Jumat, 29 Maret 2013

RELASI AL-QURAN DAN ILMU PENGETAHUAN.

Oleh: Tauhedi As'ad Pendahuluan Pada dasarnya ilmu pengetahuan merupakan sarana obyekfitas yang berhubungan dengan alam pikiran dan akal manusia. Perbedaan manusia dengan makhluk lain terletak pada akal yang berfungsi. Ilmu pengetahuan sebagai alat memahami akan sesuatu untuk mengetahui kebenaran yang obyektif. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia dengan akalnya bisa menentukan arah oreintasi hidup yang bermanfaat bagi alam semesta, sehingga manusia dengan ilmunya mampu berbuat dan mendomanisi. Perkembangan ilmu pengetahuan mulai sejak awal manusia ada sampai berdirinya yang disebut dengan Ilmu pengetahuan dan Teknologi. Sementara pandangan Islam yang dijelaskan dalam al-Quran hanya membicarakan tentang keteraturan alam raya untuk tidak benturan dengan alam yang lain. Dengan bekal lmu pengetahuanpun, manusia menjadi fenomena, sehingga manusia mampu melakukan tugas dimuka bumi. Banyak ayat-ayat al-Quran yang membahas tentang ilmu pengetahuan dan struktur penciptaan secara teratur agar alam terjaga dengan baik. Sehingga alam berjalannya dengan porosnya, oleh karenanya, seorang ahli filsafat menyatakan bahwa "manusia adalah alam kecil dan alam adalah manusia besar". Artinya manusia melakukan tugasnya sebagai pemimpin dibumi dengan baik maka alampun juga akan baik, jika manusia tidak berbuat baik maka alampun juga tidak akan berbuat baik. Jadi Sunnahtullah berlaku bagi manusia yang berakal untuk memanfaatkan alam ciptaannya agar alam menjadi persahabatan terhadap penghuni di alam raya ini. Inilah konsep dasar ilmu pengetahuan sesuai dengan dasar-dasar al-Quran yang diperuntukkan bagi manusia untuk dikelolah secara baik sesuai dengan kebutuhan zamannya. Agar ilmu pengetahuan tidak berikibat pada kesalahan berpikir sesuai dengan fungsi kode etik manusia sebagai makhluk yang bermoral. Tulisan ini mendeskripsikan ilmu pengetahuan secara tematik yang beroreintasi pada kesadaran manusia sesuai dengan nilai-nilai Quranik. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Perkembangan ilmu pengetahuan dilihat dalam konteks sejarah sekitar mulai abad 6 masehi dengan munculnya dongeng yang sering dijadikan referensi ilmu pengetahuan manusia. Ilmu pengetahuan Yunani kuno hanya berkisar pada pengetahuan tentang mitos yang melangit dengan manusia untuk mencari penjelesan tentang kejadian alam semesta melalui mite. Ada dua bentuk mite yang berkembang menjadi dua, yakni mite kosmogenis yang mencari asal-usul kejadian alam semesta dan mite kosmologis yang mencari asal-asul alam semesta serta sifat kejadian alam semesta. Konsep perkembangan ilmu pengetahuan mulai dari Tales sampai kontemporar lebih cenderung kecorak mite kosmologis yang memadukan antara kejadian asal-asul alam dengan sifat kejadian peristiwa alam. Pandangan konsep ini merupakan awal permulaan ilmu pengetahuan manusia untuk mencari dan berpikir tentang alam yang kosmosentris sehingga paradigmanya berpusat pada teologis. Oleh karenanya, para ilmuan membagi dua pandangan dalam mencari ilmu pengetahuan yang pertama pemahaman secara teosentris dan kedua pemahaman dengan cara antroprosentris. Sedangkan teosentris berpusat pada pemahaman tentang ketuhanan yang berada diatas sementara antroprosentris titik sentralnya berpusat pada pemahaman tentang manusia yang berada di bawah. Inilah yang sampai sekarang menjadi kekuatan ilmu pengetahuan yang memisahkan konsep ilmu tentang Tuhan dan konsep ilmu tentang manusia secara ilmiah sesuai dengan konteks ilmu interdisipliner. Sementara ilmu pengetahuan tidak lepas dari perolehan yang ditangkap oleh sarana yang di gunakan untuk mengetahui secara obyektif tentang kebenaran, karenanya ilmu pengetahuan yang diperoleh sangat penting untuk dilaksanakan, maka media yang digunakan ilmu pengetahuan adalah bersifat apriori. Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indra maupun pengalaman bathin. Dengan demikian, ilmu pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan yang obyektif. Menurut John dalam Bukunya An Introduction to Philosophical Analisis mengemukakan ada enam alat untuk memperoleh pengetahuan, yaitu petama, pengalaman indra (sense experience), kedua, Nalar (reason), ketiga Otoritas (authority). Keempat Intuisi (intuition), kelima wahyu (revelation), keenam Keyakinan (faith). Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu subyek yang dihadapinya hasil usaha manusia untuk memahami suatu obyek tertentu. Karena korelasi pengetahuan dengan cabang filsafat yang memabahas pengetahuan disebut dengan epistemologi. Istilah lain dalam kepustakaan filsafat dari epistemologi adalah filsafat pengetahuan, gnosiologi, kritika pengetahuan, logika material, teori pengetahuan, dan kritriologi. Sementara epistemologi adalah merupakan cabang yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan validitiy pengetahuan. Pada akhirnya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan secara sistemik didalam ukuran obyektifitas yang berdasarkan kaidah-kaidah logika yang akan melahirkan bentuk obyek material ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan menjadikan pokok pembahasan epstemologi pengetahuan. Oleh karenanya, sarana ilmu mempunyai lingkaran untuk kebenaran obyektif, maka gejala pengetahuan akan dapat menjelaskan secara sistemik diantara dari aktivitas, pengetahuan dan metode yang digunakan didalam ilmu pengetahuan. Sementara ilmu berjalan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan motode tertentu dan akhirnya metodis itu akan melahirkan pengetahuan yang sistematis. Oleh karena itu, tanpa adanya sistematika atau struktur berpikir maka ilmu tidak akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang benar secara obyektif walaupun bersadarkan pada pengamatan dan pengalaman empiris. Manusia dengan ilmu pengetahuan secara faktual untuk memperoleh pengetahuan dengan sarana yang digunakannya tetap menggunakan metode sebagai jalan menuju kepada materi itu sendiri secara benar. Sasaran analisis ilmu pengetahuan akan bisa diverifikasi kebenarannya manakala obyek materialnya sesuai dengan metode yang akan dibidik untuk mendapatkan sasaran wacana. Dengan demikian ilmu pengetahuan akan berfungsi apabila aktivitas pengetahuan memiliki data yang valid untuk dijadikan sasaran wacana pengetahuan secara obyektif tanpa adanya intervensi kepentingan eksternal sehingga ilmu pengetahuan mempunyai karakteristik ilmiah yang sistematik. Relasi Ilmu Pengetahuan Dengan al-Quran Konsep perkembangan ilmu pengetahuan yang dijelaskan diatas, maka konsep berikutnya akan mengkaji tentang relasi ilmu pengetahuan menurut al-Quran, sebab al-Quran tidak akan berfungsi manakala tidak ada dijelaskan secara ilmiah untuk merumeskan metodologi yang relevan dengan perkembangan zaman. Dengan al-Quran, akal bisa melanjutkan tradisi ilmu pengetahuan yang digunakan bermacam perpektif ilmu. Salah satu contoh ilmu dengan pendekatan sosial-politik dan ekonomi-pendidikan dan lain sebagainya. Intinya cara menggunakan