaitan antara performance dan pengamanan dapat berlangsung dengan tempo yang makin hangat. Makin tinggi performance atau prestasi yang ditargetkan, makin ketat pula pengamanan yang harus dilakukan. Demikian sebaliknya, performance akan semakin ditingkatkan untuk membenarkan pengamanan politik yang dilakukan. Perkembangan secara spiral ini diharuskan sebab suatu pola pembangunan yang didasarkan pada mengejar prestasi tidak akan bisa mandeg, sebab mandeg berarti mundur dan hancur. Dalam hal inilah Orba melalui strategi Trilogi Pembangunan baik lewat statement resmi maupun dalam real politics menunjukkan orientasi performance dengan suatu pengamanan stabilitas politik sebagai penunjangnya. Pada titik inilah kesulitan saling memahami antara ideologi negara dengan aspirasi keagamaan menemu ruang. Hal ini disebabkan oleh situasi labil negara-negara yang baru berdiri dalam membentuk ideologinya. Apalagi ketika sistem politik yang dianut merupakan adaptasi secara kasar dari kultur politik “luar”, sehingga adaptasi tersebut kemudian berbenturan dengan kultur politik dimasyarakatnya sendiri. Dalam kaitan ini, negara kemudian mengambil strategi “tawar menawar yang sepi” dengan satu target, yakni stabilitas politik yang disebabkan kemampuan hegemonik ideologi negara dalam “menertibkan” ideologi alternatif dari masyarakat. Deskripsi Gus Dur: Segera setelah tercapainya penyelesaian formal berupa ideologi negara yang dinamai Pancasila, perbenturan masih berlanjut dalam bentuk upaya “pengamanan” Pancasila itu sendiri, dari kemungkinan “penyimpangan” oleh pihak lawan politik. Upaya ini terutama ditumpukkan pada tindakan politik untuk menguasai aparat pemerintahan dan kelengkapan negara. Baik di masa perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), masa demokrasi liberal (1959-1966) maupun di masa Orde Baru sejak 1966. “Pengamanan” ideologi negara dari kemungkinan “salah penafsiran” senantiasa mengambil bentuk dalam pendayagunaan aparat negara bagi perumusan “penafsiran yang benar” atas ideologi negara, semisal melalui penataran P4. Kasus perkembangan Pancasila sebagai ideologi negara bukanlah kasus unik. Di banyak negara, pertumbuhan awal dari ideologi negara dan proses pemantapannya mengambil bentuk dialog intensif antara pihak yang berbeda pendapat… Tetapi, dialog tersebut ada pula yang mengambil bentuk proses “tawar-menawar yang sepi” (silent bargainings), seperti yang berlangsung di negeri kita. Proses tolak-angsur (tug-of-war) antara aspirasi theologies dan aspirasi sekularis yang berlangsung di negeri kita ini adalah bagian dari jalannya "tawar-menawar yang sepi". Tentu dari sini kita menjadi faham, kenapa Gus Dur menolak negara Islam. Bukannya beliau tidak setuju dengan konsepsi tersebut, tetapi cita negara Islam di negeri ini bersifat diskontekstual, karena dalam real politics, persoalan sebenarnya adalah pergulatan antara kepentingan negara yang hendak menundukkan ideologi Islam. Artinya, perdebatan teoritis seputar Islam versus negara-bangsa, tidak relevan karena yang terjadi lebih kepada pergulatan politik antara rezim negara yang selalu memanfaatkan agama. Di sini kita mafhum bahwa Gus Dur merupakan salah satu pioneer dari penerima konsep dan bentuk negara-bangsa, yang secara otomatis menolak penyatuan antara agama dan negara. Tentu pada terma ini, Gus Dur bisa dimasukkan kedalam gerbong sekularisasi, bersama dengan Cak Nur. Hanya saja, konsep sekularisasi yang mensyaratkan disfungsionalisasi otoritas agama, karena telah diganti dengan otoritas administratif sekular, sebenarnya tidak cukup mampu menggambarkan detail perbedaan didalam konsep pemisahan agama-negara. Hal ini berangkat dari satu postulat, bahwa terma sekularisasi lebih mengedepankan aspek “tujuan ideologis” dimana para konseptor negara-bangsa memiliki tujuan ideologis yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan paradigma keagamaan ideologis. Maka tak bisa dihalangi, Islam sebagai cita-cita politik harus dipinggirkan, agar cita-cita masyarakat sekular bisa terwujud. Sejauh pembacaan terhadap pemikiran Gus Dur, terma sekularisasi semacam ini menurut penulis tidak relevan ketika disematkan kepada pemikiran Gus Dur. Kenapa? Karena perumusan sistem negara berdasarkan agama ternyata tidak betul-betul relevan bagi kebutuhan akan pemenuhan hak-hak bernegara dari masyarakat. Hal ini dilandaskan Gus Dur pada berbagai kondisi dan syarat faktual bagi berfungsinya sistem negara yang betul-betul mampu memenuhi kesejahteraan rakyat. Tuturnya: Dengan melihat unsur-unsur yang diperlukan bagi sebuah upaya rekonstruksi teori kenegaraan dari sudut pandangan kontemporer saat ini, tampak bahwa lahan bagi upaya rekonstruksi serupa dari sudut pandangan Islam, tidak begitu menguntungkan. Solidaritas massa, bila digerakkan oleh semangat keagamaan, saat ini cenderung menjadi momok bagi pengembangan pluralitas budaya yang diperlukan bagi komunikasi eksternal kaum muslimin sendiri. Kesenjangan budaya (cultural lag) yang diderita oleh elit keagamaan ummat Islam, baik para ulama, cendekiawan maupun tokoh organisasi massa, cenderung untuk menolak setiap pemecahan masalah dalam kerangka sikap inklusivistik. Demikian juga, kehidupan spiritual kaum muslimin, yang sangat tipis kadar kontemplasinya karena didorong oleh kebutuhan pencarian ‘pemecahan praktis’ (hulul ‘amaliyah, implementable solutions), sangat sedikit memberikan peluang untuk kiprah pemikiran yang berwawasan sangat jauh. Dari paparan ini jelas terlihat bahwa ketidaksetujuan Gus Dur terhadap teori kenegaraan Islam, serta usaha rekonstruksi atasnya, bukan semata disebabkan oleh sistem Islam itu sendiri, tetapi sebuah fakta historis yang memperlihatkan bahwa gelora pengislaman negara, ternyata hanya memasukkan Islam kedalam fanatisme ideologis, yang tentunya tidak berperan sebagai agama an sich. Bagi Gus Dur, fanatisme ini telah melahirkan dua sikap yang sama-sama “membahayakan” Islam sebagai agama. Disatu sisi, Islam telah dijadikan alternatif ideologis berupa doktrin politik: Islam sebagai solusi, yang tentunya menyimpan potensi konflik dengan “solusi lain” yang ditempatkan sebagai “jahiliyah modern”. Alih-alih menciptakan mashlahat, gelora serba alternatif ini pasti akan menggeret massa kedalam pertarungan ideologis, sering dengan ceceran darah sesama muslim. Di sisi lain, Islam kemudian hanya dijadikan suplemen bagi proyek pemerintah non-Islam yang melahirkan satu politisasi agama, bisa melalui praktik birokratisasi, atau bahkan pemanfaatan suara untuk melegitimasi kebijakan pemerintah. Kedua posisi ini tentu menjadi penodaan bagi konsep Islam sendiri, yang sebenarnya penuh dengan cita-cita tentang keadilan serta kesejahteraan masyarakat. Fakta inilah yang membuat Gus Dur, apatis dengan usaha rekonstruksi teori kenegaraan Islam, dikarenakan berbagai problem kontemporer yang tidak akan bisa diselesaikan hanya oleh batasan konseptual dari perpolitikan agama. Berbagai problem tersebut merujuk pada bagaimana pelembagaan institusi pemerintah dibentuk: apakah menganut sistem sentralisasi ataukah desentralisasi? Jenis hukum formal yang mana, yang akan ditetapkan sebagai sistem hukum nasional, mengingat terdapatnya potensi meniadakan konsep “hukum lain”, demi kemapanan satu konsep hukum tertentu? Masyarakat seperti apa yang akan dibangun: masyarakat tertutup yang menghambat proses distribusi kekuasaan, ataukah masyarakat terbuka? Hingga model kebudayaan seperti apa yang akan dituju, apakah kebudayaan monolitik yang tidak menenggang perbedaan, atau sebuah perhargaan atas dinamika pluralitas? Berbagai problem real yang terdapat baik dalam struktur kenegaraan, maupun kultur masyarakat inilah yang membuat rumus teori negara Islam menjadi irrelevant, sebab Gus Dur melihat pengatasnamaan agama dalam politik, tiada bedanya dengan segregasi ideologis berbagai isme yang menjadikan kekuasaan ideologinya sebagai tujuan utama pendirian negara, bukannya realisasi keadilan sosial. Pada titik ini Gus Dur kemudian merumuskan berbagai prinsip kenegaraan modern, yang tidak harus terkait dengan teori sistem kenegaraan tertentu, termasuk sistem Islami. Prinisp tersebut antara lain; (1) sistem pemerintahan yang secara universal memberikan kedudukan sama di muka hokum, tanpa melihat asal-usul agama, etnis, bahasa, budaya, maupun keyakinan politiknya. (2) sistem perwakilan berdasarkan ketentuan satu-orang-satu-suara (one man one vote), yang akan menjamin kedaulatan rakyat yang tidak akan tertandingi sistem perwakilan terbatas manapun, (3) hukum nasional yang berlaku untuk semua warganegara, yang diramu dari unsur-unsur hukum agama, disamping sumber lain, sedangkan materi hukum agama yang tidak masuk dalam kodifikasi hukum formal (undang-uandang) berfungsi sebagai etik masyarakat (menjadi fiqh atau hukum agama Islam), (4) jaminan penuh akan kebebasan berpendapat, berserikat dan menguasai hak milik, (5) pembagian kewenangan legislatif, eksekutif, yudikatif, dimana tidak ada satu pihak mencampuri otoritas pihak lain, (6) jaminan untuk mengembangkan keyakinan agama serta menyebarkan ajaran spiritualitas tanpa ada pembatasan, selama tidak menjurus kriminalitas, (7) jaminan akan kebebasan melakukan kegiatan ilmiah, perlindungan hukum atas karya-karya ilmiah, dari tindakan sepihak oleh semua otoritas, termasuk otoritas agama, diluar saluran pengadilan. Pada ranah praksis, hal inilah yang membuat Gus Dur, sebagai Ketum PBNU saat itu, menerima azas tunggal Pancasila, sebagai azas organisasi masyarakat, karena disamping hal tersebut merupakan keberpihakan dari ormas-ormas untuk mencoba keluar dari kepentingan sektarian, menuju pada kepentingan nasional, juga dikarenakan oleh keyakinan bahwa Pancasila tidak akan mengganti posisi Islam sebagai aqidah. Keyakinan tersebut berangkat dari satu positioning Islam dalam kehidupan bangsa, yang oleh Gus Dur ditempatkan pada, pertama, sebagai etika sosial, dimana Islam mampu mengarahkan dan membentuk moralitas publik, dan kedua melalui penerapan hukum Islam secara partikular didalam struktur hukum nasional, salah satunya melalui Departemen Agama, meskipun lembaga ini ternyata terjebak dalam birokratisasi dan tidak mampu melakukan pengaturan konflik internal gerakan Islam, sehingga mengalami kegagapan ketika harus berhadapan dengan dilema Islam dan modernitas. Penerimaan Gus Dur atas nama Nahdlatul Ulama (NU) memang bersifat historis. Kesejarahan tersebut menemu ruang dalam penerimaan NU atas bentuk negara-bangsa, yang mengindikasikan “selesainya” perdebatan pada level struktur kenegaraan untuk kemudian lebih mengembangkan perdebatan pada wilayah aplikasi dari eksistensi kenegaraan demi kesejahteraan rakyat. Dimulai sejak Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, NU sudah membuktikan watak moderasinya melalui pemberian status wilayah Hindia-Belanda sebagai dar al-Islam (negeri muslim) meskipun struktur negara yang ada adalah negara kolonial-sekular. Penerimaan ini berangkat dari argumentasi, bahwa negara menjamin kebebasan umat muslim dalam melakukan praktik ibadah, disamping argumen historis yang menggambarkan kesejarahan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, yang hingga kini masih memberikan bekas kultural dalam tradisi keagamaan dan kekuasaan muslim Nusantara. Konsekuensi dari penerimaan ini adalah, wajibnya umat muslim untuk mempertahankan wilayah tersebut dari penjajahan, sehingga sejak saat itu, perlawanan terhadap kolonialisme selalu mengemuka, baik yang dilatarbelakangi oleh berbagai kebijakan anti-Islam dari pemerintah Belanda, maupun fatwa Resolusi Jihad Kyai Hasyim Asy’ari, untuk mempertahankan kemerdekaan pada Oktober 1945. Dari momen sejarah ini, maka tanggapan Islam atas bangunan negara-bangsa, menemu pada dua ruang. Pertama, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslim untuk melaksanakan ajaran agama, sebagai conditio sine qua non bagi penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut. Kedua, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politik, ditentukan oleh proses sejarah. Dengan demikian, pola yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi cukup kuat, sehingga keduanya tidak saling menolak, tetapi saling mendukung dalam batas dan ruang yang ditentukan secara proporsional. Dalam kaitan