didalam memahami al-Quran menggunakan dua kategori, yang pertama menggunakan dengan akal dan pikiran, yang kedua dengan cara menggunakan nash dan wahyu. Pada perkembangannya, ilmu pengetahuan lebih fokus pada kajian tentang ilmu-ilmu humaniora dan ilmu eksakta tanpa melibatkan konsep wahyu sebagai dasar pemahamannya. Pada umumnya para pengkaji ilmu pengetahuan identik dengan ilmu pengetahuan sains, padahal ilmu pengetahuan merupakan alat berpikir untuk mendapatkan pengetahuan itu sendiri. Akan tetapi perkembangan umat islam dengan pemikir barat berbeda cara memandang terhadap ilmu pengetahuan, sehingga paradigma yang gunakan juga berbeda pula. Sedangkan dari kalangan umat Islam memandang ilmu pengetahuan dengan nash sebagai sumber primer kemudian dikembangkan kedalam kehidupan secara ilmiah yang terikat dengan nilai itu sendiri. Sementara dari kalangan pemikir barat menggunakan paradigma rasionalitas instrumental dengan satu-satunya ilmu pengetahuan posistivistik yang cenderung mengedapankan rasio sebagai pusat kebenaran sehingga melahirkan pemahaman tidak terikat pada nilai. Dengan demikian, al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan untuk memahami secara universal terhadap alam. Menurut pandangan Mahdi Ghulsyani menyebutkan, bahwa membagi ayat-ayat dalam al-Quran tentang kebenaran ilmu pengetahuan dengan pembagian berikut: pertama, ayat-ayat yang mengambarkan elemen-elemen pokok obyeknya atau menyeluruh tentang manusia untuk menyingkapkannya, kedua, ayat-ayat yang mencakup masalah cara penciptaan obyek-obyek material maupun yang menyuruh manusia untuk menyingkap asal-usulnya, ketiga, ayat-ayat yang menyuruh manusia untuk menyingkap bagaimana alam semesta ini berwujud, keempat, ayat-ayat yang menyuruh manusia untuk mempelajari gejala-gejala alam, kelima, ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah bersumpah atas berbagai obyek alam, keenam, ayat-ayat yang merujuk tentang beberapa gejala alam, untuk menjelaskan kemungkinan terjadinya hari kebangkitan, ketujuh, ayat-ayat yang menekankan kelangsungan dan keteraturan penciptaan Allah, kedelapan ayat-ayat yang menjelaskan keharmonisan keberadaan manusia dengan alam semesta. Gambaran diatas merupakan keteraturan alam yang dijadikan oleh Tuhan didalam mengatur alam raya agar alam harmonis berjalan dengan porosnya sesuai sunnatullah berlaku. Sementara ilmu pengetahuan yang berkembang selalu bertentangan alam sesuai dengan keinginan manusia sehingga alam tidak harmonis. Mestinya, alam ciptaan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menjaga dan memeliharanya dengan akal yang sehat, sedangkan akal itu memiliki peranan dan fungsi yang sangat besar bila dimanfaatkan dengan baik. Akallah yang menghantarkan terwujudnya sains dan teknologi modern. Semakin dapat memberdayakan akalnya, semakin berhasil mencapai kemajuan. Tdak ada satupun bangsa dan Negara dapat mencapai kemajuan dengan mengabaikan akalnya. Dalam al-Quran banyak menjumpai istilah yang berbentuk kata kerja yang menggambarkan proses akal setelah manusia ditunjukkan kehebatan alam ciptaan Tuhan ini. Pada surat al-Nahl (16): 11-13 secara berurutan terjadi proses berpikir dengan menggunakan kata-kata yang berbeda yatafakkarun (memikirkan), ya'qilun (memahami), dan yazzakkarun (mengambil pelajaran). Menurut Arkoun, penggunaan tiga kata kerja yang berbeda dalam konteks yang sama tersebut menandakan bahwa, aqala menunjuk pada aktivitas yang tidak dapat dibagi-bagi dengan mengikutkan pendengaran, penglihatan, sentimen, ingatan, pemahaman, instropeksi dan panetrasi. Jadi dalam pelaksanaannya, aqala itu melibatkan peleburan proses inderawi dan rohani manusia sekaligus. Manusia Dan Ilmu Pengetahuan Relasi ilmu pengetahuan dengan manusia sangat fenomenal, karenanya sejak manusia ada seringkali menjadi perdebatan sengit sehingga berimplikasi terhadap eksistensi manusia sebagai pemimpin dimuka bumi. Realitas sejarah yang termaktub dalam al-Quran bahwa manusia dikritik secara kritis oleh makhluk lain yang bernama malaikat tentang manusia yang perusak dengan penuh menumpahkan darah. Gambaran ini merupakan simbolisasi yang diasosiasikan kepada Adam sebagai manusia dalam dimensi tertentu untuk melakukan hasrat dengan ilmu pengetahuan yang cenderung mengarahkan kepada kebaikan pada satu sisi, sedangkan satu sisi lain manusia melakukan sesuatu yang tidak baik, Sementara ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia dengan sarana ilmu yang digunakan untuk melakukan kepada hal-hal yang bermanfaat demi berlangsungnya kesejahteraan hidupnya, akan tetapi proses pengetahuan yang dimiliki oleh manusia berdasarkan pada obyek tertentu didalam memahami kebenaran secara subyektif. Ada beberapa kategori dasar manusia yang berilmu untuk menginginkan kehidupan yang mampu untuk mengatur alam raya di bumi, yaitu pertama, manusia tidak siap hidup di alam yang pertama yaitu alam Azali, yang kedua, manusia merupakan mahkluk yang tidak pernah puas dengan apa yang telah dilakukan dan dicapainya, yang ketiga, ilmu juga berkembang dan sekaligus menjadi kebutuhan karena manusia merupakan makhluk yang memiliki kebutuhan akan jawaban atas pertanyaan tentang makna sebagai sesuatu immaterial dan bathin. Dengan pandangan diatas, bahwa manusia merupakan makhluk rasional yang dibekali ilmu pengetahuan untuk melakukan sesuai apa yang telah di rencanakan sehingga keinginan tercapai, namun pada sisi lain manusia tetap merencanakan sesuatu yang baru untuk menjawab pertanyaan makna realitas yang baru pula, serta mampu membawa kepada jalan yang benar. Walaupun manusia mempunyai akal dan pikiran untuk berbuat sesuatu di bumi demi kemaslahatan manusia secara keseluruhan. Akan tetapi perkembangan ilmu pengetahuan mengambil posisi yang sangat penting untuk mengembangakan ilmu pengetahuan yang disebut dengan teknologi modern. Inilah saatnya manusia memasuki alienasi kesadaran muncul tanpa adanya kekuatan spritualitas yang tinggi. Alienasi manusia pada abad modern ini akan menghancurkan kesadaran subyek dirinya masing-masing, karena melupakan eksistensi manusia sebagai makhluk berpikir, sehingga manusia kontemporer dimanjakan oleh alat-alat teknologi yang serba tersedia, bahkan akal tidak lagi sebagai sarana berpikir dinamis untuk berbuat substantif terhadap pembaharuan pemikiran manusia sepanjang zamannya. Akan tetapi realitas yang berkembang bahwa teknologi akan mampu mendominasi manusia menjadi hegemonik didalam percaturan kekuasaan Negara, sehingga tanpa disadari ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjelma ideologi baru atau agama baru. Dan inilah perkembangan ilmu pengetahuan manusia pada abad kekinian yang dapat merusak eksistensi manusia sebagaimana malaikat protes tentang manusia sebagai pemimpin di Bumi. Eksistensi manusia sebagi makhluk subyek akan berbalik pada dirinya sebagai obyek ilmu pengetahuan, padahal ilmu pengetahuan adalah sarana yang terus dikaji bermacam variasi sesuai dengan paradigma berpikir yang berdasarkan nilai-nilai pesan Tuhan. Dengan struktur manusia untuk membangun ilmu pengetahuan sesuai sarana dan alat yaitu pengelaman inderawi yang akan menjadikan obyektifitas didalam memahami kesadaran berpikir manusia secara umum. Oleh karenanya, manusia dengan ilmu pengetahuan tidak berpisah dan saling melengkapi struktur berpikir yang sesuai dengan paradigma didalam menentukan kebenaran obyektif. Sedangkan teknologi pengetahuan merupakan alat untuk dikembangkan secara obyektif sesuai dengan batas dan ruang lingkup pembahasan ilmu pengetahuan yang berkembang. Implikasi IPTEK Terhadap Agama Masa depan manusia tampaknya, akan ditentukan oleh bentuk-bentuk kerjasama yang dilakukan oleh para agamawan dan ilmuan, yang duduk bersama untuk memecahkan persoalan kemanusiaan. Para ilmuan dituntut bersikap rendah hati untuk bersedia menerima pesan-pesan keagamaan. Begitupun kaum agamawan harus membuka diri terhadap temuan dan tawaran ilmu pengetahuan. Masing-masing akan sampai pada suatu kesadaran bersama bahwa yang satu membutuhkan yang lain. Misalnya ilmu pengetahuan menawarkan penyelesaian yang bersifat kuantitatif-teknikal yang menyadarkan pada kakuatan teknologi yang bersifat empiris yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, sekalipun tawaran utama teknologi hanya menawarkan jasa teknis, namun secara social dampaknya amat besar. Kehadiran teknologi modern mampu mengubah pola hidup beragama, teknologi telpon, misalnya mengubah tatakrama bersilaturrahmi, computer mengubah cara belajar, dan televisi mendominasi wacana dalam rumah tangga. Sehingga tanpa disadari telah mengubah sebuah keyakinan ideologi sebagai agama baru. Dengan bagitu kehidupan manusia akan sangat diuntungkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi namun sekaligus juga dibayangi oleh proses pendangkalan dan penghayatan makna hidup karena manusia menjadi begitu manja, pragmatis, kurang peka terhadap dimensi spiritual. Manusia lalu berubah sebuah angka atau skrup mengikuti logika teknologi. Permainan ilmu pengetahuan akan berimplikasi terhadap proses ktidaksadaran manusia sebagai makhluk eksistensi yang kerap menggunakan pola berpikir yang mencerahkan. Oleh karena itu, dominasi barat atas Islam diakibatkan munculnya perang paradaban untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan teknologi sehingga Islam dan barat saling mempertahankannya. Persoalan muncul, mengapa khazanah peradaban islam di Timur yang tumbuh di abad tengah dengan prestasinya yang demikian kaya yang tidak tertandingi oleh barat ketika memasuki abad modern menjadi tersisihkan oleh Eropa? Apa yang salah dari ajaran islam ataupun dari sikap umat Islam sehingga perkembangan iptek, ekonomi, dan manajemen politik di dunia Islam begitu suram wajahnya? Berbeda dari pengalaman di barat, mengapa dalam masyarakat Islam tidak ditemukan orang-orang yang terang-terangan mengatakan bahwa agama tidak berfungsi untuk membawa pencerahan masa depan kemanusiaan. Dengan pertanyaan diatas bisa dikemukakan beberapa alasan. Pertama, karena agama Islam diyakini tidak membunuh akal kritis para pemeluknya dan manusia pada umumnya. Bahkan agama sejak awal telah tampil sesungguhnya mengundang akal untuk melakukan perenungan tentang manusia, alam dan Tuhan. Sehingga dalam ajaran dasarnya islam kebebasan yang sangat luas untuk mengembangkan rasionalitas dan kerja-kerja ilmiah mendapatkan. Kedua, di barat ada satu kondisi itu adalah sains yang begitu liberal dan kemudian dihadapkan dengan kondisi gereja dihadapkan pada kondisi gereja yang waktu sangat dogmatik. Dual hal ini diatas pada awalnya tidak terjadi, akan tetapi di penghujung abad tengah kekuasaan pemikir Islam mulai penghambat iklim kebebasan berpikir, disamping karena dunai Islam dibuat pertikaian politik sehingga muncullah disintegrasi ketika pula pada saat yang sama eropa bangkit. Inilah dampak ilmu pengetahuan tekhnologi yang sangat berimplikasi terhadap gaya hidup manusia khususnya orang Islam. Bahkan ilmu pnegetahuan dan teknologi mampu menjadikan dominasi kekuatan ideologi dan Negara terhadap bangsa yang lain sehingga mengalami insuburdinasi terhadap kesadaran manusia sebagai eksistensi hidup secara alamiah. Sehingga iklim kesadaran manusia dan ilmu pengetahuan teknologi semakin tarik-menarik untuk menjadi peranan ideologi masyarakat di Eropa. Kesimpulan Al-Quran sebagai wahyu untuk ditafsirkan menurut ruang dan waktu demi kemaslahatan Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, sehingga manusia dengan akalnya bisa melahirkan ilmu pengetahuan. Kesadaran kehendak dirinya mampu membawa pada pencerahan masa depan manusia secara komprenhensif terhadap problem hidup yang akan melahirkan disintegrasi dualitas antara ilmu pengetahuan sebagai sarana didalam mengembangkan sains sesuai dengan nilai-nilai pesan Tuhan yang termaktub didalam firmannya, karena itu, banyak ayat-ayat Tuhan yang membahas tentang ilmu pengetahuan secara universal terutama mengenai keteraturan alam dan keseimbangan alam, relasi manusia dengan ilmu pengetahuan yang telah terkandung didalam al-Quran untuk upaya merenungi kembali terhadap perkembangan alam semesta secara alamiah. Jika ilmu pengetahuan tidak diberikan sebagai terikat nilai, maka melahirkan keseimbangan untuk tetap menjaga kode etik yang menghantarkan manusia hidup secara stabil. Manusia dengan ilmu pengetahuan merupakan paket tidak bisa dipisahkan dan harus saling melengkapi antara satu sama lainnya. Manusia dengan ilmunya, sedangkan pengetahuan sebagai sarana dalam menangkap ilmu pengetahuan secara obyektif sehingga manusia mampu melahirkan jenis ilmu pengetahuan yang disebut dengan ilmu sains modern. Akan tetapi pada perkembangan ilmu sains modern tidak lagi sebagai obyek pengetahuan yang seimbang untuk meletakkan sebagai bagian buatan akal manusia melainkan ilmu-ilmu pengetahuan sains berubah makna yang lebih sempit sehingga sains menjadi ideologi Negara-negara industri, akhirnya akan berimplikasi terhadap kebebasan berpikir manusia untuk dirinya sebagai subyek. Sementara ilmu pengetahuan sains memposisikan dirinya sebagai ideologi yang akan mendominasi terhadap kepentingan kekuasaan Negara industri, maka ilmu sains adalah sebagai subyek bukan obyek. Maka inilah yang harus dikritisi oleh pemikir postmodermisme untuk melakukan telaah ulang terhadap ilmu pengetahuan sebagai landasan ideologi dan kekuasaan yang akan merusak masa depan manusia, teknologi hanya sebagai alat-alat teknikal yang berfungsi untuk melengkapi sarana hidup manusia. Bahan Bacaan Charris Zubair, Achmad, Dimensi Etik Dan Asketik Ilmu pengetahuan Manusia. Yogyakarta: Lesfi, 2002. Departemen Agama RI, al-Quran Dan Terjemahannya. Jakarta: J-ART, 2007. Hidayat, Komaruddin. Wahyu di Langit Wahyu di Bumi, Doktrin Dan Peradaban Di Panggung Sejarah. Jakarta: Paramadina, 2003. Kartanegara, Mulyadhi, Nalar Religius, Memahami Hakikat Tuhan, Alam, Dan Manusia. Jakarta: Erlangga, 2007. Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara, 2005. Qomar, Mujamil, Epitemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005.