inilah, Gus Dur kemudian menggambarkan modal besar dari sistem keagamaan NU yang membuatnya moderat dalam berhubungan dengan negara-bangsa. Sistem keagamaan ini merujuk pada kesatuan antara tiga komponen utama Islam, yakni tauhid, fiqh, dan tasawuf. Dalam berfiqh, muslim NU tidak hanya mengembangkan produk hukum agama yang diambil dari literatur fiqh dalam sekala massif, namun juga cara-cara menyusun pemikiran hukum (legal maxim, qawa’idul fiqh), guna menentukan bentuk akhir keputusan hukum, jika latar belakang masalahnya tengah mengalami perubahan. Disinilah dinamika pengambilan hukum Islam menjadi dinamis, karena NU mampu merumuskan kembali setiap permasalahan hukum berdasarkan perubahan konteks masyarakat. Pemikiran metodologis hukum agama ini kemudian diberi bobot spiritualitas melalui tasawuf dalam pengamalan ajaran agama sehari-hari, melalui rangkaian ritual yang memungkinkan penyiraman jiwa, yang berfungsi memperdalam bobot kearifan spiritual, sebagai pendalaman bagi kecenderungan legal formalistik dari corak keagamaan serba fiqh. Dari ketaatan terhadap hukum agama, dibarengi dengan pengamalan ajaran agama secara sufistik ini, maka muslim NU kemudian memiliki bobot ketauhidan yang kuat, sehingga agama mampu membentuk pandangan dunia yang bulat dan utuh, baik dalam lanskap duniawi maupun ukhrawi. Dari sistem keagamaan fiqh-sufistik inilah, NU kemudian merumuskan hubungan moderat antara Islam dan negara modern, sehingga pada satu titik, Islam tidak kehilangan relevansi bagi kehidupan kekinian, sekaligus Islam tidak kehilangan dirinya dalam struktur kebudayaan sekular yang dibawa oleh modernitas tersebut. Elaborasi Gus Dur: Pendekatan serba fiqh atas masalah-masalah kenegaraan itulah yang membuat NU relatif lebih mudah menerima ketentuan pemerintah tentang asas Pancasila dalam kehidupan organisasi. Dalam pandangan fiqh asas Pancasila adalah salah satu dari sekian buah persyaratan bagi keabsahan negara Republik Indonesia; hal itupun bukannya persyaratan keagamaan sama sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apapun untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dalam kehidupan berorganisasi yang bersangkutan. Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan oleh hukum fiqh, NU mampu melakukan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara modern, walaupun dalam aspek kenegaraan, pandangan serba fiqh itu juga sering merupakan hambatan bagi pemegang pemerintahan.. Namun, itu tidak berarti jalannya pemerintahan juga lalu terlepas sama sekali dari kendali keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijaksanaan pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan fiqh.. seperti kaidah “kebijaksanaan kepala pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat” (tasharruful imam ‘alarra’iyyah manutun bil mashlahah). Dengan menggunakan fiqh sebagai tolok ukur keabsahan negara, maka NU kemudian tidak mempermasalahkan bentuk formal pemerintahan, selama perilaku kelembagaan negara masih sesuai dengan batas-batas yang digariskan oleh fiqh. Dari sinilah muncul kritik partikular atas penyimpangan yang dilakukan oleh sub-sistem atau pemegang kekuasaan, tidak kemudian menjadikan NU menolak secara total bentuk pemerintahan, melainkan memperbaikinya secara kasuistik dan gradual. Pemikiran kenegaraan (Islam) Gus Dur ini, memang terkait dengan situasi politik pembangunan yang digerakkan oleh Orde Baru, di mana Gus Dur harus cerdas menempatkan diri. Satu situasi yang merujuk pada sekularisasi di satu sisi, dan kebangkitan Islam di sisi lain, yang pada akhir pemerintahan Soeharto malah diberi angin. Tentu, Gus Dur tidak gamang, dan dengan sigap melakukan rekonstruksi hubungan antara Islam dan negara, yang pada saat itu menjelma titik tengkar. Titik tengkar ini mengacu pada pertanyaan: haruskah Islam menolak Pancasila, karena ideologi ini bersifat “tidak Islami”? Tanya ini kemudian menciptakan pembelahan pemaknaan atas hubungan Islam dan politik. Satu pihak, Islam dipandang sebagai political, dimana arti kejayaannya disematkan kedalam totalitas sistemik, melalui pendaulatan syari’at sebagai konstitusi negara. Lahirlah Piagam Jakarta yang diharapkan menjadi payung konstitusional bagi penerapan hukum Islam di semua lini kehidupan publik. Sementara itu di pihak lain, Islam tidak dimaknai sebagai “yang politik”, tetapi lebih kepada “yang kultural”. Pemaknaan ini berdampak pada posisi politik Islam, yang tidak harus menjelma supra-struktur negara, tetapi sub-struktur dalam bangunan tubuh negara-bangsa. Gus Dur masuk dalam gerbong ini. Yakni, dalam penempatan Islam yang mengacu pada dua hal. Pertama, pemosisian hukum Islam kedalam sub-sistem hukum nasional. Hal ini dilandasi oleh kaidah fiqh: ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu (apa yang tidak bisa didapat semuanya, jangan ditinggal prinsip dasarnya). Bagi Islam (Sunni), jika konstitusi negara tidak bisa berdasarkan Islam, mengingat pluralitas bangsa, maka penanganan persoalan mu’amalah haruslah tetap ditangani oleh hukum Islam. Dari sini keberadaan Kementarian Agama dan Peradilan Agama menjadi penting demi menjaga otoritas fiqh agar tetap dipegang oleh para ulama. Tentu posisi minimalis ini tidak berhenti dengan sendirinya, karena setelah hukum Islam terposisikan dalam sub-struktur negara, ia kemudian digerakkan sebagai etik sosial pada ranah masyarakat, juga negara. Gus Dur mendefinisikan etik sosial ini sebagai fungsi komplementer dari Islam, dimana agama memiliki kewajiban untuk menyempurnaan tata politik. Dalam praktik, proses penyempurnaan ini kemudian melahirkan etos kritik, di mana Islam mampu menyediakan alternatif dari pembangunan, jika arah kebijakan negara, dirasa menyimpang dari nilai-nilai dasar yang dianut oleh Islam. Dalam kaitan inilah, praktik pembangunan bahkan telah melahirkan, apa yang disebut Gus Dur sebagai penanganan non-religius atas kehidupan beragama. Artinya, apa yang dimaksud pemerintah dengan pengaturan kehidupan beragama, ternyata hanya bersifat artifisial, institusionalis, dan event oriented, daripada penelaahan problem fundamental umat beragama. Hal ini digerakkan melalui pemberian dana bagi perayaan keagamaan serta pembentukan birokrasi agama, yang bahkan telah menjebak keberislaman formalistik. Kecenderungan ini lahir dari paradigma pembangunanisme, yang menempatkan agama, sebagai satu unsur sosial yang harus memperkuat kebijakan ekonomi negara. Inilah yang terjadi, dan menempatkan Islam, jika tidak sebagai “ekstrim kanan” yang tersanding dengan “ekstrim kiri”, maka posisi Islam yang hanya dijadikan legitimasi kekuasaan. Dua posisi sama sulit, karena pembangunan yang mensyaratkan konflik, dan oleh karenanya wajib meminggirkan Islam ideologis, dengan satu usaha politisasi Islam non-politik, yang telah mencerabut agama ini dari fungsi vitalnya. Penobatan Islam sebagai legitimasi pembangunan tersebut dilakukan pemerintah dalam dua fase, jika merujuk pada pergulatan Gus Dur. Fase pertama merujuk pada revisi pandangan modernis negara atas tradisi pesantren, di mana pembangunan sudah tak lagi menempatkan tradisi ini sebagai penghambat modernisasi, tetapi sebaliknya, ia dilihat sebagai basis budaya, tempat pemerintah mensosialisasikan agenda pembangunan. Pendekatan ini memang bersifat instrumentalis, karena hanya melihat pesantren sebagai alat, dikarenakan watak kulturalnya yang mengakar dengan masyarakat. Dengan modal budaya kuat, yakni kemenyatuan tradisi Islam dan lokalitas, ditambah patronase perlindungan kyai atas warga sekitar, pesantren dilihat mampu menjadi ruang komunikasi yang efektif, dimana peran kyai sebagai komunikator budaya, akan mampu menjembatani pemerintah dan masyarakat dalam sosialisasi kebijakan pembangunan. Inilah yang dikritik Gus Dur, karena alih-alih pemerintah bisa, dan berempati dengan tata nilai pesantren, pendekatan instrumentalis ini hanya menempatkan pesantren secara pragmatis, minus kesadaran nilai. Ketiadaan kesadaran inilah yang dikritik Gus Dur, sehingga ia kemudian mewacanakan sub-kultur pesantren, sebagai usaha untuk menggambarkan sistem nilai muslim tradisional tersebut. Bentuk sub-kultur inilah yang menempatkan pesantren sebagai sub-budaya nan unik (dan karenanya pemerintah harus hati-hati), tetapi sekaligus mampu mempengaruhi sistem secara keseluruhan, dan oleh karena itu, ia tidak hanya berperan sebagai “corong kebijakan”, namun bahkan mampu melakukan koreksi atas pembangunan. Dari sini Gus Dur kemudian menggerakkan pengembangan masyarakat melalui pesantren, salah satunya dengan mendirikan P3M. Melalui gerak ini, Gus Dur dan kalangan NU menggali potensi sosio-ekonomi masyarakat, sehingga ketergantungan atas pembangunan negara bisa diminimalisir. Fase kedua penggunaan Islam sebagai legitimasi terjadi ketika negara mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang oleh Gus Dur dilihat sebagai penodaan komitmen awal terhadap demokrasi. Hal ini terjadi, dan dikritik Gus Dur, karena “kemesraan” NU dengan negara terjadi, ketika pemerintah sepakat untuk tidak memberi ruang bagi ekslusifitas Islam. Ini yang melahirkan dekonfessionalisme Islam: ruang publik dinetralisir dari kecenderungan sektarian agama yang tentunya akan menjebak penanganan politik dalam segregasi kelompok. Sayang, komitmen awal ini telah ternoda, dan pemerintah dengan sengaja memediasi birokratisasi Islam, dengan mengakomodir kecenderungan islamisasi baik ranah ritual kenegaraan, pengatahuan, dan ruang politik. Satu hal yang dikhawatirkan Gus Dur, karena pendirian ICMI berarti pemberian political opportunity atas ekslusifitas Islam, yang bahkan Gus Dur nisbatkan pada geliat Aljazaer, dimana kaum fundamentalis bergolak. ICMI menurut Gus Dur akan menyemai benih Islamisme politik, di mana kepentingan demokratisasi pada aras kebangsaan, akan direbut oleh kepentingan golongan Islamis. Ini tentu langkah mundur, karena sejak awal pembangunan, bentuk politik sekular sebetulnya ideal, karena melakukan minimalisasi atas potensi ideologis dari gerakan Islam. Ruang publik yang netral ini, pada dekade 1990 telah dikacaukan lagi oleh Soeharto, yang memang pada saat itu telah kehilangan sebagian basis politik militernya, dan oleh karena itu membutuhkan perangkulan massa Islam, demi kelangsungan kekuasaan. Dalam kaitan inilah, pemikiran Islam Gus Dur berusaha melakukan penyaringan, counter discourse, dan penjelasan kesejarahan atas bangunan Islam di Indonesia, yang tidak selalu besifat legitimatif. Hal ini dilakukan Gus Dur melalui rekonstruksi metode pemikiran (hukum) Islam, untuk menggali potensi transformatif, agar Islam bisa kompatibel dengan perubahan sosial yang terjadi. Tentu harus ada kompromi, semisal akomodasi Islam terhadap ideologi negara, dengan catatan, masing pihak mampu memberikan kontribusi berdasar kesamaan nilai universal, seperti nilai-nilai yang Gus Dur tarik dari titik sama antara Islam dan Pancasila: Pancasila harus diuji, apakah mampu atau tidak mewujudkan prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang dituntut oleh Islam. Pancasila harus mengembangkan wawasan yang demokratis, menganut faham perlakuan sama dimuka undang-undang dan memperjuangkan keadilan. Demikian pula, Pancasila harus mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi pada pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas, menghargai kebebasan berpendapat dan menjamin kebebasan berserikat. Itulah kunci diperoleh lima buah jaminan dasar yang diberikan oleh Islam kepada warga masyarakat; jaminan dasar atas keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga, harta milik pribadi, dan keselamatan profesi. Hal inilah yang dilakukan Gus Dur, yakni mengangkat perbedaan partikular kepada persamaan cita-cita universal, yakni kemanusiaan dan keadilan. Struktur politik demokratis kemudian menjadi syarat utama, di mana Islam harus melakukan rekonstruksi atas bangunan doktrinalnya, jika ia ingin menggerakkan perubahan masyarakat. Inilah letak pemikiran Islam beliau, karena tanpa pembenahan ke dalam, Islam bahkan sering dijadikan penghambat bagi demokratisasi. Tetapi juga sebaliknya, tanpa orientasi demokratis, pembenahan dalam tubuh Islam, hanya akan menciptakan konflik internal umat Islam, karena masing pihak terjebak dalam klaim kebenaran penafsirannya.