MEMBACA KEMBALI KREATIVITAS SARJANA MUSLIM KLASIK.

Oleh: Tauhedi As’ad Pengantar Dalam konteks sejarah, kalangan pemikir muslim klasik telah membangun semangat kreativitas didalam dunia akademik khususnya di bidang organisasi kelembagaan maupun dalam karya tulis ilmiah. Bahkan menjadi kiblat pengetahuan ke seluruh dunia sehingga banyak di ikuti oleh peradaban barat sampai ke masa kolonial. Pada abad kejayaan peradaban Islam dengan bangkitnya pemerintahan Dinasti Abbasiyah pada tahun 132H/750 M merupakan masa berkembangnya para pemikir Islam yang jenius dengan penekanan besar pada ilmu pengetahuan dan masalah dalam negeri. Salah satu karakteristik di era Abbasiyah pada saat itu adalah upaya penerjemahan dan menyerap ilmu pengetahuan dari peradaban lain, termasuk Mesir, Babilonia, Yunani, India, Cina, dan Persia. Peradaban Abbasiyah tersebut telah memberikan pencerahan baru terhadap regenerasi para sarjana muslim. Dalam kurun waktu tiga fase buku-buku dalam bahasa Yunani, Syiria, Sanskerta, Cina dan Persia. Dan Persia di terjemahkan ke dalam bahasa Arab. Fase pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), pada masa khalifah al-mansur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase kedua yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua tersebut, berlangsung pada masa khalifah al-Makmun (232 H/847 M-334 H/945 M), buku yang banyak di terjemahkan adalah bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung (334 H/945 M-347 H/1005 M), terutama setelah adanya pembuatan kertas, bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas. Setelah gerakan penerjemahan, dimulai tugas sulit dan lama untuk menyaring, menganalisis dan menerima atau menolak ilmu pengetahuan dari peradaban lain. Pada perkembangannya berbagai cabang ilmu pengetahuan dan memunculnya karya tulis para sarjana, berkembang pula produksi kertas yang tersebar luas di seluruh wilayah Islam, kemudian memberikan dorongan besar tidak saja bagi gerakan penulis, penerjemahan dari pengajaran, akan tetapi juga berpengaruh pada gerakan pengumpulan naskah. Kondisi tersebut berlangsung ketika seluruh peradaban muslim dilanda debat hebat, dan buku menyebabkan merebaknya perpustakaan diberbagai penjuru dunia Islam. Mereka berlomba untuk membeli karangan-karangan ilmiah para penulisnya sehingga memberikan komentar dengan cara seksama yang bernuansa baru dalam perkembangan pemikiran Islam yang dimulai dengan dialog kritis transformatif. Oleh karena itu, para sarjana muslim klasik telah memberikan teladan terbaik khususnya di bidang ilmu pengetahuan untuk di transformasikan kedalam bentuk tulis karya ilmiah. Mahasiswa Aktifitis dan Organisatoris Tri Darma Perguruan Tinggi ada tiga komponen yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian. Di bidang pendidikan, mahasiswa mengikuti organisasi kelembagaan akademik untuk memproleh pengajaran ilmu pengetahuan, sedangkan di bidang penelitian mahasiswa diwajibkan untuk meneliti terhadap persoalan-persoalan yang ada sehingga bisa menemukan kebenarannya baik penelitian yang bersifat lokal, nasional maupun penelitian internasional. Sementara di bidang pengabdian, mahasiswa mengabdi secara tanggung jawab dalam kehidupan sosial untuk membantu dan menolong masyarakat. Kemudian mahasiswa mengambil sasaran dan dokumentasi yang akan dijadikan bahan penelitian dan ditulis kedalam bentuk jurnal penelitian maupun karya ilmiah. Namun dalam konteks ini, penekanannya pada aspek kreatifitas yaitu mahasiswa kreatif. Mahasiswa seharusnya membaca kembali karya-karya sarjana muslim klasik untuk mengambil spirit dan semangat kreatifitas yang telah berhasil memberikan nuansa pencerahan terhadap generasi muslim khususnya bagi kalangan mahasiswa di perguruan tinggi Islam. Salah satu keberhasilan para sarjana muslim klasik adalah penekanannya yang besar terhadap penulisan karya ilmiah untuk di analisis, di evalusi, dialog kritis yang disesuaikan dengan konteks kekinian sehingga melahirkan pemahaman baru. Oleh karenanya, penulisan karya ilmiah sangat penting untuk di kembangkan secara kritis dengan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmiah yang ada. Kreatifitas mahasiswa seperti inilah masuk pada kategori aktivifis di bidang karya tulis yang produktif-transformatif. Berbeda dengan kreativitas mahasiswa yang fokus pada dunia organisasi kelembagaan. Organisasi kelembagaan yang berhubungan dengan akademik non akademik seperti unit kemahasiswaan (UKM) dengan lembaga organisasi lain mampu menampung sebagai sarana aktifitas dan gerakana mahasiswa untuk membangun kreatifitas dan kemandirian dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan pedoman organisasi (PO) dan anggaran dasar rumah tangga (ADRT). Sedangkan visi misi organisasi di sesuaikan dengan oreintasi dan tujuan organisasi tersebut yang di sepakati secara konstitusional sehingga melahirkan karakter dan corak organisasi itu sendiri. Sementara organisasi kemahasiswaan yang terjun kedunia gerakan aksi mampu mewarnai kehidupan masyarakat kampus dan masyarakat pada umumnya sehingga melahirkan kreatifitas berpikir kritis transformatif untuk memecahkan persoalan yang ada di masyarakat. Maka kreatifitas ini, mahasiswa masuk kategori mahasiswa aktifis-organisatoris. @@@ Selamat Diskusi Kritis Transformatif @@@

Kamis, 28 Maret 2013

DISKURSUS PEMIKIRAN GUSDUR DAN NEGARA ISLAM.

Diskursus Pemikiran Gus Dur dan Negara Islam Oleh: Tauhedi As'ad Relasional antara negara dan agama selalu ambivalen. Ia terdebat dalam benturan politico-jurisprudentik antara struktur negara-bangsa (nation state) yang menganut hukum alam (natural law), dengan agama (Islam) yang memiliki struktur hukum transferensial (teks suci). Keduanya selalu berbenturan. Satu hal yang dilihat Gus Dur bahkan tidak menyentuh jantung dari persoalan kenegaraan. Ini terjadi karena di dalam dirinya, masalah negara memiliki ruang politis material yang menuntut pendekatan multi-sektoral, terkait kondisi struktural yang membuat negara efektif dalam menjalankan amanat publik. Sementara di sisi lain, tuntutan politik Islam lebih didorong oleh jihad ideologis yang sayangnya bersifat sectarian, karena masing umat Islam memiliki ragam penafsiran berbeda, terkait bagaimana menempatkan agama dalam hidup berbangsa. Dalam Jurnal Prisma edisi No. 11, November 1980, Gus Dur memberikan gambaran problematik, hubungan antara agama, sebagai ideologi, yang harus berhadapan dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Tema Agama, Ideologi dan Pembangunan ini menjadi penting, sebab Orde Baru pada awal agenda pembangunannya, telah memosisikan secara dikotomis antara agama sebagai ideologi politik dengan kepentingan pembangunan ekonomi yang tentunya mensyaratkan “matinya ideologi”. Makna urgen dari makalah ini juga terdapat dalam fungsi penjelas, dimanakah posisi Gus Dur: apakah dalam gerbong modernisasi yang berarti meminggirkan agama demi kelancaran percepatan ekonomi, ataukah salah satu dari bagian gerakan agama yang saat itu dipasung oleh negara, dalam arti Gus Dur adalah bagian dari Islam politik? Posisi agama dan Gus Dur sebagai pemikir Islam dalam pergulatan represifitas negara, yang hendak dikupas di tulisan ini, dengan harapan memberikan satu informasi pemikiran Gus Dur, kaitannya dengan bagaimanakah sikap ideal yang harus dimiliki antara agama dan negara, agar tidak terjadi perbenturan yang tentunya merugikan nilai-nilai yang dijunjung oleh kedua faktor tersebut. Gus Dur mengawali analisanya dengan memberikan gambaran atas fakta ketegangan agama dan negara. Secara abstraktif, Gus Dur menemukan banyak bukti yang menunjukkan besarnya hambatan dalam proses pembangunan, karena terjadinya kesalahpahaman yang sangat besar antara pihak penanggungjawab ideologi negara dan pimpinan gerakan keagamaan dikalangan negara-negara yang sedang berkembang. Kesalahpahaman ini sudah begitu jauh sehingga kehidupan politik di negara yang sedang berkembang menjadi labil. Tenaga sangat besar ditujukan hanya untuk membatasi gerakan keagamaan, yang dianggap mengganggu lancarnya pembangunan. Dalam perjalanannya, proses penghambatan ini malah menciptakan kelambatan kalau tidak boleh dikatakan menghentikan sama sekali, roda pembangunan. Gus Dur kemudian melihat terciptanya strategi ganda oleh negara, dalam menghambat “gangguan” gerakan keagamaan tersebut. Di satu pihak, gerakan keagamaan “dijinakkan” dengan bantuan negara untuk keperluan ritual, sedang dipihak lain terjadi upaya pemojokan gerakan agama yang memiliki aspirasi politis dan berwatak korektif terhadap pemerintah. Upaya pemojokan ini biasanya dilakukan melalui penciptakan gerakan keagamaan tandingan dengan fasilitas besar, dari negara. Dalam istilah Gus Dur, negara menghambat gerakan keagamaan, melalui politik “memotong baja harus dengan baja”. Pada sisi lain, radikalisme yang dimiliki oleh gerakan keagamaan terbentuk dari besarnya persepsi akan konsolidasi ideologi negara sebagai “kerugian” bagi nilai-nilai transendental yang mereka yakini. Hal ini disebabkan oleh kesibukan negara dalam menciptakan infrastruktur rasional dan teknik yang efisien, sehingga aspirasi transendental diatas terabaikan. Sebagian karena oportunisme politik, dan sebagian lagi karena ketidakmampuan membuka cakrawala politik yang dapat diterima oleh semua kalangan. Persepsi akan “kerugian” nilai-nilai transendental ini kemudian melahirkan “konsolidasi spiritual” yang menemukan ketetapan pendirian gerakan keagamaan, dalam berbagai sumber ajaran agama, sehingga apapun yang mereka yakini, memiliki keabadian dan kelanggengan cita-cita. Konsep kesyahidan (martyrdom) mendudukkan akibat penindasan fisik dalam kerangka perjuangan suci, yang tentunya berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh aparat yang melakukan penindasan tersebut. Pada tataran kultur politik, ketegangan antara pemegang ideologi negara vis a vis gerakan keagamaan ini terkonstruk oleh strategi represif dari Orde Baru dalam “mengamankan” proyek pembangunan. Oleh Frans Seda, kultur politik Orde Baru (Orba) dilihat sebagai “kebudayaan ekonomi” yang tentunya lebih berorientasi pada mengejar performance (performance oriented) atau prestasi, serta hasil sebesar dan secepat mungkin. Satu orientasi yang berbeda dengan Orde Lama, yang menjadikan politik sebagai panglima, sementara ekonomi (hanya) menjadi faktor penunjang. Dalam orientasi ini, Orba mendambakan satu pengamanan, yakni sebuah penyiapan situasi dan kondisi politik yang aman untuk prestasi serta penertiban terhadap akibat-akibat negatif dari performance tersebut, baik secara preventif maupun represif. Dalam fakta politik, kaitan antara performance dan pengamanan dapat berlangsung dengan tempo yang makin hangat. Makin tinggi performance atau prestasi yang ditargetkan, makin ketat pula pengamanan yang harus dilakukan. Demikian sebaliknya, performance akan semakin ditingkatkan untuk membenarkan pengamanan politik yang dilakukan. Perkembangan secara spiral ini diharuskan sebab suatu pola pembangunan yang didasarkan pada mengejar prestasi tidak akan bisa mandeg, sebab mandeg berarti mundur dan hancur. Dalam hal inilah Orba melalui strategi Trilogi Pembangunan baik lewat statement resmi maupun dalam real politics menunjukkan orientasi performance dengan suatu pengamanan stabilitas politik sebagai penunjangnya. Pada titik inilah kesulitan saling memahami antara ideologi negara dengan aspirasi keagamaan menemu ruang. Hal ini disebabkan oleh situasi labil negara-negara yang baru berdiri dalam membentuk ideologinya. Apalagi ketika sistem politik yang dianut merupakan adaptasi secara kasar dari kultur politik “luar”, sehingga adaptasi tersebut kemudian berbenturan dengan kultur politik dimasyarakatnya sendiri. Dalam kaitan ini, negara kemudian mengambil strategi “tawar menawar yang sepi” dengan satu target, yakni stabilitas politik yang disebabkan kemampuan hegemonik ideologi negara dalam “menertibkan” ideologi alternatif dari masyarakat. Deskripsi Gus Dur: Segera setelah tercapainya penyelesaian formal berupa ideologi negara yang dinamai Pancasila, perbenturan masih berlanjut dalam bentuk upaya “pengamanan” Pancasila itu sendiri, dari kemungkinan “penyimpangan” oleh pihak lawan politik. Upaya ini terutama ditumpukkan pada tindakan politik untuk menguasai aparat pemerintahan dan kelengkapan negara. Baik di masa perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), masa demokrasi liberal (1959-1966) maupun di masa Orde Baru sejak 1966. “Pengamanan” ideologi negara dari kemungkinan “salah penafsiran” senantiasa mengambil bentuk dalam pendayagunaan aparat negara bagi perumusan “penafsiran yang benar” atas ideologi negara, semisal melalui penataran P4. Kasus perkembangan Pancasila sebagai ideologi negara bukanlah kasus unik. Di banyak negara, pertumbuhan awal dari ideologi