Sabtu, 16 Februari 2013

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT NALAR PEMIKIRAN AL-GHAZALI

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT NALAR PEMIKIRAN AL-GHAZALI Oleh Tauhedi As’ad. A. Biografi Al-Ghazali Meletakkan Al-Ghazali sebagai topik pembahasan, bukanlah hal tabu dalam dunia pendidikan, karena Al-Ghazali adalah sosok tokoh yang mempunyai kemampuan dimensional dalam arti intelektual, hampir semua bahasa ilmu pengetahuan dalam literatur keilmuan pernah mencantumkan nama Al-Ghazali. Sebutan Hujjatul Islam dan Imam Jalil mencitrakan pribadi Al-Ghazali. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. dilahirkan pada tahun 450 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1050 Miladiyah, lahir di kota Tush wilayah Khurasan , setelah berumah tangga dan mendapat anak bernama Hamid, maka ia dipanggil dengan sebutan Abu Hamid, namun Hamid ini meninggal pada masih kecil. Adapun sebutan Al-Ghazali terdapat dua kemungkinan menurut para ahli sejarah. Pertama, diduga berasal dari nama desa tempat kelahirannya, yaitu Ghazalah. Kedua berasal dari pekerjaan sehari-hari sebagai tukang tenun dan menjual kain tenun yang dinamakan dengan “ghazzal”. Al-Ghazali terlahir dari keluarga yang miskin. Ayahnya Muhammad seorang penenun yang mempunyai toko dikampungnya, tetapi penghasilannya yang kecil tidaklah dapat menutupi kebutuhan hidup keluarganya. Ia seorang yang pecinta ilmu dan bercita-cita besar, ia selalu berdo`a agar anak-anaknya kelak menjadi orang yang berpengetahuan luas. Anak pertama bernama Muhammad yang dijuluki Abu Hamid anak yang kedua diberi nama Ahmad yang kemudian diberi julukan Abu Futuh. Ia adalah seorang juru dakwah yang kemudian hari terkenal dengan panggilan Majidudin. Oleh ayahnya Al-Ghazali kecil dikirim kepada seorang guru sufi yang mengajari tasawuf, disamping tasawuf Al-Ghazali juga mempelajari fiqh pada daerahnya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rasikani. diantara kawan-kawannya ia sangat menonjol dalam pelajaran ini. Berkat bantuan guru sufi yang sederhana ini Al-Ghazali dan saudaranya memasuki madrasah tingkat dasar, gurunya ditingkat dasar adalah Yusuf al-Nasaj beliau adalah sufi yang sangat sederhana. Pendidikan yang tinggi ia tempuh ketika ia berusaha di bawah dua puluh tahun, pelajran di sini berbeda dengan pelajaran yang ia pelajari di Thus, ia mulai mendalami ilmu bahasa Arab dan Persi. Kehausan ilmu Al-Ghazali dimulai setelah ia belajar pada madrasah Nizamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh ulama besar Imam Al- Haramain Abu Ma`ah Al-Juwaini, seorang ulama syafi`i yang mengikuti aliran Asy`ariyah, sekalipun Al-Ghazali merupakan ulama yang berani mengkritik pendapat yang berkembang pada waktu itu. Menurut para penulis riwayat hidupnya, sewaktu Al-Ghazali masih belajar di Naisabur beliau telah banyak menulis tentang. Pada waktu gurunya (Al-Juwaini) masih hidup ia mengibaratkan Al-Ghazali dengan Bahru Mughriq bagai laut dalam yang menenggalamkan, karena Ia ahli dalam berbagai macam ilmu terutama ilmu jadal (ilmu debat) setelah gurunya wafat pengembraan Al-Ghazali dilanjutkan kedaerah Ma`askar dan ia menetap di sana kurang lebih 5 tahun . Kegiatan pokok yang ia lakukan ketika ia terjun menjadi guru besar adalah mengikuti pertemuan yang diselenggarakan oleh perdana menteri Nizamul Mulk yang merupakan negarawan Bani Saljuk yang saat itu adalah penguasa sebenarnya dalam pemerintahan Baghdad, melihat kepandaian dan kehebatan Al-Ghazali perdana menteri sangat kagum dan kemudian mengangkatnya menjadi seorang guru besar yang yang didirikan oleh perdana menteri yang pada saat itu umur Al-Ghazali baru 33 tahun sungguh merupakan kedudukan yang sangat bergengsi dalam dunia pendidikan pada masa itu. Namun telah menjadi adapt kehidupan dunia, di puncak kemasyhuran itulah datang berbagai musibah yang menimpa negara, raja malik Syah yang adil itu meniggal dunia, pada tahun yang samapun perdana menteri meniggal juga, dan akhirnya timbul perlawanan dimana-mana yang disebabkan oleh kaum Bathiniyah, sehingga keamanan Al-Ghazali terancam dan ia memutuskan untuk meninggalkan Baghdad dan dalam keadaan yang demikian itu ia memutuskan untuk berkhalwat menjauh dari dunia untuk mendapatkan pengetahuan sejati. Setelah selam 10 tahun di pengembaraannya akhirnya Al-Ghazali pulang dan diangkat kembali menjadi pemimpin Universitas Nizamiyah. Al-Ghazali wafat pada 19 desember 1111 Masehi dalam usia 55 tahun. B. Konstruksi Pemikiran al-Ghazali Membicarakan latar belakang pemikirannya seorang tokoh, harus menghubungkan dengan keadaan yang mengitarinya, sebab Al-Ghazali adalah bagian integral dari sejarah pamikiran isalam secara keseluruhan. Oleh karena itu situasi yang berkembang ikut menentukan arah perkembangan pemikirannya. Masa hidup Al-Ghazali adalah masa berkembangnya beberapa aliran-aliran pemikiran dalam Islam. Aliran –aliran itu berpijak pada aneka ragam permasalahan yang tumbuh di tengah majemuknya pemeluk agama islalm sejak zaman Rasulullah Saw. Pemahaman masalahan aqidah yang terus berkembang menyebabkn timbulnya aliran yang lain seperti qadariyah, jabariyah, murji`ah dan yang sangat dominant waktu itu ialah As`ariyah dan Mu`tazilah, karenanya kedua aliran ini disamping menggunakan aqli juga menggunakan naqli sedangkan aliran yang dominan dalam bidang rasional adalah Mu`tazilah sekaligus peletak pertama dalam aliran teologi. Berkembangnya faham rasionalitas dikalangan teologi sebagai akibat dimulainya penterjemahan buku-buku asing (Yunani) dan sebagai dampaknya yang paling menonjol adalah lahir golongan filosuf dengan bendera filsafatnya yang cenderung mengembangkan teori-teori Plato, Aristoteles, dan neo Platonisme dan pada sisi lain berkembang aliran bathiniyah. C. Pengaruh Pendidikan al-Ghazali Ketiga aliran diatas ketika Al-Ghazali lahir masih sangat dominan, dan diantara aliran yang satu dengan yang lain saling menyerang dalam hal pemikiran, seperti kaum Filsuf dan Bathini menyerang epistemology wahyu, sedangkan kaum teolog dan sufi membela epistemologi ini. hal inilah yang menyebabkan Al-Ghazali ahli di bidang itu dan dengan memunculkannya karya-karya kritikannya seperti yang tertuang dalam Al-Munqidnya. Akhir dari pemikiran-pemikirannya akhirnya menimbulkan skeptisisme mengenai hakikat-hakikat yang telah ia pelajari dari beberapa aliran, akhirnya Al-Ghazali dengan segala kemampuannya meneliti beberapa aliran untuk mencapai kebenaran sejati seperti ungkapannya pada Al-Munqidznya: Ketika aku mendekati umur baligh sebelum sampai umur dua puluh tahun sampai mendekati umur dua puluh lima tahun, aku mencebur ke gelombang samudra dan tidak pernah takut, tiap permasalahan yang sulit kuselami dengan penuh keberanian tanpa rasa kahawatir dan takut, ku pelajari tiap aqidah dari beberapa golongan dan kubuka rahasia-rahasia tiap madzhab untuk dapat membedakan antara hak dan yang bathil, mana yang asli dan mana yang diadakan, kuselidiki ajaran bathiniyah untuk mengetahui kebathinannya, filsafat dengan kefilsafatannya, ilmu kalam dengan puncak perdebatannya, ilmu tasawuf dengan rahasia tasawufnya, pada aliran ibadah dengan apa tujuan ibadahnya dan juga pada kafir zindik sebab keberanian mereka dalam menyangkal pada adanya Tuhan. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan Al-Ghazali untuk mengetahui hakikat sesuatu yang dia inginkan dengan sedalam-dalamnya, dan dari hasil proses mencari kebenaran itulah Al-Ghazali mempunyai gagasan baru mengenai pendidikan D. Pandangan Al-Ghazali tentang Pendidikan Mendidik merupakan bagian yang sangat penting yng dimulai dari pendidikan anak, karena anak merupakan amanat dari orang tua maka, mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya, jika anak anaknya dibiasakan dengan hal-hal yang baik dan diajarkan dengan cara yang baik, maka akan tumbuh dalam kebaikan dan akan memperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Tetapi apabila mereka dibiasakan dalam dan diabaikan seperti layaknya hewan buas, ia akan sengsara dan merugi, sedangkan dosanya akan dipikul juga di atas pundak pendidik atau orang yang bertanggung jawab kepadanya. Dalam hal pendidikan Al-Ghazali mempunyai beberapa pengertian dari banyak segi, dari segi individu pendidikan mengembangkan sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia sesuai dengan fitrahnya. Dari segi masyarakat berarti mewariskan nilai keislaman kepada tiap individu agar kehidupan berbudaya dapat berkesinambungan sedangkan dari segi jiwa adalah untuk membersihkan jiwa. E. Tujuan Pendidikan Dalam pandangan Al-Ghazali tujuan pendidikan adalah untuk taqarrub kepada Allah serta menjamin masa depan anak di akhirat, masa anak-anak merupakan masa yang sangat penting karena pada saat ini jiwa anak murni dan terbuka terhadap pengaruh. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pendidikan anak adalah menanamkan langsung kebiasaan yang langsung dapat dilakukan oleh orang tua maupun para pendidik dan menangkis segala dari segala pengaruh yang merusak baik yang datang darilingkungan maupun dari teman-temannya sendiri.masa yang paling penting menurut Al-Ghazali adalah masa tamyis yang merupakan masa yang perlu diperhatikan bagi orang tua karena masa ini sang anak memungkinkan ide-ide yang abstrak termasuk membedakan yang baik dan yang buruk. Acuan pendidikan yang paling utama menurut Al-Ghazali adalah akhlak dia juga tokoh yang memunculkan filsafat pendidikan lewat karangannya “ ayyuhal walad” membaca pendapat Al-Ghazali dalam Ihya` melahirkan tanggapan yang berbeda dari ahli didik islam tentang hakikat kejadian manusia, pikiran Al-Ghazali tentang fitrah manusia dapat digolongkan bahwa dia adalah pengikut aliran tabularasa yang mengannggap manusia itu putih bersih. Al-Ghazali adalah orang yang sangat menaruh perhatian penting tentang akhlak hal ini dapat dilacak dengan keadaan pada masa beliau hidup, yang mana pada saat itu akhlak yang dimiliki masyarakat banyak yang sudah rusak dan tidak ada pembenahan yang serius. Manusia yang hanya pintar di bidang keilmuan, tetapi ilmunya tidak disertai dengan akhlak karimah, maka tidak jarang kepintarannya hanya akan mendatangkan malapetaka dan bencana, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain dan lingkungannya. Cukup banyak ditengah-tengah kita contoh kasat mata para petinggi dan pejabat yang korup, kebanyakan mereka bukan orang –orang yang bodoh secara keilmuan, tidak sedikit pula perilaku kriminal, pembunuhan, penipuan dan banyak lagi kejahat yang dilakukan oleh orang-orang yang pintar, semua itu terjadi karena semata-mata akhlak yang mulia tidak menyertai mereka. Keadaan seperti ini juga terjadi pada masa kehidupan Al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan : tujuan murid dalam mempelajari ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah untuk kesempurnaan dan keutamaan jiwanya pendapat Al-Ghazali juga didiukung oleh Athiyah Al-Abrasyi dari pernyataan tersebut Al-Ghazali menghendaki adanya keluhuran rohani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat, merupakan tujuan utama dari pendidikan bagi kalangan manusia muslim karena akhlak merupakan aspek yang fundamental dalam kehidupan seseorang masyarakat ataupun suatu negara. Mengikuti pendapat Al-Ghazali tentang akhlak dengan mengacu pendapatnya dalam kitab Mauidhatul mu`minin beliau mengatakan: Hakekat akhlaq adalah keadaan atau kontitusi jiwa yang tetap (constant) yang menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan secara wajar gampang tanpa memerlukan pertimbangan dan pikiran. Bila konstitusi jiwa itu lahir perbuatan –perbuatan yang terpuji dari agama dan akal maka konstitusi (hai`ah) itu disebut watak yang baik. Sebaliknya apabila dari padanya lahir perbuatan-perbuatan yang tercela, maka hai`ah itu disebut dengan watak yang buruk Akhlak yang baik merupakan inti ajaran islam, karena ia sebagai pengejawantahan dari keimanan seseorang kepada Allah, yang terefleksi dalam kepatuhan terhadap pengamalan terhadap syaria`at agama, sebagai tuntunan hidup yang diyakini kebenarannya. Keyakinan terhadap tatanan moral yang dibarengi dengan kepercayaan terhadap Allah yang merupakan satu-satunya sebagai sumber tatanan moral itu akan melengkapi keimanan orang yang melakukan kebaikan. Al-Ghazali juga memeberikan nasihat kepada muridnya, yang disebutkan dalam karyanya kitab ayyuhal walad Hai anak! Ilmu yang tidak disertai dengan amal itu namanya gila dan amal yang tidak menggunakan ilmu itu namanya sia-sia, dan ketahuilah bahwa ilmu saja tidak akan menjauhkan maksiat di dunia ini dan tidak akan menjauhkanmu dari api neraka, maka apabila kamu tidak mengaktualisasikan ilmu yang kau miliki dalam bentuk amal maka engkau temasuk orang yang merugi Jadi antara ilmu dan amal harus saling seimbang dan saling melengkapi, setiap ilmu dan amal dari setiap manusia meski nantinya dipertanggung jawabkan dalam kehidupan dunia maupun akhirat, dalam artian seseorang yang sudah mempunyi ilmu itu harus diamalkan agar ilmunya itu bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat. F. Unsur-Unsur Pendidikan Menurut Al-Ghazali Pendidik dalam keseluruhan proses pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Melalui pendidiklah aktivitas pedagogik dapat diarahkan kepada tujuan yang ingin dicapai, ia juga bertanggung jawab dalam mentranformasikan ilmu oengetahuan dan nilai yang telah ditetapkan untuk dimiliki oleh peserta didik, oleh karena itu keberhasilannya akan banyak mempengaruhi keberhasilan proses pendidikan itu sendiri. Apabila kita merujuk pada beberapa istilah yang ada pada kontek pendidikan yang telah sedikit dipaparkan diatas maka sedikitnnya Al-Ghazali telah menggunakan istilah al-Muaddib, al-Muallim dan Al-Murabbi, Al-Ghazali memandang bahwa kepribadian guru dianggap sangat penting karena guru merupakan sosok panutan yang diikuti segala gerak-gerik serta tingkah lakunya. Selanjutnya Al-Ghazali mengemukakan syarat-syarat kepribadian seorang pendidik sebagai berikut: 1. sabar menerima masalah-masalah yang ditanyakan muridnya dan harus diterima dengan baik 2. senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih 3. jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya` atau pamer 4. tidak takabur kecuali kepada orang yang dhalim dengan maksud mencegah dari tindakannya 5. bersikap tawadu` dalam pertemuan-pertemuan 6. sikap dan pembicaraannya tidak main-main 7. menanam sifat beresahabat di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya. 8. menyantuni serta tidak membentak-bentak terhadap orang yang bodoh 9. membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya 10. berani mengatakan : saya tidak tahu, pada masalah yang tidak ia mengerti 11. menampilkan hujjah yang benar. Apabila berada pada pihak yang salah, bersedia ruju` kepada kebenaran G. Faktor Peserta Anak Didik di antara faktor yang penting dalam pendidikan adalah peserta didik, dalam dunia pendidikan peserta didik merupakan subjek dan objek. Oleh karenanya, aktifitas kependidikan tidak akan terlaksana tanpa adanya keterlibatan peserta didik yang ada di dalamnya. Pengertian yang utuh tentang peserta didik merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dan dipahami oleh seluruh pihak, terutama pendidik yang terlibat langsung dalam proses pendidikan. Dalam para dikma pendidikan islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa yang mempunyai sejumlah potensi yang (kemampuan) dasar yang masih perlu untuk dikembangkan dan membutuhkan bimbingan dari seorang guru, dalam hal itu maka peserta didik juga dituntut mempunyai beberapa sikap yang baik pada seorang guru sehingga aktifitas pendidikan dapat berjalan dengan lancer. Al-Ghazali menjelaskan tentang tentang tugas dan kewajiban para pelajar pada bagian khusus dalam kitabnya Ihya` Ulumuddin dengan pembahasan yang luas dan mendalam adapun pembahasan pada bab ini diuraikan sebagai berikut 1. mendahulukan kesucian jiwa. 2. bersedia untuk merantau dan menghindarkan dari kesibukan-kesibukan dunia Al-Ghazali mengatakan : seorang pelajar seharusnya mengurangi hubungannya dengan kesibukan-kesibukan dunia dan menjauhkan diri dari keluarga dan tanah kelahirannya. Karena segala hubungan itu akan mempengaruhi hati dan memalingkan hati pada yang lain 3. Jangan menyombongkan ilmunya 4. jangan menentang guru 5. mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan 6. agar pelajar tidak memasuki fak dari ilmu sebelum menyempurnakan fak yang dibacanya sebelumnya 7. mengetahui kaitan ilmu dengan tujuan supaya dia mendahulukan yang dekat atas yang jauh H. Materi-Materi Pendidikan Adapun mengenai materi pendidikan Al-Ghazali berpendapat bahwa al-Qur`an beserta kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahuan, isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak dan mendekatkan diri pada Allah. Dalam hal ini Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua macam, yaitu :pertama, ilmu Syari`ah semua ilmu yang berasal dari para nabi. Kedua, `ilmu ghairu syari`ah semua ilmu yang berasal dari para ijtihad ulama atau intelektual muslim. Sementara bila dilihat dari sifatnya ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua, yaitu : ilmu yang terpuji(mahmudah) dan ilmu yang tercela (mazmumah). Menurut Al-Ghazali ilmu pengetahuan yang terpuji wajib dicari dan dipelajari, sementara ilmu pengetahuan yang tercela wajib dihindari oleh setiap peserta didik. Dalam mengajarkan ilmu seorang pendidik hendaknya memberikan penekanan pada upaya membimbing dan membiasakan agar ilmu agar ilmu yang diajarkan tidak hanya dipahami, dikuasai, atau dimiliki oleh peserta didik, akan tetapi lebih dari itu perlu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pelaksanaannya, semua metode pendidikan yang memiliki relevansi terhadap upaya pendidikan hendaknya dapat digunakan pendidik dalm proses belajar mengajar. Penggunaan setiap metode pendidikan hendaknya diselaraskan dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, tingkat usia peserta didik, bakat, kecerdasan dan fitrahnya. I. Pandangan Ilmu Menurut Al-Ghazali Didalam memahami ilmu Al-Ghazali mendasarkan pemikirannya pada ajaran-ajaran Islam, oleh karena itu epistimologi yang digunakan adalah meemakai epistemologi Islam. Dengan menghadapkan landasannya pada pola berfikirnya itu kepada seluruh aliran yang berkembang pada dunia islam, dia mengalami rasa syak atau keragu-raguan (skeptis) sebab argumentasi yang disajikan oleh mereka tidak pernah meyakinkan dirinya untuk memahami nilai-nilai kebenaran itu. Al-Ghazali menganggap tidak ada ketuntasan pada pemikiran aliran itu untuk memahami kebenaran, dan mereka hanya sampai pada tingkat manusiawi semata. Sebagai langkah awal untuk mendamaikan kebenaran wahyu dan akal dengan menggunakan metode double skepticism sebagai metode analisis. Aspek pertama dalam metode ini adalah menanyakan peran indra dan akal sebagai sarana untuk mencapai pengetahuan yang benar. Persepsi indrawi terbatas oleh ruang dan waktu serta situasi seperti dapat dilihat dari contoh mata, sebagai saran untuk mengetahui pengalaman empiris, hanya menerima data-data yang terlihat. Namun demikian, pengetahuan tentang obyek yang sama berbeda ketika dilihat dari jarak dan posisi yang berbeda pula. Indera sentuh juga demikian, disisi lain dapat mendeteksi dingin dan panas tetapi tidak dapat memahami warna, dimensi kedua dari skeptisisme Al-Ghazali adalah menghadapi masalah umat yaitu, yaitu terjadinya saling serang dan menyerang antara aliran, hal ini disebabkan karena adanya taklid dan fanatisme, setelah mengecam taklid Al-Ghazali bertekad untuk mencari ilmu yakin yang belum pernah ia ketahui secara pasti. Menyadari panca indera bisa menipu dan dan bahaya ketergantungan epistemologi pada otoritas-otoritas yang berselisih. Ketika berusaha dua puluh tahunan ia berusaha meneliti landasan epistemologi pemikir yang dominan pada waktu itu dan mengkritik semua aliran pada waktu itu Persepsi Al-Ghazali tentang ilmu tidaklah terpilah-pilah, artinya Al-Ghazali meletakkan satu pemahaman tentang suatu ilmu dalam bentuk kesatuan teoritik yakni menjurus pemahaman ilmu sebagai ilmu Allah yang perlu dikaji dalam rangka membawa dunia dan seluruh isinya ke gerbang kemaslahatan. Al-Ghazali membagi ilmu kepada dua bagian yaitu ilmu syari`ah dan ilmu ghairu syari`ah. Ilmu syari`ah merupakan ilmu yang yang tidak diragukan lagi dampaknya bagi penuntutnya. Ilmu ini adalah inti penjelasan dan keterangannya langsung diperoleh dari Allah dan Rasul, sedangkan ilmu ghairu syari`ah adalah ilmu yang pencapaiannya diserahkan kepada manusia. Jadi, pandangan ilmu menurut Al-Ghazali adalah monokotomik Karakteristik dan kelainan alur pemikiran Al-Ghazali dibanding dengan para mutakallimun, filosuf cenderung mempunyai karakteristik tersendiri, disinilah Al-Ghazali membuat kajian yang tidak terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya, Ia membangun teori tersendiri yang lebih lengkap dan lebih komprehensif. Al-Ghazali menyadari bahwa adanya rasionalisme dan emperisme yang berlebihan akan mengancam lunturnya iman setiap Muslim. Dalam permasalahan ini Al-Ghazali lebih mengedepankan masyarakat awam, artinya Al-Ghazali lebih memberi jalan keluar untuk membel masyarakat awam. J. Ilmu Spiritual (Kashf). Al-Ghazali dalam perjalanan hidupnya yang selalu yang tidak pernah menemukan kebenaran yang sejati, menyebabkan dia memilih jalur alternatif sebagai seorang sufi. Perdebatan-perdebatan yang terjadi antara aliran yang satu dengan yang lain dan mereka semua menganggap bahwa dirinya yang paling benar sedangkan yang lainnya dianggap salah merupakan suatu alasan yang mendorongnya untuk menempuh jalur ini. Ilmu spiritual merupakan ilmu batin yang mempunyai karakteristik tersendiri, maka dari itu Al-Ghazali telah menyajikan beberapa metode untuk bisa membantu kita untuk memahami apa yang sesungguhnya ia maksudkan. Ilmu mukasayafah merupakan ilmu batin yang tersembunyi yang merupakan tujuan akhir dari segala ilmu termasuk ilmu praktis. Jelas ilmu ini tidak dapat didapatkan dengan panca indera atau kekuatan akal, ilmu ini ibarat yang akan bersinar dari kalbu, bila kalbu dibersihkan dari sifat-sifat yang tercela, cahaya inilah yang menjadi medium tercapainya pengetahuan tentang hakikat Tuhan serta makhluk spiritual lainnya. Dalam epistemologinya Al-Ghazali menempatkan hati sebagai tempat berseminya pengetahuan pada manusia, dalam diri manusia terdapat dua jendela dalam memperoleh ilmu pengetahuan, pertama lewat indera dan penalaran yang mengarah pada alam empirik (alam al-mulk) kedua lewat bashirah (hati yang dalam) jendela yang pertama digunakan oleh para ulama, sedangkan yang kedua digunakan oleh para wali. Pada akhirnya suluk yang dilakukan oleh Al-Ghazali tidak menjadikan memperoleh makrifat sebagai tujauan akhir, melainkan hanya mengantarkan pada tujuan terdekat yaitu (al-qurb) dengan Tuhan. Karena ma`rifat bukan merupakan hasil dari usaha manusia akan tetapi anugerah Allah kepada hambanya. Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan Al-Ghazali dengan para pemikir lain menggunakan dua hal untuk memperoleh pengetahuan yaitu dengan indera dan dengan batin, memperoleh pengetahuan dengan batin membutuhkan perjalanan yang panjang. Al-Ghazali memberi tuntunan hati harus dibersihkan dari sifat-sifat tercela karena sifat yang tercela akan menjadi penghalang datangnya cahaya dari Tuhan, dia menggambarkan hati ibarat cermin yang memantulkan cahaya, jika cermin itu masih kotor maka tidak akan dapat memantulkan cahaya secara sempurna atau bahkan tidak dapat memantulkan cahaya sama sekali. K. Karya-karya Al-Ghazali Al-Ghazali adalah ulama yang sangat kreatif, pemikir islam yang sangat produktif, ilmuwan muslim yang kedalaman ilmunya tidak dapat diukur lagi dan mempunyai nafas panjang dalam karangannya puluhan buku telah ditulisnya bahkan ada yang menyebutkan ratusan, hal inimenandakan bahwa Al-Ghazali adalah seorang yang multi talenta yang banyak mempunyai keahlian dalam keilmuan, yang mana inilah yang menandakan bahwa dirinya Diantara karya Al-Ghazali yang masih dapat kita baca sampai sekarang masih sangat banyak dan hal itu banyak di publikasikan. 1. Dalam bidang tasawuf • Adab al-Sufiyah • Adab fi al-Din • Al-Arba`fi al-Usuluddin • Al-Imla`fi Asykali Ihya` • Ayyuhal walad • Bidayatul Hidayah • Jawahirul Qur`an • Al-Hikmah fi mahluqatillah • Khulasu al- Tasawuf • Al-Risalah al- Laduniyah • Al-Risalah al- Wadziyah • Fatihah al-Ulm • Qawaidul Asyrah • Al-Kasyfu wa al-Tibyan • Musykilatul Anwar • Al- Dharorul Fakhriyah fi Kasyfi Ulum al-Akhirah • Minhajul Abidin ila al-Jannah • Mizan al-Amal • Nasihat al-Mulukiyah • Talbis al-Iblis • Al-Amali 2. Dalam bidang Aqidah • Al-Aujibah al-Ghazaliyah fi Masail al-Uhriwiyah • Al-Iqtishad fil I`tiqad • Al Jam`ul Awam • Al-Risalah Qudsiyah • Aqidah Ahli Sunnah • Fadhoilul Bathiniyah wal Mustadhariyah • Fishal al-Tafriqiyah Baina al-Zindiqiyah • Al-Qitas al-Mustaqim • Kimia al –Sa`adah • Al-Maqasidu al-Insy fi al-Syarkhi Asma Allah al-Husna • 3. Dalam bidang fiqh dan Ushul fiqh • Asrar al-Hajj • Al- Mustafa fi al-Ilmi Ushul • Al-Wajiz fi al-Furu` • Al- Basith • Al-Wasith • Al-Mankhul • Syifakhul `Alil fi Qiyas wa al- Ta`lil • Al-Dzari`ah ila Makarim al-Syari`ah 4. dalam bidang Mantiq dan Filsafat • Tahafut al-Falasifah • Risalah al-Thoyr • Mihk al-Nadhari fi-al Mantiq • Maqasid al-Falasifah • Al-Munqidz min Al-Dzolal • Al-Mustadhiri • Hujjatul Haq • Musfil al-Khilaf fi Ulum al-Din • Al-Muntaha fi al-ilmi al-Jidal • Al-Madhun bin `Ala Ghairi Ahlihi • Mahku al-Nadhar • Al-Qulul Jamil fi al-Raddi ala Man Ghayara al-Injil • Al-maqasidu al-Asna 5. Kelompok ilmu tafsir • Yaqut al-Ta`wil fi Tafsiri al-Tanzil • Jawahir al-Qur`an

KONSEP PSIKOLOGI DALAM PERKEMBANGAN STUDI ISLAM

KONSEP PSIKOLOGI DALAM PERKEMBANGAN STUDI ISLAM Oleh: Tauhedi As’ad. A.Pendahuluan Dari ayat diatas dapat dikatakan bahwasanya manusia diciptakan dari tanah dan telah melalui proses yang disempurnakan, maka kemudian ditiupkan Ruh dari Tuhannya. Kedua unsur pokok tersebut (tanah dan ruh) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam pandangan al-Qur'an sebagaimana yang dipahami oleh Imam Ghazali bahwa manusia memiliki aspek yang secara tegas dapat dibedakan menjadi tiga, namun secara pasti tidak dapat dipisahkan. Ketiga aspek tersebut adalah, pertama, aspek Jasad yang merupakan keseluruhan fisik-biologis, sistem sel, kelenjar, dan sistem syaraf (Psikologi Fisiologi). Kedua, aspek Jiwa/ psikis-psikologis yang merupakan keseluruhan kualitas insaniah yang khas milik manusia, berupa: pikiran, perasaan, dan kemauan (Psikologi Humanistik). Ketiga, aspek Ruh/ spiritual-transendental yang merupakan keseluruhan potensi luhur psikis manusia (Psikologi Transpersonal). Ketiga aspek inilah merupakan pembentuk totalitas manusia. Dengan demikian, tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi kepada sang Khaliq dan sebagai khalifah dimuka bumi yang dibebankan kepadanya tidak salah karena ketiga aspek sebagai totalitas manusia tidak dimiliki makhluk lain. Tugas ini merupakan relasi integral antara alam, manusia, dan Tuhan. Namun, tidak jarang keberadaanya justru kebalikan dari tujuan semula. Oleh karena itu, relasi ketiga aspek psikologis manusia diatas harus dapat terintegrasikan demi mencapai tujuan penciptaan dan sekaligus sebagai insan al-kamil. Karena banyaknya bahasan dalam hal psikologi manusia, maka dalam studi Islam ini, penulis menfokuskan bahasan pada aspek psikologi humanistik, yaitu mencakup dimensi al-Nafs, al-'Aql, dan al-Qalb. Psikologi humanistik memusatkan perhatian pada sisi kualitas kemanusiaan, berupa: pikiran, perasaan, dan kemauan. Paradigma ini adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan kualitas kemanusiaan. B. Konsep Psikologi dan Studi Islam Obyek formal telaah psikologi adalah manusia dan obyek materialnya adalah tingkah laku manusia. Psikologi adalah sebuah istilah yang dipergunakan untuk merujuk bentukan halus dalam diri manusia yang tidak terlihat dan hanya dapat dirasakan. Sesuatu yang tidak tampak itu menimbulkan kesulitan tersendiri dalam memberikan definisi yang tepat. Secara bahasa, psikologi berasal dari bahasa Inggris Psychology yang berasal dari bahasa Yunani Psyche yang artinya jiwa, dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Namun psikologi dalam bahasa arab sampai sekarang masih disebut ilmu nafs yang berarti ilmu jiwa. Karena beragamnya para ahli dalam mendefinisikan pengertian psikologi, maka penulis hanya mengutip dua pakar yang mewakili dalam pendefinisian psikologi. Menurut Plato dan Aristotes bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir. Sedangkan menurut Morgan, C.T. King bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan. Berbeda halnya dalam khazanah keilmuan Islam bahwa psikologi tidak semata sebagai ilmu yang membahas perilaku sebagai fenomena kejiwaan belaka melainkan dibahas dalam konteks sistem kerohanian yang memiliki hubungan vertikal dengan Allah. Keberadaan manusia telah banyak dibahas didalam al-Qur'an diantaranya adalah tentang sifat-sifat dan potensinya. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan dalam bentuk yang paling sempurna dibanding makhluk lainnya. Kesempurnaan manusia ini dibuktikan dengan pemberian akal yang dapat digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, benar dan salah. Manusia dianjurkan mencari kebenaran untuk menjalani hidup di dunia dan di akhirat kelak karena secara alamiah manusia mempunyai potensi diri. Proses aktualisasi potensi itu merupakan pencapaian tujuan akhir pendidikan Islam. Islam dapat dilihat mempunyai dua komponen, yaitu ibadah (aktifitas penyembahan) dan mu'amalah (interaksi dengan sesama manusia). Keduanya terjalin secara erat dan saling berkaitan dalam banyak hal. Interaksi dengan sesama dan keterkaitan atas keduanya yang dipengaruhi oleh perasaan, pikiran dan kemauan yang dimiliki oleh manusia akan menghasilkan pengakuan yaitu pengakuan atas keberadaan dan tanggung jawabnya sebagai abdullah dan khalifah. Sedangkan untuk mengaktualisasikan tugas ganda sebagai abdullah dan khalifah maka Allah telah melengkapi manusia dengan sejumlah potensi dalam dirinya. Potensi yang dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab adalah al-Nafs, al-'Aql, dan al-Qalb . Dimensi nafsu memiliki dua daya utama yaitu daya ghadab (marah) dan daya syahwat (senang). Daya ghadab adalah daya untuk menghindari sesuatu yang membahayakan atau hal yang tidak menyenangkan. Sedangkan daya syahwat adalah daya untuk merebut dan mendorong kepada hal-hal yang memberikan kenikmatan. Sementara dimensi Aql memiliki daya mengetahui dan memahami. Daya mengetahui itu muncul sebagai akibat adaya daya fikir seperti memikirkan, memperhatikan, menginterpretasikan. Sedangkan dimensi Qalb memiliki dua daya yaitu daya memahami dan daya merasakan. Daya memahami pada Qalb (disamping menggunakan daya memahami dan merasakan) memiliki daya persepsi Ruhaniah yang sifatnya menerima, yaitu memahami yang haqq dan ilham /ilmu dari Tuhan. Dengan demikian, jiwa manusia mampu menangkap pengetahuan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan Aql dan Qalb. Manusia bebas menentukan tingkah lakunya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kemauannya, namun pada saat yang bersamaan, manusia juga bertanggung jawab terhadap lingkungan alam, manusia, dan Tuhannya. Tanggung jawabnya terhadap alam adalah untuk melestarikannya, tanggung jawabnya terhadap sesama manusia adalah mensejahterakannya, dan tanggung jawab terhadap Tuhan adalah untuk mencari Ridla-Nya. Islam sebagai petunjuk tentang ketundukan total kepada Allah dimaksudkan tidak hanya bagi orang-orang tertentu, tetapi bagi seluruh umat manusia. Universalisme Islam ini berarti bahwa semua manusia, baik sesama individu, sesama kelompok, maupun sesama bangsa adalah sama dihadapan Allah. Seseorang atau kelompok tidak dinilai berdasarkan keturunan atau kesempurnaan fisik seseorang tetapi berdasarkan keimanan, kehidupan yang lebih baik, dan perhatiannya kepada kesejahteraan orang lain. C. Psikologi Humanistik Dalam Studi Islam Psikologi Islami memandang bahwa manusia selalu dalam proses berhubungan dengan alam, manusia, dan Tuhan. Hubungan manusia dengan alam sangat diperlukan untuk menghargai dan menghormati terhadap ciptaannya sehingga manusia mampu menjaga lingkungan yang baik. Sedangkan hubungan manusia dengan sesamanya yaitu menjaga dan melindungi harga dan martabat sebagai manusia, karena manusia diciptakan sama, maka sikap dan tindakan jangan sampai mengakibatkan perpecahan dan permusuhan. Sementara manusia dengan Tuhan tiada lain untuk menciptakan hubungan penghambaan yang baik, karena manusia diciptakan oleh Allah dengan penuh kasih sayang. Dalam pandangan psikologis humanistik, manusia mempunyai potensi untuk berbuat baik dari aspek kemauan , kebebasan, perasaan, dan pikiran untuk mengungkap makna hidup dengan berdasarkan nilai-nilai ketauhidan sehingga manusia mampu mengembangkan potensi dan kualitas hidup yang Islami. Oleh karena itu, konsep tersebut mengintegrasikan hubungan piramida antara nafs, akal, dan hati ke dalam konteks psikologis manusia dengan berdasarkan pada ajaran-ajaran wahyu. Hubungan konsep psikologis humanistik tersebut, akan melahirkan kreatifitas hidup sebagaimana yang telah dipesankan Tuhan dalam al-Quran yaitu semangat untuk berpikir, kemauan berbuat kebaikan dan menciptakan nilai-nilai spritualitas yang tinggi demi kualitas hidup manusia secara universal. Sebagai ajaran yang paling mendasar dan penting dari Islam adalah tauhid. Penegasan terhadap kenyataan diri yang sesungguhnya bahwa penguasa segala sesuatu adalah satu, namun tidak semata berarti suatu bilangan. Ke Esaan Allah diluar bilangan, ini untuk menjelaskan atas keistimewaan-Nya. Ke Esaan‎ Allah akan terwujud dalam dunia sekeliling manusia, dalam keharmonisan, keteraturan, dan keindahan ciptaannya. Dengan demikian, yang terpenting dari segala dasar ini adalah pengakuan dan mengimani tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa. Iman berarti keselamatan atau keamana dan ini melibatkan pengakuan dihati dan perbuatan anggota badan, yang keduanya diperkuat oleh kemampuan olah pikir. Beriman kepada Allah dalam hal ini disebutkan untuk menunjukkan bahwa hal itu memberikan kerangka dasar dimana moralitas harus dilaksanakan. Manusia dapat memilih moralitas tanpa agama, namun kondisi ini akan membawa manusia kepada bencana ideologi komunisme. Dasar lain dari pengakuan adalah mengakui atas kerasulan Muhammad, wahyu, dan kitab suci. Salah satu ajaran dasar lain dalam Islam ialah bahwa manusia itu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Islam berpendapat bahwa hidup manusia di dunia ini tidak bisa terlepas dari hidup manusia di akhirat. Bahwa lebih dari itu, corak hidup manusia di dunia ini menentukan corak hidupnya di akhirat kelak. Prinsip-prinsip ajaran tersebut harus dilakukan oleh umat Islam untuk mengembangkan kesadaran spritual untuk meningkatkan kualitas dan potensi hidup secara Islami. Semangat konsep psikologis humanistik mengisi dan mengembangkan bahkan mengkritik konsep-konsep Barat yang cenderung mengedepankan konsep pemisahan agama dengan ilmu pengetahuan. Simbol yang menyolok dari arogansi manusia ini adalah penyombongan terhadap Titanic yang tenggelam ke dalam lautan Allah pada musim semi tahun 1912. Salah satu bukti kritikan terhadap Barat tentang perkembangan psikologis yaitu Sigmund Freud dalam teori psikoalisis yang menyatakan bahwa, anatomi tubuh manusia ada tiga kategori yaitu, Id, Ego, dan Super Ego yang tidak dapat dipisahkan. Menurutnya, yang lebih dominan dalam struktur psikis manusia bawah sadar adalah Id dan memandang manusia sebagai makhluk yang sangat ditentukan oleh masa lalunya. Teori ini dipandang sebagai teori yang menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang ada dalam diri manusia. Teori ini hanya menjelaskan adanya kebutuhan manusia yang paling mendasar, yaitu kebutuhan fisiologis. Namun teori ini belum mampu menjelaskan kebutuhan-kebutuhan luhur (mulia) dari diri manusia. Sejalan dengan itu, teori ini juga belum mampu menjelaskan tentang kebutuhan manusia terhadap agama dan adanya dorongan iman sebagai penggerak seseorang untuk bertingkah laku. Manusia tidak dibebaskan begitu saja tanpa adanya pergerakan hati mereka untuk memilih. Setiap manusia dilahirkan sebagai muslim pada saat awal penciptaannya. Manusia adalah sekumpulan kontradiksi, yaitu diciptakan secara fitrah dalam keadaan beriman tetapi mereka juga memiliki kecenderungan untuk mengikuti nafsu atau keinginan jasmaninya. Keadaan ini justru merupakan kekuatan besar untuk melaksanakan tugas sebagai hamba dan khalifah karena akan mudah menerima ajaran agama yaitu Islam, suatu agama yang sesuai dengan fitrah kejadian manusia, agama yang mengatur hubungan manusia dan Tuhan, manusia dengan sesamannya dan manusia dengan alam lainnya. Kesimpulan Potensi manusia yang berupa pikiran, perasaan, dan kemauan yang diaktualkan kepada pengakuan tentang ke Esaan Allah bukanlah sebagai argumentasi filosofis melaikan penegasan bahwa manusia memang mengakuinya. Demikianlah mereka mengikuti seruan Allah. Tauhid berarti pengetahuan bahwa Allah sebagai satu-satunya penguasa yang berkuasa atas alam semesta. Pengetahuan ini bukanlah hasil dari kepercayaan tetapi ia adalah dasar kepercayaan. Kesadaran akan tauhid adalah bagian dari pengetahuan yang Allah ciptakan dalam diri setiap manusia pada sifat fitrahnya. Islam adalah kepastian mutlak atas ke Esaan Allah. Keimanan dan ke Esaan‎ Allah menunjukkan persatuan makhluk, kemanusiaan dan umat Islam. Ini adalah kerangka dimana agama dan moralitas harus ditetapkan. Iman dalam analisa akhir merupakan suatu analisa sikap. Seorang dapat menjadi muslim dan akan hidup dalam kedamaian ditengah masyarakat, tetapi jika seseorang tidak memiliki keimanan ia adalah seorang munafik. Pengakuan adanya Allah didasari atas dimensi psikis manusia berupa Nafs (kemauan), Aql (pikiran), dan Qalb (perasaan). Daftar Pustaka Anshari, Endang Saifuddin. Wawasan Islam, Pokok-pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sisitem Islam (Jakarta : Gema Insani, 2004 Ayoub, Mahmoud M. Islam: Antara Keyakinan & Praktik Ritual, Refleksi Cendikiawan Muslim Untuk Kesadaran dan Kesatuan Umat, Nur Hidayat (terj). Yogyakarta : AK. Group, 2004. Baharuddin. Aktualisasi Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2005. _______________. Paradigma Psikologi Islam, Studi Tentang Elemen Psikologi Dari al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Al-Husna Baru, 2003. ¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬______________. Teori-teori Kesehatan Mental (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1992), hlm. 202. Nashori, Fuad. Potensi-potensi Manusia, Seri Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2005. Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Pres, Jilid I, 1985. Shaleh, Abdul Rahman & Muhib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar, Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Prenada Media, Cet. II, 2005.

NAPAK TILAS SEJARAH ISLAM DI SPANYOL

NAPAK TILAS SEJARAH ISLAM DI SPANYOL Oleh : Tauhedi As’ad A. Pendahuluan. Ketika Islam memasuki masa kemunduran, Eropa bangkit dari keterbelakangannya. Kebangkitan itu bukan hanya terlihat pada bidang politik dengan keberhasilan Eropa mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya, tetapi terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, karena kemajuan ilmu dan teknologi inilah yang mendukung keberhasilan politiknya. Kemajuan Eropa tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan Islam yang ada di Spanyol, dari sinilah Eropa banyak menimba ilmu. Pada periode klasik, ketika Islam mencapai puncak masa keemasan, Spanyol merupakan pusat peradaban yang sangat penting menyaingi Baghdad yang ada diwilayah timur, ketika itu orang-orang Eropa Kristen banyak belajar di perguruan-perguruan tinggi disana. Secara langsung Islam menjadi guru bagi orang Eropa, karena itu Islam yang ada di Spanyol sangat menarik bagi para sejarawan untuk mengkajinya. Banyak para tokoh Islam cemerlang yang mampu memberikan konstribusi keilmuan tentang keislaman, politik dan sosial untuk memperjuangkan negaranya sehingga Spanyol menjadi peradaban yang representatif. Pada perkembangannya, kekuasaan Spanyol tambah merosot dibidang kekuatan politik negara karena tidak adanya negosiasi yang baik untuk melakukan perbaikan antara rakyat dengan penguasa sehingga Islam di Spanyol secara bertahap mengalami kemunduran. Salah satunya adalah pengusiran seorang tokoh pemikir Islam dan pembakaran kitab-kitab yang berbobot kemudian sebagian kitabnya diambil oleh orang-orang Eropa untuk dipelajarinya. Asumsi diatas merupakan gambaran sejarah peradaban Islam di Spanyol yang pernah jaya, kemudian mengalami kemunduran drastis yang dialamainya sehingga Islam di Spanyol terkubur dan diganti oleh komunitas yang mayoritas masyarakat kristen sampai saat ini. B. Masuknya Islam Ke Spanyol. Andalusia merupakan nama suatu wilayah yang pada periode sebelum Islam dikenal dengan sebutan semenanjung Iberia. Nama Andalusia berasal dari kata Vandal, karena bagian selatan bangsa itu pernah dikuasai oleh bangsa Vandal yang pada akhirnya mereka diusir oleh bangsa Gothia barat pada abad V. masehi. Sebenarnya Islam masuk di wilayah Spanyol sudah sangat lama, yaitu pada masa kepemimpinan Islam berada pada Amirul Mu'min Umar bin Khattab. Penaklukan semenanjung ini berawal dari kekuasaan Islam yang ada di Afrika Utara pada zaman khalifah Al-Walid yang pada masa itu gubernur Afrika Utara Musa bin Nushair mengawali mengirimkan pasukan sebanyak 500 orang yang di pimpin oleh Tarif rbnu Malik pada tahun 91 h./ 710 m. ia dan pasukannya mendarat pada sebuah tampat yang kemudian diberi nama Tarifa. Ekspedisi ini berhasil dan ia kembali ke Afrika utara membawa hanyak ghanimah. Kemudian, Musa Ibnu Nushair mengirimkan 7000 tentara yang dipimpin oleh Thariq ibn Ziyad. Ekspedisi kedua ini mendarat di bukit karang yang akhirnya tempat itu diabadikan dengan sebutan Giblaltar (Jabal Thariq) pada tahun 92 H/ 711 m. pada bukit itu-Thariq ibn Ziyad berpidato untuk membangkitkan semangat juang pasukannya