negara dan proses pemantapannya mengambil bentuk dialog intensif antara pihak yang berbeda pendapat… Tetapi, dialog tersebut ada pula yang mengambil bentuk proses “tawar-menawar yang sepi” (silent bargainings), seperti yang berlangsung di negeri kita. Proses tolak-angsur (tug-of-war) antara aspirasi theologies dan aspirasi sekularis yang berlangsung di negeri kita ini adalah bagian dari jalannya "tawar-menawar yang sepi". Tentu dari sini kita menjadi faham, kenapa Gus Dur menolak negara Islam. Bukannya beliau tidak setuju dengan konsepsi tersebut, tetapi cita negara Islam di negeri ini bersifat diskontekstual, karena dalam real politics, persoalan sebenarnya adalah pergulatan antara kepentingan negara yang hendak menundukkan ideologi Islam. Artinya, perdebatan teoritis seputar Islam versus negara-bangsa, tidak relevan karena yang terjadi lebih kepada pergulatan politik antara rezim negara yang selalu memanfaatkan agama. Di sini kita mafhum bahwa Gus Dur merupakan salah satu pioneer dari penerima konsep dan bentuk negara-bangsa, yang secara otomatis menolak penyatuan antara agama dan negara. Tentu pada terma ini, Gus Dur bisa dimasukkan kedalam gerbong sekularisasi, bersama dengan Cak Nur. Hanya saja, konsep sekularisasi yang mensyaratkan disfungsionalisasi otoritas agama, karena telah diganti dengan otoritas administratif sekular, sebenarnya tidak cukup mampu menggambarkan detail perbedaan didalam konsep pemisahan agama-negara. Hal ini berangkat dari satu postulat, bahwa terma sekularisasi lebih mengedepankan aspek “tujuan ideologis” dimana para konseptor negara-bangsa memiliki tujuan ideologis yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan paradigma keagamaan ideologis. Maka tak bisa dihalangi, Islam sebagai cita-cita politik harus dipinggirkan, agar cita-cita masyarakat sekular bisa terwujud. Sejauh pembacaan terhadap pemikiran Gus Dur, terma sekularisasi semacam ini menurut penulis tidak relevan ketika disematkan kepada pemikiran Gus Dur. Kenapa? Karena perumusan sistem negara berdasarkan agama ternyata tidak betul-betul relevan bagi kebutuhan akan pemenuhan hak-hak bernegara dari masyarakat. Hal ini dilandaskan Gus Dur pada berbagai kondisi dan syarat faktual bagi berfungsinya sistem negara yang betul-betul mampu memenuhi kesejahteraan rakyat. Tuturnya: Dengan melihat unsur-unsur yang diperlukan bagi sebuah upaya rekonstruksi teori kenegaraan dari sudut pandangan kontemporer saat ini, tampak bahwa lahan bagi upaya rekonstruksi serupa dari sudut pandangan Islam, tidak begitu menguntungkan. Solidaritas massa, bila digerakkan oleh semangat keagamaan, saat ini cenderung menjadi momok bagi pengembangan pluralitas budaya yang diperlukan bagi komunikasi eksternal kaum muslimin sendiri. Kesenjangan budaya (cultural lag) yang diderita oleh elit keagamaan ummat Islam, baik para ulama, cendekiawan maupun tokoh organisasi massa, cenderung untuk menolak setiap pemecahan masalah dalam kerangka sikap inklusivistik. Demikian juga, kehidupan spiritual kaum muslimin, yang sangat tipis kadar kontemplasinya karena didorong oleh kebutuhan pencarian ‘pemecahan praktis’ (hulul ‘amaliyah, implementable solutions), sangat sedikit memberikan peluang untuk kiprah pemikiran yang berwawasan sangat jauh. Dari paparan ini jelas terlihat bahwa ketidaksetujuan Gus Dur terhadap teori kenegaraan Islam, serta usaha rekonstruksi atasnya, bukan semata disebabkan oleh sistem Islam itu sendiri, tetapi sebuah fakta historis yang memperlihatkan bahwa gelora pengislaman negara, ternyata hanya memasukkan Islam kedalam fanatisme ideologis, yang tentunya tidak berperan sebagai agama an sich. Bagi Gus Dur, fanatisme ini telah melahirkan dua sikap yang sama-sama “membahayakan” Islam sebagai agama. Disatu sisi, Islam telah dijadikan alternatif ideologis berupa doktrin politik: Islam sebagai solusi, yang tentunya menyimpan potensi konflik dengan “solusi lain” yang ditempatkan sebagai “jahiliyah modern”. Alih-alih menciptakan mashlahat, gelora serba alternatif ini pasti akan menggeret massa kedalam pertarungan ideologis, sering dengan ceceran darah sesama muslim. Di sisi lain, Islam kemudian hanya dijadikan suplemen bagi proyek pemerintah non-Islam yang melahirkan satu politisasi agama, bisa melalui praktik birokratisasi, atau bahkan pemanfaatan suara untuk melegitimasi kebijakan pemerintah. Kedua posisi ini tentu menjadi penodaan bagi konsep Islam sendiri, yang sebenarnya penuh dengan cita-cita tentang keadilan serta kesejahteraan masyarakat. Fakta inilah yang membuat Gus Dur, apatis dengan usaha rekonstruksi teori kenegaraan Islam, dikarenakan berbagai problem kontemporer yang tidak akan bisa diselesaikan hanya oleh batasan konseptual dari perpolitikan agama. Berbagai problem tersebut merujuk pada bagaimana pelembagaan institusi pemerintah dibentuk: apakah menganut sistem sentralisasi ataukah desentralisasi? Jenis hukum formal yang mana, yang akan ditetapkan sebagai sistem hukum nasional, mengingat terdapatnya potensi meniadakan konsep “hukum lain”, demi kemapanan satu konsep hukum tertentu? Masyarakat seperti apa yang akan dibangun: masyarakat tertutup yang menghambat proses distribusi kekuasaan, ataukah masyarakat terbuka? Hingga model kebudayaan seperti apa yang akan dituju, apakah kebudayaan monolitik yang tidak menenggang perbedaan, atau sebuah perhargaan atas dinamika pluralitas? Berbagai problem real yang terdapat baik dalam struktur kenegaraan, maupun kultur masyarakat inilah yang membuat rumus teori negara Islam menjadi irrelevant, sebab Gus Dur melihat pengatasnamaan agama dalam politik, tiada bedanya dengan segregasi ideologis berbagai isme yang menjadikan kekuasaan ideologinya sebagai tujuan utama pendirian negara, bukannya realisasi keadilan sosial. Pada titik ini Gus Dur kemudian merumuskan berbagai prinsip kenegaraan modern, yang tidak harus terkait dengan teori sistem kenegaraan tertentu, termasuk sistem Islami. Prinisp tersebut antara lain; (1) sistem pemerintahan yang secara universal memberikan kedudukan sama di muka hokum, tanpa melihat asal-usul agama, etnis, bahasa, budaya, maupun keyakinan politiknya. (2) sistem perwakilan berdasarkan ketentuan satu-orang-satu-suara (one man one vote), yang akan menjamin kedaulatan rakyat yang tidak akan tertandingi sistem perwakilan terbatas manapun, (3) hukum nasional yang berlaku untuk semua warganegara, yang diramu dari unsur-unsur hukum agama, disamping sumber lain, sedangkan materi hukum agama yang tidak masuk dalam kodifikasi hukum formal (undang-uandang) berfungsi sebagai etik masyarakat (menjadi fiqh atau hukum agama Islam), (4) jaminan penuh akan kebebasan berpendapat, berserikat dan menguasai hak milik, (5) pembagian kewenangan legislatif, eksekutif, yudikatif, dimana tidak ada satu pihak mencampuri otoritas pihak lain, (6) jaminan untuk mengembangkan keyakinan agama serta menyebarkan ajaran spiritualitas tanpa ada pembatasan, selama tidak menjurus kriminalitas, (7) jaminan akan kebebasan melakukan kegiatan ilmiah, perlindungan hukum atas karya-karya ilmiah, dari tindakan sepihak oleh semua otoritas, termasuk otoritas agama, diluar saluran pengadilan. Pada ranah praksis, hal inilah yang membuat Gus Dur, sebagai Ketum PBNU saat itu, menerima azas tunggal Pancasila, sebagai azas organisasi masyarakat, karena disamping hal tersebut merupakan keberpihakan dari ormas-ormas untuk mencoba keluar dari kepentingan sektarian, menuju pada kepentingan