karena musuh yang akan mereka hadapi sangat banyak yang jumlahnya berlipat ganda, selain itu Thariq memberikan kejutan pada se'uruh pasukannya yaitu membakar semua perahu yang ada. Pada saat yang bersamaan Thariq ibn Ziyad mendapat tambahan pasukan sebanyak 5000 pasuken dari Afrika utara sehingga pasukannya menjadi 12000 orang. Pertempuaran pertama pecah dekat muara sungai Salado yang terjadi pada bulan Ramadlan tahun 92 H bertepatan dengan 19 juli 711 M. pertempuran itu mengawali kemenangan Thariq ibn Ziyad sampai pada akhirnya Toledo ibukota Ghotia barat dapat direbut pada masa itu juga. Pada bulan Juni tahun 712 Musa membawa pasukan sebanyak 10000 untuk menaklukkan kota-kota yang belum direbut oleh Thariq ibn Ziyad sampai pada bulan Juni tahun berikutnya. Akhirnya Thariq ibn Ziyad menyerahkan kepemimpinan Andalusia kepada Musa disuatu kota kecil Talavera dan pada saat itu juga, Musa mengumumkan bahwa Andalusia bagian dari wilayah kekuasaan bani Umayah yang berpusat di Damaskus. Penaklukan selanjutnya diarahkan di bagian utara hingga mencapai kaki pegunungan Pyrenia yang mana dikaki bukil itu terbentang tanah milik bangsa Prancis, Musa bcrambisi menaklukkan daerah itu, namun Khalifah Al-Walid tidak merestuiilya bahkan ia memanggil Musa dan Thariq ke Damaskus. Sebelum bcrangkat Musa menyerahkan kekuasaannya kepada Abdul Aziz ibn Musa yang akhirnya ia dapat menaklukkan wilayah Andalusia bagian timur, sehingga pada akhirnya seluruh wilayah Andalusia dapat dikuasai, kecuali Galicia sebuah wilayah yang tandus yang di bagian barat semenanjung itu. Andalusia menjadi salah satu propinsi dari daulah bani Umayah sampai Tahun 132/750. Selama pada periode itu para gubernur berusaha mewujudkan impian Musa bin Nushair untuk menguasai Galia. Akan tekrptTdalam sebuah pertempuran Poitiers di dekat Tours pada tahun 114-733 tentara Islam dibawah kepemimpinan Abd Rahman al-Ghafiqi dapat dipukul mundur oleh tentara Nasrani yang dipimpin oleh Karel Martel. Itulah merupakan akhir dari serentetan kisah kesuksesan umat Islam di utara pegunungan Pyrenia. Dan setelah itu sejarah tidak pernah mencatat lagi kemenangan yang berarti dalam menghadapi serangan balik kaum Nasrani. C. Perkembangan Islam di Spanyol. Sejak pertama kali Islam menginjakkan kakinya di Spanyol hingga akhirnya harus hengkang dari negeri itu, Islam memainkan peranan yang sangat penting, masa itu berlangsung hampir lebih tujuh setengah abad. Sejarah panjang umat Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam periode. 1. Periode Pertama (711-755 M). Pada periode ini wilayah Spanyol belum sepenuhnya dapat dikuasai secara sempurna, dari segi stabilitas politik wilayah ini masih lerjadi gangguan-gangguan baik yang datang dari dalam maupun dari luar. (iangguan dari dalam antara lain terjadinya perselisihan diantara elit penguasa terutama adanya perbedaan etnis dan golongan, selain itu terdapat perbedaan antara khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat di (Kjiairawan. Masing-masing mengaku mereka yang paling berhak menguasai daerah Spanyol. Oleh karena itu dalam waktu yang sangat singkat terjadi banyak pergantian wali di Spanyol. Perbedaan politik itu sering menyebabkan perang saudara. Hal ini juga berkaitan dengan perbedaan etnis terutama antara Barbar dan Arab, didalam Arab sendiri terdapat dua etnis tersendiri yang terus bersaing yaitu suku Arab utara dan selatan. Perbedaan etnis ini yang seringkali menimbulkan konflik politik, terutama ketika tidak ada figur yang tangguh, oleh karena itu sebabnya di Spanyol tidak ada gubernur yang mampu memptrtahankan kekuasaannya dalam jangka waktu yang agak lama. " Gangguan dari Iuar datang dari sisa musuh-musuh Islam yang ada di pegunungan yang tidak mau tunduk pada pemerintahan Islam. Gerakan ini terus memperkuat diri sehingga gerakan ini nantinya yang akan mengusir Islam dari Spanyol setelah berjuang hampir 500 tahun. Dalam periode ini bisa dikatakan Islam di Spanyol belum memasuki pembangunan dibidang peradaban dan kebudayaan, karena seringnya terjadi konflik baik secara internal maupun eksternal. Periode ini berakhir sampai datangnya Abd al-Rahman al-Dhakhil ke Spanyol pada tahun 138 H/755 M. 2. Periode Kedua (755-912 M). Pada Tahun 750 M, Abbasiyah meraih tampuk kekuasaan dengan ditandai pembantaian massal terhadap anggota keluarga Umayyah. Meski demikian, ada segelintir orang yang selamat dari pembantain itu, salah satunya adalah Abd al-Rahman ibn Mu'awiyah, cucu Hisyam khalifah kesepuluh Umayah diberi gelar al-Dakhil karena beliau lolos dari kejarari Bani Abbasiyah dan bisa masuk ke Spanyol dengan selamat. Pelarian Abd al-Rahman dengan adiknya dimulai dari perkemahan orang Arab Badui di tepian kiri sungai Efrat untuk menyelamatkan diri dari kejaran penguasa Abbasiyyah, sedangkan adiknya tidak lo!os dari keselamtannya sehingga meninggal dunia di tengah sungai karena tidak pintar berenang, sementara kakaknya terus berenang sampai diseberang sungai dengan selamat. Meskipun tidak memakai geiar khalifah dan hanya memakai gelar Amir saja, negeri ini yang terkenal mempunyai tiga Abd al-Rahman sangatlah maju. Tiga orang Abd al-Rahman ini adalah Abd al-Rahman I yang terkenal dengan nama "al-Dakhil" (yang masuk), Abd al-Rahman II yang bergelar " al-Ausath" ( yang pertengahan) sampai pada Abd al-Rahman III, yang bergelar "al-Nashir" (yang membela) menambah semarak kepemimpinan di Andalusia, hampir tidak dapat diputuskan siapa yang paling besar jasanya diantara ketiga raja tersebut, karena ketiganya mempunyai kedudukan tersendiri yang antara satu dan satunya melebihi yang lain. Merekalah yang memperteguh daulat itu. Mereka juga yang menghamparkan sayap ke-Arab-an di benua Barat. Ketiga orang ini sangat cerdik dan ahli dalam hal mengatur tentang negeri. Pada periode ini Spanyol mulai dipimpin oleh Abd al-Rahman I, umat Islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan baik dalam bidang politik maupun peradaban. Sekolah-sekolah mulai didirikan, Abd al-Rahman I mendirikan masjid Cordova serta sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol. Pada masa ini berkuasa pula Hisyam yang terkenal dengan sang penegak hukum Islam, dan terkenal pula sebagai pembaharu dalam bidang kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Abd al-Rahman II dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu, pemikiran filsafat mulai masuk pada periode ini, ia mengundang para pemikir dari dunia Islam datang ke Spanyol. Pada saat inilah kegiatan ilmu pengetahuan di Spanyol mulai semarak. Sekalipun demikian, berbagai ancaman dan kerusuhan terus terjadi. Pada pertengahan abad ke-9 stabilitas negara terganggu dengan adanya gerakan Kristen fanatik yang mencari. kesyahidan, namun gereja kristen Spanyol tidak menaruh simpati dengan gerakan itu, karena pemerintah Islam telah menerapkan kebebasan beragama. Penduduk Kristen diperbolehkan memiliki pengadilan tersendiri dengan berdasarkan hukum Kristen, peribadatan tidak dihalangi. Lebih dsri itu mereka diizinkan mendirikan gereja-gereja baru disamping asrama rahib atau lainnya. Mereka juga tidak dihalangi masuk sebagai anggota pemerintahan atau menjadi karyawan pada instansi militer. Ganguan yang paling serius pada periode ini datang dari umat Islam sendiri, goiongan pemberontak Toledo pada tahun 852 M membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Disamping itu orang yang tak puas membangkitkan revolusi. Yang terpenting adalah pcmberontakan yang dipimpin oleh Hafsun dan anaknya yang berpusat dipeguiiungan Malaga, seiain itu perselisihan antara orang Arab dan Barbar terus terjadi. 3. Periode Ketiga (912-1013) Periode ini berlangsung pada pemerintahan Abd al-Rahman III yang bergelar al-Nashir sampai muncuinya raja-raja kelompok yang dikenal dengan sebutan (al-Thawaif) pada periode ini Spanyol diperintah oleh khalifah, penggunaan gelar khalifah ini bermula dari berita yang sampai pada Abd al-Rahman III, bahwa Al-Muqtadir, khalifah Bani Abbasiyah di-Baghdad meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Menurut penilaiannya pada saat ini pemerintah Baghdad berada dalam kemelut. la berpendapat bahwa saat ini merupakan saat yang tepat untuk memalai gelar khalifah yang telah hilang selama 150 tahun dari Bani Umayah. Karena itulah gelar ini mulai dipakai pada tahun 929 M. Pada periode ini Khalifah-khalifah besar yang memerintah ada tiga orang, yaitu Abd al-Rahman al-Nashir 912-961 M, Hakam II (961-976 M) dan Hisyam II (976-1009 M). Pada saat kemajuan di Spanyol mengalami puncaknya menyaingi kemajuan yang ada di Baghdad. Abd al-Rahman al-Nashir mendirikan universitas Cordova. Perpustakaan ini mempunyai ratusan ribu buku. Hakam II juga merupakan kolektor buku dan pendiri perpustakaan. Pada saat ini masyarakat dapat menikmati kesejahte'raan dan kemakmuran serta pembangunan kota berelangsung cepat. Ketika Hisyam naik tahta dalam usia sebelas tahun khilafah mengalami gonjang-ganjing, oleh karena itu kekuasaan alctual berada ditangan para pejabat. Pada tahun 981 M, khalifah menunjuk Ibn Abi 'Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Ibnu Amir merupakan seseorang yang sukses dalam mengembangkan sayap kekuasaan dan melebarkan daerah kekuasaan Islam dengan atas keberhasilannya ia mendapat gelar al-Mansur Billah. la wafat pada tahun 1002 M dan digantikan oleh anaknya yang tidak mempunyai kualitas bagi jabatan itu. Beberapa tahun kemudian, negara yang asalnya makmur berubah menjadi kacau balau, akhirnya pada tahun 1009 M khalifah mengundurkan diri. Beberapa orang dicoba untuk. menduduki jabatan itu dan tidak ada satupun yang sanggup memperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013M dewan menteri yang memrintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu, Spanyol telah terpecah dalam negara-negara kecil yang berpusat pada kot-kota tertentu. tugas utama yang mestinya dikembangkan oleh khalifah sesudahnya adalah mengamankan wilayah dan mencari penyelesaian bagi sejumlahh permasalahan yang pelik yang muncul karena adanya dua elemen penduduk yaitu Kristen dan muslim dan juga mestinya mengatasi kecemburuan sosial antara muslim Arab lama dan muslim Spanyol muallaf. 4. Periode Keempat (10(3-1086 M). Pada periode ini Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negara kecil dibawah pemerintahan. Raja-raja golongan "Al- Muluk al-Thawaif yang berpusat seperti pada kota Sevtrter Granada; Toledo darrsebagainya. Yang terbesar adalah Abadiyah di Seville. Pada masa ini umat Islam kembali pada masa pertikaian yang intern. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara ada diantara pihak-pihak yang meminta bantuan kepada orang Kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan ini umat Kristen mengambil inisiatif untuk melakukan penyerangan. Meskipun kehidupan politik tidak stabil tetapi kehidupan intelektual masih tetap sangat maj u pada periode ini. Istana-istana mendorong pada para sarjana untuk mendaptkan perlindungan dari istana yang satu ke istana yang lain. 4. Periode Kelima (1086-1248 M). Pada periode ini meskipun Islam meskipun terpecah dalam beberapa negara tapi masih terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu dinasti Murabbitun (1086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti Murabbitun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin di Afrika utara. Pada tahun 1022 M ia berhasil mendirikan kerajaan yang berpusat di Marakesy. Ia masuk Spanyol atas undangan raja-raja Spanyol yang memikul berat perjuangan karena negerinya diserang oleh orang-orang Kristen. Ia dan tentaranya memasuki Spanyol dan berhasil mengalahkan tentara Kastilia. Karena perpecahan diantara raja-raja Spanyol akhirnya Yusuf melangkah lebih jauh untuk menguasai Spanyol dan akhirnya ia berhasil untuk itu. Pada masa Yusuf diteruskan oleh anaknya yaitu AH yang saleh, pada masa ini timbul gairah agama yang sangat fanatik dan hal ini menimbulkan kerugian kaum Kristen, Yahudi, bahkan kaum muslim liberal. Pada masa ini karya al-Ghazali dimasukkan kedalam daftar hitam dan dibakar di Spanyol dan Maroko. Akan tetapi penguasa-penguasa sesudahnya sangat lemah dan akhirnya pada tahun 1143 M dinasti ini berakhir baik di Afrika Utara maupun di Spanyol. Kemudian digantikan dengan dinasti Muwahhidun. Saragossa jatuh ke tangan penguasa Kristen pada masa dinasti Murabbitun tepatnya pada tahun 1118 M. Sebenamya pada masa sesudah ini muncul kenbali dinasti-dinasti kecil tetapi tidak dapat bertahan lama, kira-kira tiga tahun. Pada tahun l146 M penguasa dinasti Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara mcrebut daerah ini. Dinasti Muwahhidun datang ke Spanyol dibawah kepemimpinan Abd al-Mun'im antara tahun 1114 M dan 1154 M, kota-kota penting Spanyol jatuh ketangannya. Untuk beberapa dekade dinasti ini mengalami kemajuan. Kekuatan Kristen dapat dipukul mundur, akan tetapi tidak lama setelah itu Dinasti ini juga mengalami kemrosotan. Pada tahun 1212 M kekuatan-kekuatan kristen memperoleh kemenangan besar di las Navas de Tolesa. Kekalahan yang dialami Muwahhidun menyebabkan dia memilih untuk meninggalkan Andalusia dan kembali ke Afrika utara pada tahun 1235M. Kekuasaan Spanyol kembali dibawah kekuasaan-kekuasaan kecil, dalam kondisi demikian umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Tahun 1238 M Cordova jatuh ketangan penguasa Kristen selanjutnya pada tahun 1248 M. 5. Periode Keenam (1248-1492 M). Pada periode ini Islam hanya berkuasa di Granada dibawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492 M) peradaban kembali mengaalami kejayaan sama pada zaman Abd al-Rahman al-Narhir, akan tetapi secara politik dinasti ini hanya berkuasa pada wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam ini berakhir karena perpecahan dan perselisihan orang istana dalam mempeerebutkan kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad merasa tidak senang kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantinya sebagai raja. Dia memberontak dan merampas kekuasaan, dalam pemberontakan itu ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Abdullah Ibn Sa'ad. Abu Abdullah