nasional, juga dikarenakan oleh keyakinan bahwa Pancasila tidak akan mengganti posisi Islam sebagai aqidah. Keyakinan tersebut berangkat dari satu positioning Islam dalam kehidupan bangsa, yang oleh Gus Dur ditempatkan pada, pertama, sebagai etika sosial, dimana Islam mampu mengarahkan dan membentuk moralitas publik, dan kedua melalui penerapan hukum Islam secara partikular didalam struktur hukum nasional, salah satunya melalui Departemen Agama, meskipun lembaga ini ternyata terjebak dalam birokratisasi dan tidak mampu melakukan pengaturan konflik internal gerakan Islam, sehingga mengalami kegagapan ketika harus berhadapan dengan dilema Islam dan modernitas. Penerimaan Gus Dur atas nama Nahdlatul Ulama (NU) memang bersifat historis. Kesejarahan tersebut menemu ruang dalam penerimaan NU atas bentuk negara-bangsa, yang mengindikasikan “selesainya” perdebatan pada level struktur kenegaraan untuk kemudian lebih mengembangkan perdebatan pada wilayah aplikasi dari eksistensi kenegaraan demi kesejahteraan rakyat. Dimulai sejak Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, NU sudah membuktikan watak moderasinya melalui pemberian status wilayah Hindia-Belanda sebagai dar al-Islam (negeri muslim) meskipun struktur negara yang ada adalah negara kolonial-sekular. Penerimaan ini berangkat dari argumentasi, bahwa negara menjamin kebebasan umat muslim dalam melakukan praktik ibadah, disamping argumen historis yang menggambarkan kesejarahan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, yang hingga kini masih memberikan bekas kultural dalam tradisi keagamaan dan kekuasaan muslim Nusantara. Konsekuensi dari penerimaan ini adalah, wajibnya umat muslim untuk mempertahankan wilayah tersebut dari penjajahan, sehingga sejak saat itu, perlawanan terhadap kolonialisme selalu mengemuka, baik yang dilatarbelakangi oleh berbagai kebijakan anti-Islam dari pemerintah Belanda, maupun fatwa Resolusi Jihad Kyai Hasyim Asy’ari, untuk mempertahankan kemerdekaan pada Oktober 1945. Dari momen sejarah ini, maka tanggapan Islam atas bangunan negara-bangsa, menemu pada dua ruang. Pertama, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslim untuk melaksanakan ajaran agama, sebagai conditio sine qua non bagi penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut. Kedua, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politik, ditentukan oleh proses sejarah. Dengan demikian, pola yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi cukup kuat, sehingga keduanya tidak saling menolak, tetapi saling mendukung dalam batas dan ruang yang ditentukan secara proporsional. Dalam kaitan inilah, Gus Dur kemudian menggambarkan modal besar dari sistem keagamaan NU yang membuatnya moderat dalam berhubungan dengan negara-bangsa. Sistem keagamaan ini merujuk pada kesatuan antara tiga komponen utama Islam, yakni tauhid, fiqh, dan tasawuf. Dalam berfiqh, muslim NU tidak hanya mengembangkan produk hukum agama yang diambil dari literatur fiqh dalam sekala massif, namun juga cara-cara menyusun pemikiran hukum (legal maxim, qawa’idul fiqh), guna menentukan bentuk akhir keputusan hukum, jika latar belakang masalahnya tengah mengalami perubahan. Disinilah dinamika pengambilan hukum Islam menjadi dinamis, karena NU mampu merumuskan kembali setiap permasalahan hukum berdasarkan perubahan konteks masyarakat. Pemikiran metodologis hukum agama ini kemudian diberi bobot spiritualitas melalui tasawuf dalam pengamalan ajaran agama sehari-hari, melalui rangkaian ritual yang memungkinkan penyiraman jiwa, yang berfungsi memperdalam bobot kearifan spiritual, sebagai pendalaman bagi kecenderungan legal formalistik dari corak keagamaan serba fiqh. Dari ketaatan terhadap hukum agama, dibarengi dengan pengamalan ajaran agama secara sufistik ini, maka muslim NU kemudian memiliki bobot ketauhidan yang kuat, sehingga agama mampu membentuk pandangan dunia yang bulat dan utuh, baik dalam lanskap duniawi maupun ukhrawi. Dari sistem keagamaan fiqh-sufistik inilah, NU kemudian merumuskan hubungan moderat antara Islam dan negara modern, sehingga pada satu titik, Islam tidak kehilangan relevansi bagi kehidupan kekinian, sekaligus Islam tidak kehilangan dirinya dalam struktur kebudayaan sekular yang dibawa oleh modernitas tersebut. Elaborasi Gus Dur: Pendekatan serba fiqh atas masalah-masalah kenegaraan itulah yang membuat NU relatif lebih mudah menerima ketentuan pemerintah tentang asas Pancasila dalam kehidupan organisasi. Dalam pandangan fiqh asas Pancasila adalah salah satu dari sekian buah persyaratan bagi keabsahan negara Republik Indonesia; hal itupun bukannya persyaratan keagamaan sama sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apapun untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dalam kehidupan berorganisasi yang bersangkutan. Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan oleh hukum fiqh, NU mampu melakukan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara modern, walaupun dalam aspek kenegaraan, pandangan serba fiqh itu juga sering merupakan hambatan bagi pemegang pemerintahan.. Namun, itu tidak berarti jalannya pemerintahan juga lalu terlepas sama sekali dari kendali keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijaksanaan pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan fiqh.. seperti kaidah “kebijaksanaan kepala pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat” (tasharruful imam ‘alarra’iyyah manutun bil mashlahah). Dengan menggunakan fiqh sebagai tolok ukur keabsahan negara, maka NU kemudian tidak mempermasalahkan bentuk formal pemerintahan, selama perilaku kelembagaan negara masih sesuai dengan batas-batas yang digariskan oleh fiqh. Dari sinilah muncul kritik partikular atas penyimpangan yang dilakukan oleh sub-sistem atau pemegang kekuasaan, tidak kemudian menjadikan NU menolak secara total bentuk pemerintahan, melainkan memperbaikinya secara kasuistik dan gradual. Pemikiran kenegaraan (Islam) Gus Dur ini, memang terkait dengan situasi politik pembangunan yang digerakkan oleh Orde Baru, di mana Gus Dur harus cerdas menempatkan diri. Satu situasi yang merujuk pada sekularisasi di satu sisi, dan kebangkitan Islam di sisi lain, yang pada akhir pemerintahan Soeharto malah diberi angin. Tentu, Gus Dur tidak gamang, dan dengan sigap melakukan rekonstruksi hubungan antara Islam dan negara, yang pada saat itu menjelma titik tengkar. Titik tengkar ini mengacu pada pertanyaan: haruskah Islam menolak Pancasila, karena ideologi ini bersifat “tidak Islami”? Tanya ini kemudian menciptakan pembelahan pemaknaan atas hubungan Islam dan politik. Satu pihak, Islam dipandang sebagai political, dimana arti kejayaannya disematkan kedalam totalitas sistemik, melalui pendaulatan syari’at sebagai konstitusi negara. Lahirlah Piagam Jakarta yang diharapkan menjadi payung konstitusional bagi penerapan hukum Islam di semua lini kehidupan publik. Sementara itu di pihak lain, Islam tidak dimaknai sebagai “yang politik”, tetapi lebih kepada “yang kultural”. Pemaknaan ini berdampak pada posisi politik Islam, yang tidak harus menjelma supra-struktur negara, tetapi sub-struktur dalam bangunan tubuh negara-bangsa. Gus Dur masuk dalam gerbong ini. Yakni, dalam penempatan Islam yang mengacu pada dua hal. Pertama, pemosisian hukum Islam kedalam sub-sistem hukum nasional. Hal ini dilandasi oleh kaidah fiqh: ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu (apa yang tidak bisa didapat semuanya, jangan