kemudian meminta bantuan kepada ferdinand dan Issabella untuk menjatuhkannya. Dua penguasa Kristen ini dapat mengalahkan penguasa yang sah dan Abu abdillah naik tahta. Pada periode ini meskipun Islam meskipun terpecah dalam beberapa negara tapi masih terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu dinasti Murabbitun (1086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti Murabbitun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin di Afrika utara. Pada tahun 1022 M ia berhasil mendirikan kerajaan yang berpusat di Marakesy. Ia masuk Spanyol atas undangan raja-raja Spanyol yang memikul berat perjuangan karena negerinya diserang oleh orang-orang Kristen. Ia dan tentaranya memasuki Spanyol dan berhasil mengalahkan tentara Kastilia. Karena perpecahan diantara raja-raja Spanyol akhirnya Yusuf melangkah lebih jauh untuk menguasai Spanyol dan akhirnya ia berhasil untuk itu. Pada masa Yusuf diteruskan oleh anaknya yaitu AH yang saleh, pada masa ini timbul gairah agama yang sangat fanatik dan hal ini menimbulkan kerugian kaum Kristen, Yahudi, bahkan kaum muslim liberal. Pada masa ini karya al-Ghazali dimasukkan kedalam daftar hitam dan dibakar di Spanyol dan Maroko.22 Akan tetapi penguasa-penguasa sesudahnya sangat lemah dan akhirnya pada tahun 1143 M dinasti ini berakhir baik di Afrika Utara maupun di Spanyol. Kemudian digantikan dengan dinasti Muwahhidun. Saragossa jatuh ke tangan penguasa Kristen pada masa dinasti Murabbitun tepatnya pada tahun 1118 M. Sebenamya pada masa sesudah ini muncul kenbali dinasti-dinasti kecil tetapi tidak dapat bertahan lama, kira-kira tiga tahun. Pada tahun li46 M penguasa dinasti Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara mcrebut daerah ini. Dinasti Muwahhidun datang ke Spanyol dibawah kepemimpinan Abd al-Mun'im antara tahun 1114 M dan 1154 M, kota-kota penting Spanyol jatuh ketangannya. Untuk beberapa dekade dinasti ini mengalami kemajuan.23 Kekuatan Kristen dapat dipukul mundur, akan tetapi tidak lama setelah itu Dinasti ini juga mengalami kemrosotan. Pada tahun 1212 M kekuatan-kekuatan kristen memperoleh kemenangan besar di las Navas de Tolesa. Kekalahan yang dialami Muwahhidun menyebabkan dia memilih untuk meninggalkan Andalusia dan kembali ke Afrika utara pada tahun 1235M. Kekuasaan Spanyol kembali dibawah kekuasaan-kekuasaan kecil, dalam kondisi demikian umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Tahun 1238 M Cordova jatuh ketangan penguasa Kristen selanjutnya pada tahun 1248 M.24 6. Periode Keenam (1248-1492 M). Pada periode ini Islam hanya berkuasa di Granada dibawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492 M) peradaban kembali mengaalami kejayaan sama pada zaman Abd al-Rahman al-Narhir, akan tetapi secara politik dinasti ini hanya berkuasa pada wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam ini berakhir karena perpecahan dan perselisihan orang istana dalam mempeerebutkan kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad merasa tidak senang kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantinya sebagai raja. Dia memberontak dan merampas kekuasaan, dalam pemberontakan itu ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Abdullah Ibn Sa'ad. Abu Abdullah kemudian meminta bantuan kepada ferdinand dan Issabella untuk menjatuhkannya. Dua penguasa Kristen ini dapat mengalahkan penguasa yang sah dan Abu abdillah naik tahta. Ferdinand dan Isabella yang telah mempersatukan dua kerajaan besar dengan perkawiunannya itu tidak merasa puas. Keduanya ingin merebut kekuasaan terakhir umat islam di Spanyol, Abu Abdillah tidak kuasa menahan serangan dari dua penguasa Kristen ini dan kemudian ia mengaku kalah untuk menyerahkan kekuasaannya pada Ferdinan dan Isabella. Abu Abdillah dialah yang menyerahkan kunci pintu kota Granada kepada kedua raja suami istri itu dan meninggalkan tumpah darahnya dan kerajaan yang didirikan nenek moyang nya dengan susah payah. Dia meninggalkan Spanyol dengan air mata yang berlinang berangkat ke Afrika dan hidup melarat disana. Bukit ketinggian tempat dia meratap sampai sekarang diabadikan oleh orang Spanyol dengan nama “ air mata orang Arab yang akhir”. Dengan demikian berakhirlah seluruh kekuasaan Islam disana. D. Kehidupan Politik dan Pemerintahan. Masa Andalus pada mulanya dikuasai oleh para komandan penakluk Arab, pada masa ini merupkan masa pertentangan yanbg antara berbagai golongan mereka. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang patut utnuk dicatat sebagai laju pembangunan pada wilayah ini. Ketika itu negeri Andalus secara resmi merupkan bagian dari kekuasaan Bani Umayah. System administrasi kekuasaan barat tidak jauh berbeda dari system kekuasaan di timur. Jabatan penting di khalifahan biasanya dipegang secara turun temurun. Walaupun kadang-kadang para bangsawan memilih orang-orang yang mereka sukai. Seorang hajib (pengurus rumah tangga) berada diatas kedudukan para wazir. Ia menjadi perantara komunikasi antara mereka para wazir dan khalifah. Setiap wazir bersama beberapa khuttab (sekretaris) bawahannya menanggung jawab kantor kementrian. Provinsi dipimpin oleh seorang gubernur sipil dan militer yang disebut dengan wali. Kota-kota penting juga berada dibawah kekuasaan para wali. Peradilan dijalankan secara langsung oleh khalifah, yang kemudian mendelegasikan wewenang kepada para qadhi, dipimpin oleh qadl al-qudhat yang berkedudukan dipusat pemerintahari. Kasus-kasus kriminal dan kejahatan domestik di adili oleh seorang hakim khusus yang disebut shahib al-syurthah. Hakim khusus yang lainnya adalah shahih al-muzallim menerima pengaduan terhadap orang yang kecewa pada pelayanan publik. Hukuman yang biasanya diputuskan dalam suatu kasus adalah denda, skorsing, penjara, pemotongan anggota tubuh, hukuman mati merupakan hukuman final. Muhtasib merupakan jabatan yang sangat unik, se.ain mengarahkan polisi juga sebagai pengawas perdagangan dan pasar juga sebagai pemeriksa timbangan dan pasar serta mengurusi masalah-masalah perjudian, seks, amoral dan busana yang tidak layak tampil dikawasan umum. E. Perkembangan Kota Dan Seni. Pemerintahan Bani Umayah 11 memberi kesempatan kepada seluruh penduduk Andalusia baik yang muslim maupun non muslim untuk membangun negerinya sehingga negeri itu bisa menempatkan Cordova sejajar Konstantinopel dan Baghdad sebagai pusat peradaban. Cordova menjadi kota yang sangat penting sejak Samah ibn Malik al-Khulani menjadikan kota ini menjadi ibu kota propinsi menggatikan Sevilla pada tahun 100/719. la memugar beberapa bangunan penting yang ada dikota tersebut. Sangat penting untuk mempublikasikan arsitektur di Cordova Spanyol, salah satunya adalah bangunan masjid Jami'di Cordova Spanyol, dibangun pada Tahun 784-789 M dan diperluas serta di pugar pada Tahun 961-966 M dan 987-989 M guna menampung penduduk Ibu kota Khalifah Spanyol. Pada saat al-Dakhil berkuasa, Cordova menjadi ibukota negara, ia membangun kota tersebut dan mengalirkan air dari danau-danau, gunung-gunung lewat pipa-pipa dan parit ke rumah-rumah penduduk serta ke daerah pertanian. Sepeninggal al-Dakhil Cordova menjadi kota yang terus berkembang dan terkemuka diseluruh dunia. Semua karya religius di Spanyol telah musnah kecuali bangunan paling tua dan paling indah yailu masjid Cordova yang mana fondasinya dibangun oleh Abd al-Rahman al-Dhakhil pada 786 diatas situs gereja Kristen Romawi. Model bangunan arsitektur ini bergaya Suriah, sedangkan bentuk menara menggunakan model Afrika, sementara penyempurnaan bangunan Masjid disempurnakan pada Tahun 793 yang dipimpin oleh anaknya yang bernama Hisyam I, kemudian dilengkapinya dengan menara bundar. F. Komposisi Penduduk. Pada masa Andalusia dibawah kekuasaan pemerintah Arab, keadaan penduduknya sangat beerlainan. Lebih-lebih para pendatang Arab yang menaklukkan andalus terdiri dari beberapa kabilah yang berasal dari berbagai daerah Arab. Mereka datang masih membawwa sisa-sisa penyakit pra Islam yang belum lenyap sama sekali dialam pikirannya, walaupun Islam telah menghapuskan penyakit-penyakit tersebut. Diantara penyakit yang paling parah adalah keluargaisme, sukuisme, kabialahisme dan fanatisme. Kedatangan bangsa Arab yang sangat ekstrim sehingga mengakibatkan pragmentasi situasi d kondisi terhadap kebudayaan mereka sehingga mempengaruhi pola sikap dan tindakan terhadap Andalusia, bahkan membagi penduduk terutama berhubungan dengan agama, jenis, bangsa dan struktur masyarakat. Kemudian pokok masalah tersebut dibagi sebagai berikut: 1. Orang Muslim Di Andalusia. Orang muslim yang menaklukkan Andalus terdiri dari orang telah memeluk Islam sejak kedatangannya di Afrika Utara. Orang Arab yang merupakan golongan minoritas dalam pasukan muslim tersebut adalah komando. Orang. muslim sudah haraag.ieiitu_menjadi pihak_penguasa.karena datang sebagai penakluk, baik yang berkebangsaan Arab maupun yang berkebangsaan Berber. Tidak mengherankan apabila kaum muslim yang memeluk Islam itu adakalanya yang didorong oleh keinginau lurus dan adakalanya yang didorong karena kepentingan duniawi. Orang Arab diAndalus terdiri dari dua golongan yang saling bermusuhan yaitu orang Qeis yang berasal dari daerah Syam dan syiria dan orang-orang yang berasal dari daerah Yaman. Dari kedua golongan ini ada yang memberi nama Ahlul Balad artinya orang-orang negeri. Orang Berber juga terdiri dari dua golongan yaitu Butr dan Brens, masing-masing sangat fanatik pada golongannya sendiri. Kadang mereka membela orang Arab Yaman dan kadang mereka membela kaum Arab Syam. 2. Orang Peranakan. Sebutan ini berlaku pada mereka yang lahir dari bapak ibu berlainan kebangsaan yaitu keturunan Spanyol atau pribumi yang memeluk Islam. Sedangkan orang tua mereka yang memeluk Islam pada saat penaklukan dinamakan "Musalamah" sebutan itu mempunyai pengertian orang yang diperlakukan baik. Jadi kedatangan orang Arab untuk menaklukkan Andalusia dengan cara baik, tujuannya tiada lain memperdalami ajaran Agama Islam atau kadang-kadang disebut dengan "musalamin", artinya orang Arab memperlakukan secara baik-baik. Oleh karena itu, perkembangan Islam di Andalusia semakin pesat dengan menggunakan cara-cara santun dan baik untuk mendapatkan ajaran-ajaran Agama sehingga keturunan pribumi betul-betul terlaksana dengan baik. 2. Orang Nasrani. Pada masa itu sebutan Nasrani dikenakan pada mereka orang-orang yang bermukim di Andalus yang berada dikawasan yang tidak termasuk kekuasaan Islam. Sebutan nasrani tidak membeda-bedakan antara orang Goth, Romawi, Prancis atau Eropa lainnya. Melainkan dikenakan pada mereka yang memeluk agama Nasrani. Mereka juga disebut dengan orang "Ajam" karena bahasa yang mereka gunakan bukan bahasa Arab. Disamping sebutan Nasrani dan "Ajam, orang-orang yang keluar atau yang tidak termasuk pemerintahan muslimin di Andalus disebut juga dengan "Aluj" yang berarti orang yang kafir bukan Arab.daerah pemukimannya dinyatakan oleh orang muslim sebagai " Darul Harb" yaitu daereah perang. Dengan pernyataan status itu maka orang muslim Arab selalu menganggap dirinya dalam keaadaan perang dengan orang Nasrani. 4. Orang Dzimini. Dzimmi berasal dari kata dzimmah yang berati tanggungan, yaitu. orang Yahudi atau nasrani yang sedia h'idup di negeri dibawah kekuasaan kaum muslim dengan syarat-syarat tertentu mereka dilindungi, di tanggung dan dijamin keselamatannya. Mereka juga mendapatan kelonggaran ibadah menurut agamanya masing-masing. Di Andalus orang dzimmi kadang-kadang disebut juga al-Mu'ahadun, artinya orang-orang yang terikat perjanjian. Penamaan ini dilekatkan pada saat penaklukan dan pemimpinnya mengadakan perjanjian tertentu dengan pemimpin pasukan muslim Arab.seiain orang Nasrani dan Yahudi tidak bisa diperoleh status ahludz- dzimmah. Orang Nasrani dan Yahudi yang hidup didaerah kekuasaan muslimin Arab di Andalus, jika tidak mengerti bahasa Arab termasuk orang Ajam Andalus. 5. Orang Yahudi. Orang Yahudi pada dast rnya mempunyai status yang sama dengan orang Nasrani. Hanya diantaera mereka banyak yang memperoleh kedudukan yang lebih baik setelah penaklukan Andalus selesai. Hal ini disebabkan besarnya bantuan mereka pada masa penaklukan berlangsung. Orang muslim Arab tidak mengejar-ngejar mereka dan tidak pula mengambi I harta mereka tanpa hak. Sikap penguasa muslim pada mereka merupakan kebalikan sikap penguasa Goth sebelunya. Orang-orang Yahudi bermukim dikota kota besar Andalus seperti kebiasaan mereka dinegeri mana saja Di Andalus sampai saat ini masih terdapat orang-orang kafir yang menyembah berhala dan mereka tidak menerima hak-hak yang dperoleh oleh orang-orang Ahlul Kitab yakni Yahudi dan Nasrani. G. Kemajuan Peradaban. Dalam masa tujuh abad lamanya umat Islam di Spanyol telah banyak mempunyai kejayaan, yang mana kejayaan ini akan berpengaruh pada kehidupan benua Eropa pada masa yang akan datang menjadi maju dan lebih komplek, diantaranya kemajuan yang diperoleh adalah: kemajuan intelektual, kemajuan filsafat, kemajuan senl dan bahasa, sains dan fiqh. 1. Kemajuan Intelektual. Spanyol adalah sebuah negeri yang subur yang mempunyai banyak sungai, yang mana kesuburan itu mengnasilkan ekonomi yang tinggi yang pada gilirannya menelorkan para pemikir yang hebat, majemuknya masyarakat Spanyol yang terdiri dari beberapa suku dan bangsa memberikan saham intelektual pada terbentuknya lingkungan budaya andalusia yang melahirkan kebangkitan ilmiah, sastra dan pembangunan fisik yang luar biasa. Masyarakat Spanyol yang berasal dari Afrika menjadi tawanan Jerman dan di jual terhadap penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran Yahudi, Kristen Muzareb yang herbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang terhadap Islam. Semua komunitas tersebut ada pengecualian untuk memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan karya ilmiah. 