ditinggal prinsip dasarnya). Bagi Islam (Sunni), jika konstitusi negara tidak bisa berdasarkan Islam, mengingat pluralitas bangsa, maka penanganan persoalan mu’amalah haruslah tetap ditangani oleh hukum Islam. Dari sini keberadaan Kementarian Agama dan Peradilan Agama menjadi penting demi menjaga otoritas fiqh agar tetap dipegang oleh para ulama. Tentu posisi minimalis ini tidak berhenti dengan sendirinya, karena setelah hukum Islam terposisikan dalam sub-struktur negara, ia kemudian digerakkan sebagai etik sosial pada ranah masyarakat, juga negara. Gus Dur mendefinisikan etik sosial ini sebagai fungsi komplementer dari Islam, dimana agama memiliki kewajiban untuk menyempurnaan tata politik. Dalam praktik, proses penyempurnaan ini kemudian melahirkan etos kritik, di mana Islam mampu menyediakan alternatif dari pembangunan, jika arah kebijakan negara, dirasa menyimpang dari nilai-nilai dasar yang dianut oleh Islam. Dalam kaitan inilah, praktik pembangunan bahkan telah melahirkan, apa yang disebut Gus Dur sebagai penanganan non-religius atas kehidupan beragama. Artinya, apa yang dimaksud pemerintah dengan pengaturan kehidupan beragama, ternyata hanya bersifat artifisial, institusionalis, dan event oriented, daripada penelaahan problem fundamental umat beragama. Hal ini digerakkan melalui pemberian dana bagi perayaan keagamaan serta pembentukan birokrasi agama, yang bahkan telah menjebak keberislaman formalistik. Kecenderungan ini lahir dari paradigma pembangunanisme, yang menempatkan agama, sebagai satu unsur sosial yang harus memperkuat kebijakan ekonomi negara. Inilah yang terjadi, dan menempatkan Islam, jika tidak sebagai “ekstrim kanan” yang tersanding dengan “ekstrim kiri”, maka posisi Islam yang hanya dijadikan legitimasi kekuasaan. Dua posisi sama sulit, karena pembangunan yang mensyaratkan konflik, dan oleh karenanya wajib meminggirkan Islam ideologis, dengan satu usaha politisasi Islam non-politik, yang telah mencerabut agama ini dari fungsi vitalnya. Penobatan Islam sebagai legitimasi pembangunan tersebut dilakukan pemerintah dalam dua fase, jika merujuk pada pergulatan Gus Dur. Fase pertama merujuk pada revisi pandangan modernis negara atas tradisi pesantren, di mana pembangunan sudah tak lagi menempatkan tradisi ini sebagai penghambat modernisasi, tetapi sebaliknya, ia dilihat sebagai basis budaya, tempat pemerintah mensosialisasikan agenda pembangunan. Pendekatan ini memang bersifat instrumentalis, karena hanya melihat pesantren sebagai alat, dikarenakan watak kulturalnya yang mengakar dengan masyarakat. Dengan modal budaya kuat, yakni kemenyatuan tradisi Islam dan lokalitas, ditambah patronase perlindungan kyai atas warga sekitar, pesantren dilihat mampu menjadi ruang komunikasi yang efektif, dimana peran kyai sebagai komunikator budaya, akan mampu menjembatani pemerintah dan masyarakat dalam sosialisasi kebijakan pembangunan. Inilah yang dikritik Gus Dur, karena alih-alih pemerintah bisa, dan berempati dengan tata nilai pesantren, pendekatan instrumentalis ini hanya menempatkan pesantren secara pragmatis, minus kesadaran nilai. Ketiadaan kesadaran inilah yang dikritik Gus Dur, sehingga ia kemudian mewacanakan sub-kultur pesantren, sebagai usaha untuk menggambarkan sistem nilai muslim tradisional tersebut. Bentuk sub-kultur inilah yang menempatkan pesantren sebagai sub-budaya nan unik (dan karenanya pemerintah harus hati-hati), tetapi sekaligus mampu mempengaruhi sistem secara keseluruhan, dan oleh karena itu, ia tidak hanya berperan sebagai “corong kebijakan”, namun bahkan mampu melakukan koreksi atas pembangunan. Dari sini Gus Dur kemudian menggerakkan pengembangan masyarakat melalui pesantren, salah satunya dengan mendirikan P3M. Melalui gerak ini, Gus Dur dan kalangan NU menggali potensi sosio-ekonomi masyarakat, sehingga ketergantungan atas pembangunan negara bisa diminimalisir. Fase kedua penggunaan Islam sebagai legitimasi terjadi ketika negara mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang oleh Gus Dur dilihat sebagai penodaan komitmen awal terhadap demokrasi. Hal ini terjadi, dan dikritik Gus Dur, karena “kemesraan” NU dengan negara terjadi, ketika pemerintah sepakat untuk tidak memberi ruang bagi ekslusifitas Islam. Ini yang melahirkan dekonfessionalisme Islam: ruang publik dinetralisir dari kecenderungan sektarian agama yang tentunya akan menjebak penanganan politik dalam segregasi kelompok. Sayang, komitmen awal ini telah ternoda, dan pemerintah dengan sengaja memediasi birokratisasi Islam, dengan mengakomodir kecenderungan islamisasi baik ranah ritual kenegaraan, pengatahuan, dan ruang politik. Satu hal yang dikhawatirkan Gus Dur, karena pendirian ICMI berarti pemberian political opportunity atas ekslusifitas Islam, yang bahkan Gus Dur nisbatkan pada geliat Aljazaer, dimana kaum fundamentalis bergolak. ICMI menurut Gus Dur akan menyemai benih Islamisme politik, di mana kepentingan demokratisasi pada aras kebangsaan, akan direbut oleh kepentingan golongan Islamis. Ini tentu langkah mundur, karena sejak awal pembangunan, bentuk politik sekular sebetulnya ideal, karena melakukan minimalisasi atas potensi ideologis dari gerakan Islam. Ruang publik yang netral ini, pada dekade 1990 telah dikacaukan lagi oleh Soeharto, yang memang pada saat itu telah kehilangan sebagian basis politik militernya, dan oleh karena itu membutuhkan perangkulan massa Islam, demi kelangsungan kekuasaan. Dalam kaitan inilah, pemikiran Islam Gus Dur berusaha melakukan penyaringan, counter discourse, dan penjelasan kesejarahan atas bangunan Islam di Indonesia, yang tidak selalu besifat legitimatif. Hal ini dilakukan Gus Dur melalui rekonstruksi metode pemikiran (hukum) Islam, untuk menggali potensi transformatif, agar Islam bisa kompatibel dengan perubahan sosial yang terjadi. Tentu harus ada kompromi, semisal akomodasi Islam terhadap ideologi negara, dengan catatan, masing pihak mampu memberikan kontribusi berdasar kesamaan nilai universal, seperti nilai-nilai yang Gus Dur tarik dari titik sama antara Islam dan Pancasila: Pancasila harus diuji, apakah mampu atau tidak mewujudkan prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang dituntut oleh Islam. Pancasila harus mengembangkan wawasan yang demokratis, menganut faham perlakuan sama dimuka undang-undang dan memperjuangkan keadilan. Demikian pula, Pancasila harus mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi pada pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas, menghargai kebebasan berpendapat dan menjamin kebebasan berserikat. Itulah kunci diperoleh lima buah jaminan dasar yang diberikan oleh Islam kepada warga masyarakat; jaminan dasar atas keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga, harta milik pribadi, dan keselamatan profesi. Hal inilah yang dilakukan Gus Dur, yakni mengangkat perbedaan partikular kepada persamaan cita-cita universal, yakni kemanusiaan dan keadilan. Struktur politik demokratis kemudian menjadi syarat utama, di mana Islam harus melakukan rekonstruksi atas bangunan doktrinalnya, jika ia ingin menggerakkan perubahan masyarakat. Inilah letak pemikiran Islam beliau, karena tanpa pembenahan ke dalam, Islam bahkan sering dijadikan penghambat bagi demokratisasi. Tetapi juga sebaliknya, tanpa orientasi demokratis, pembenahan dalam tubuh Islam, hanya akan menciptakan konflik internal umat Islam, karena masing pihak terjebak dalam klaim kebenaran penafsirannya.