2. Kemajuan Pemikiran Filsafat. Minat mengembangkan ilmu dan filsafat mulai di kembangkan pada abad ke-9 pada masa pemerintahan penguasa bani Umayah ke-5, Muhammad Ibn Abd al-Rahman (832-886 M). Spanyol merupakan jembatan yang menghubungkan pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa. Kemajuan filsafat, baik filsafat Yunani maupun Filsafat Islam, bahkan masa kejayaan Islam, para pemikir Islam Spanyol banyak menerjernahkan buku Filsafat Yunani. Atas inisiatif dari al-Hakam (961-976 M) karya-karya ilmiah dari timur diimpor dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan yang besar mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam. Mereka mempersiapkanya semuanya untuk melahirkan para filosof sesudahnya, tokoh pertama yang menjadi filosuf adalah Ibnu Bajjah, tokoh utama kedua adalah Abu Bakar Ibn Tufail. Pada akhir abad ke-12 muncul tokoh filosuf pengikut Aristoteles yaitu Ibn Rusyd. 3. Kemajuan Ilmu Pengetahuan Sains. Ilmu-ilmu astronomi, kedokteran, musik dan Iain-lain juga berkembang sangat baik. Abbas Ibn Farnas tennasyhur dalam ilmu kimia dan Astronomi. la adalah orang yang terkenal menemukan pembuatan kaca dengan batu. Ibrahim Ibn Yahya al-Naqqas terk.enal deigan ilmu astronomi, ia'dapat menetukan kapan terjadinya gerhana matahari dan berapa lamanya. la juga telah berhasil membuat teropong bintang yang dapat menentukan jarak antar tata surya dan bintang-bintang. Ahmad Ibn Ibas adalah orang yang ahli dalam bidang obat-obatan. Umm al-Hasan Bint Abi Ja'far adalah wanita yang ahli dalam bidang kedokteran. Ahli kedokteran tidak hanya datang dari umat Islam sendiri, dari kalangan Yahdi mempunyai seorang ahli kedokteran bernama Musa Ibn Maimun yang terkenal dengan sebutan (Maimonides) dan dia juga menghasilkan karya-karya yang lain. Dalam bidang sejarah dan geografi, Ibn Jubair dari Valensia (1145-1228 M) menulis negri-negeri muslim serta Ibn Batutoh (1304-1377 M) yang pernah berlayar sampai Nusantara. Ibn al-Khatib (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada sedangkan Ibn Khaldun dari Tunis adalah penulis filsafat sejarah. Nama-nama tersebut sebagaian nama besar orang dalam bidang sains. Tokoh dalam bidang kedokteran diantaranya Ibn Sina atau Avicenna merangkap juga sebagai filosuf muslim. Ibnu Mansur adalah penulis kedokteran muslim yang juga menemukan dan menjelaskan sekitar 585 jenis obat-obatan yang mendapatkan ilmu pengetahuan dari Persia, Syiria, Yunani, Arab dan india. 4. Kemajuan Pengetahuan Madzhab Fiqh. Dalam bidang fiqh Spanyol dikenal dengan penganut madzhab Maliki, yang memperkenalkan madzhab ini disana adalah Ziyad bin Abd al-Rahman. Perkembangan selanjutnya adalah ditentukan oleh Ibnu Yahya yang menjadi Qadhi pada masa Hisyam, ahli-ahli fiqh lainnya adalah: Abu bakar Ibn al-Quthiyah, Mundzir bin Sa'id al-Baluthi dan Ibnu Hazm yang terkenal. 4. Kemajuan Musik Dan Kesenian. Dalam bidang musik dan seni suara, Spanyol Islam mencapai kecermelangan dengan tokohnya al-Hasan Ibn nafTyang dijuluki Zaryab. la adalah seorang ahli seni yang sering tampil dilingkungan istana, ia adalah orang yang sangat terkenal sampai kepelosok negeri. Kemasyhurannnya disebabkan ilmu yang ia miliki kepada anak-anaknya dan juga kepada budak-budak. 6. Kemajuan Bahasa Dan Sastra. Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol, bahasa Arab dapal ditcrima dengan baik oleh sebagian besar orang Spanyol dan terlebih-lebih orang Arab sendiri, orang-orang disini sangat terampil dalam bahasa ini baik dari ketrampilan bahasa maupun tata bahasa. Banyak ahli-ahli bahasa yang terkenal diantaranya: Ibnu Malik yang mengarang kitab al-Fiyah, Ibnu Khuruf, Ibnu al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan Ibn Usfur dan Abu Hayyan al-Ghamathi.Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman banyak bermunculan karya sastra diantaranya al-"Iqd al-Farid karya Ibn Abi Rabbih, kitab al-Qalaid karya al-Fatih Ibn Khaqan. H. Faktor-Faktor Pendukung Kemajuan. Pada dasarnya Spanyol mempunyai kemajuan yang luar biasa dikarenakan para pemimpinnya adalah orang-orang kuat, berwibawa dan mampu menyatukan umat Islam. Keberhasilan politik para pemimin itu ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa lainnya yang mempelopori kegiatan ilmiah. Toleransi beragama ditegakkan dan dijunjung tinggi bagi para penganut agama sehingga mereka sangat membantu dalam mewujudkan peradaban Arab Islam di Spanyol. Pemrintahan Islam menyerahkan urasan agama mereka sepenuhnya tanpa adanya pengekangan sampai mereka diberi kewenangan mendirikan kehakiman tersendiri yang menangani masalah khusus tentang masalah sesuai dengan agama mereka. Dengan diterapkannya tolereansi agama maka kehidupan akan menjadi stabil dikarenakan para kelompok yang satu dengan yang lain dapat saling bekerja sama. Persaingan antara Bagdad dan Spanyol tidak selalu berupa pepejangan, hubungan dalam ilmu pengetahuan, para sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam sampai ujung timur sambil membawa buku-buku dan gagasan.walaupun umat Islam terpecah dalam satuan politik mereka masih terjalin kesatuan agama dan budaya Islam. Pada periode akhir kekuasaan Islam di Andalusia meskipun Islam telah terpecah-peccah menjadi beberapa kerajaan kecil hal ini dinilai tidak mundurnya peradaban bahkan disebutkan pada masa ini merupakan masa puncaknya ilmu pengetahuan dan budaya. Pada masa ini kerajaan-kerajaan kecil mendirikan pusat peradaban baru yang mana antara satu dengan yang satunya saling mengunguli dan bersaing. I. Penyebab Kemunduran Dan Kehancuran. Penyebab kemunduran dan kehancuran. pertama, konflik Islam dengan kristen. adanya konflik Islam dengan kristen merupakan salah satu penyebab kemunduran dan kehancuran Islam di Spanyol. Hal ini disebabkan karena para penguasa Musjim tidak melakukan Islamisasi secara menyeluruh mereka sudah puas hanya menarik upeti dari para penguasa Kristen. Membiarkan mereka mempertahankan adat mereka termasuk posisi herarki tradisional. Pertimbangan para pemimpin Islam waktu itu adalah asal tidak ada perlawanan senjata. Kehadiran orang-orang Arab malah menambah semangat kebangsaan orang kristen. Seiring berjalannya waktu hal tersebut kehidupan negara Islam Spanyol tidak pernah berhenti dari pertentangan antara Islam dan Kristen sampai umat Islam hengkang dari negeri Spanyol. Selanjutnya bagian yang kedua, tidak adanya Ideologi pemersatu. Pemerintahan Islam Spanyol dengan menjalankan politiknya tersendiri tidak pernah memberlakukan seorang muallaf sebagai orang yang sederajat. Mereka masih memberi gelar pada mereka istilah 'ibad dan muwalladun pada mereka yang masih muallaf, suatu ungkapan yang dinilai sangat merendahkan bagi harga diri suatu bangsa. Dari hal ini menjadikan perdamaian tergCrogoti dan akhirnya menjadi rusak. Masalah ini juga mengundahg dampak yang besar dalam ekonomi, hal ini disebabkan tidak adanya figur yang menjadi personifikasi ideologi. Ketiga, kesulitan ekonomi. Pada masa pemerintahan Islam di Spanyol dan ini terjadi pada paruh kedua, para penguasa sibuk membangun kota dan mengembangkan ilmu pengetauan sehingga mereka lupa akan pentingnya membina ekonomiakhirnya timbul masalah ekonomi yang sangat memberatkan dan hal ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terlebih pada kondisi politik dan militer. Empat, tidak jelasnya sistem pearalihan kekuasaan. Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan dikalangan ahli waris. Dan bahkan karena inilah kekuasaan Bani Umayah runtuh dan munculnya Muluk al-Thawaif dan pemerintahan Islam terpecah-pecah dan akhirnya dapat dikalahkan. Lima, keterpencilan. Spanyol merupakan negara yang terpencil dari kekuasaan Islam yang lain, sehingga sering kali ia berjuang sendirian tanpa adanya yang membantu dari kerajaan yang lain, kecuali dari afrika utara. Dengan demikian tidak ada kekuatan alternatif yang dapat membendung ketika penguasa Kristen mengadakan perlawanan. J. Pengaruh Peradaban Spanyol Islam Di Eropa. Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini tidak bisa terlepaskan dengan campur tangan Islam pada masa lalu. Spanyol. Merupakan tempat utama Eropa untuk menyadap ilmu pengetahuan. Pada masa Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini tidak bisa terlepaskan dengan campur tangan Islam pada masa lalu. Spanyol merupakan tempat utama Eropa untuk menyadap ilmu pengetahuan. Pada masa ini Spanyol sudah jauh melampaui.negara lain dalam kemajuannya. Pemikiran yang telah digagas oleh para filosuf Islam telah berpengaruh besar dalam menjadikan Eropa terbebas dari pemikiran taqlid. Eropa pada era modern belm bisa betul-betul memahami asal usul intitusi penting seperti universitas yang mana hal ini dulunya berasal dari umat Islam. George Makdisi dalam sebuah bukunya mengatakan: Membaca beberapa bab dalam sejarah kebudayaan Barat sama menariknya seperti membaca mengenai timbl dan berkembangnya universitas-universitas yang hanya merupakan kebanggaan dan kegeamaran begi mereka yang menjunjung tradisi Barat. Oleh karena itu tidak mengherankan jika klaim-klaim terhadap keungkinan adanya pengaruh umat Islam di Timur terhadap timbulnya universitas-universitas tersebut langsung ditolak secara sopan atau lebih seringnya dilewatkan begitu saja. Pemikiran Ibn Rusyd merupakan paling mendominasi diantara sebagian pemikiran, ia adalah pengikut aliran Aristoteles, yang telah memikat orang dari pemikiran biasa ke kancah pernikiran yang bebas. Ia mengedepankan sunnatu'lah yang menurut pmikiran Islam terhadap Pantheisme dan antropomorhisme Kristen. Gerakannya aveorisme ini akhimya muncul dan menjadikan pihak gereja menolak gerakan ini. Berawal dari gerakan ini maka muncullah gerakan reformasi di Eropa pada abad ke-16 M dan gerakan rasionalisme pada abad ke-17 M. Pengaruhnya yang sangat besar pada Eropa bermula pada banyaknya para pemuda Kristen Eropa yang belajar di Universitas-univeisitas Islam di Spanyol. Seperti universitsas Granada, Seville, Cordova, Malaga dan Salamanca. Dalam masa studinya para pelajar Kristen ini gemar melakukan penerjemahan yang pada akhirnya saat mereka telah selesai studi mereka mendirikan sekolah di negerinya masing-masing. Universitas pertama Eropa adalah universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M tiga puluh tahun semenjak Ibn Rusyd wafat. Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah dimulai pada abad ke-12 M menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaisance) pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa di mulai dari penerjemahan buku-buku kedalam bahasa Arab dan kemudian diterjemahkan kedalam bahasa latin. Walaupun akhimya Islam terusir dari tanah Spanyol dengan sangat kejam tetapi ia telah berhasil membidani gerakan-gerakan penting di Eropa, yang dari gerakan ini Eropa pada suatu saat akan mengalami kejayaan. Inilah proses sejarah manusia dengan penuh tantangan dan hambatan bagi menciptakan kebudayaan pada tiap-tiap bangsa dan negara sehingga Islam dengan barat khususnya negara Eropa saling bergantian untuk memajukan atas peradaban manusia sepanjang sejarah. Kesimpulan. Makalah ini menguraikan tentang masuknya islam di Spanyol sampai terusirnya islam dari negeri tersebut, Islam yang mula-mula datang dengan ketulusan hati dari para para pendahulunya semangat untuk mensyiarkan agama Allah dan membebaskan manusia dari peninadasan , namun lambat laun seiring dengan berjalannya waktu semangat tersebut luntur, sehingga banyak terjadi konflik didalam tubuh umat islam sendiri. Tujuan yang yang telah di canangkan oleh para pendahulunya semakin hari semakin diselewengkan, ketika kemakmuran dan kesejahtcraan hidup telah mereka rasakan dengan segala kemegahan yang ada orang islam tidak lagi mempunyai tujuan untuk mensyiarkan Islam lebih jauh lagi. Malah yang terjadi saling memperebutkan kekuasaan, kerajaan serta harta benda. Disamping itu perbedaan suku dan kebangsaan kadang-lcadang malah menjadikan sumber konflik. Hal inilah salah satu penyebab mundurnya Islam di Spanyol hingga pada akhirnya Islam harus hengkang dari sana. Selain itu faktor dari luar semangat orang -orang Kristen yang ingin memerdekakan diri dari pcnguasaan umat islam terus bcrkobar. Kemajuan yang telah dicapai oleh umat Islam di Spanyol merupakan suatu yang pantas untuk diberi acungan jempol, produk pengetahuan Islam yang dihasilkan pada masa akhirya mcmbawa Eropa menuju sebuah kejayaan. Masyarakat Eropa khususnya masyarakat barat harus berterimkasih terhadap umat islam, karena memperkenalkan kebudayaan dan peradaban islam, bahkan mampu memberikan ilmu pengetahuan baik dari pemikiran filsafat Yunani maupun dari pemikiran Islamb sehingga literatur atau teks Yunani kuno banyak dijadikan bahan kajian dengan serta menerjemahkan buku-buku klasik. Relasi dan menukar pendapat baik Islam maupun non Islam sangat ncgosiatif dan terbuka secara demokratis. Oleh karena itu, belajar sejarah dan peradaban masa Islam klasik dengan penuh perjuangan yang serius untuk mendapatkan secara serius, walaupun dengan cara fisik maupun psikis. Pada perkembangannya, Islam di Spanyol sehingga mengalami kemunduran dan kegelapan. Daftar Pustaka Amin,Muhammad. Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, (Jakarta:UJ Press, 2006). Hamka, Sejarah Vmat Islam Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975). Hourani, Albert. Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, Irfan Abu Bakar (Terj), (Jakarta: Mizan, 2004). Jurnal, Taswirul Afkar (Jakarta: LAKPESDAM.2002). Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban, (Yogyakarta: Pustaka Book Publiser, 2007). Maryam, siti. (ed), Sejarah Peradaban Islam dari masa klasik hingga modern (Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab &LESFI.2002). Mughni, Syafiq. A, Dinamika Intelektua Muslim Pada Abad Kegelapan, (Surabaya: LPAM, 2002). Nakosten,Mehdi. Kontribusi Islam Alas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003). Thahir. Muhammad, Sejarah Islam dari Andalus Sampai Indus (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981). Wan, Mohd Nor Wan, Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naguib al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003). Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islam II, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995). Soleh, Khudori, A. Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).