Kamis, 28 Maret 2013
DISKURSUS PEMIKIRAN GUSDUR DAN NEGARA ISLAM.
Diskursus Pemikiran Gus Dur dan Negara Islam
Oleh: Tauhedi As'ad
Relasional antara negara dan agama selalu ambivalen. Ia terdebat dalam benturan politico-jurisprudentik antara struktur negara-bangsa (nation state) yang menganut hukum alam (natural law), dengan agama (Islam) yang memiliki struktur hukum transferensial (teks suci). Keduanya selalu berbenturan. Satu hal yang dilihat Gus Dur bahkan tidak menyentuh jantung dari persoalan kenegaraan. Ini terjadi karena di dalam dirinya, masalah negara memiliki ruang politis material yang menuntut pendekatan multi-sektoral, terkait kondisi struktural yang membuat negara efektif dalam menjalankan amanat publik. Sementara di sisi lain, tuntutan politik Islam lebih didorong oleh jihad ideologis yang sayangnya bersifat sectarian, karena masing umat Islam memiliki ragam penafsiran berbeda, terkait bagaimana menempatkan agama dalam hidup berbangsa.
Dalam Jurnal Prisma edisi No. 11, November 1980, Gus Dur memberikan gambaran problematik, hubungan antara agama, sebagai ideologi, yang harus berhadapan dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Tema Agama, Ideologi dan Pembangunan ini menjadi penting, sebab Orde Baru pada awal agenda pembangunannya, telah memosisikan secara dikotomis antara agama sebagai ideologi politik dengan kepentingan pembangunan ekonomi yang tentunya mensyaratkan “matinya ideologi”. Makna urgen dari makalah ini juga terdapat dalam fungsi penjelas, dimanakah posisi Gus Dur: apakah dalam gerbong modernisasi yang berarti meminggirkan agama demi kelancaran percepatan ekonomi, ataukah salah satu dari bagian gerakan agama yang saat itu dipasung oleh negara, dalam arti Gus Dur adalah bagian dari Islam politik? Posisi agama dan Gus Dur sebagai pemikir Islam dalam pergulatan represifitas negara, yang hendak dikupas di tulisan ini, dengan harapan memberikan satu informasi pemikiran Gus Dur, kaitannya dengan bagaimanakah sikap ideal yang harus dimiliki antara agama dan negara, agar tidak terjadi perbenturan yang tentunya merugikan nilai-nilai yang dijunjung oleh kedua faktor tersebut.
Gus Dur mengawali analisanya dengan memberikan gambaran atas fakta ketegangan agama dan negara. Secara abstraktif, Gus Dur menemukan banyak bukti yang menunjukkan besarnya hambatan dalam proses pembangunan, karena terjadinya kesalahpahaman yang sangat besar antara pihak penanggungjawab ideologi negara dan pimpinan gerakan keagamaan dikalangan negara-negara yang sedang berkembang. Kesalahpahaman ini sudah begitu jauh sehingga kehidupan politik di negara yang sedang berkembang menjadi labil. Tenaga sangat besar ditujukan hanya untuk membatasi gerakan keagamaan, yang dianggap mengganggu lancarnya pembangunan. Dalam perjalanannya, proses penghambatan ini malah menciptakan kelambatan kalau tidak boleh dikatakan menghentikan sama sekali, roda pembangunan. Gus Dur kemudian melihat terciptanya strategi ganda oleh negara, dalam menghambat “gangguan” gerakan keagamaan tersebut. Di satu pihak, gerakan keagamaan “dijinakkan” dengan bantuan negara untuk keperluan ritual, sedang dipihak lain terjadi upaya pemojokan gerakan agama yang memiliki aspirasi politis dan berwatak korektif terhadap pemerintah. Upaya pemojokan ini biasanya dilakukan melalui penciptakan gerakan keagamaan tandingan dengan fasilitas besar, dari negara. Dalam istilah Gus Dur, negara menghambat gerakan keagamaan, melalui politik “memotong baja harus dengan baja”.
Pada sisi lain, radikalisme yang dimiliki oleh gerakan keagamaan terbentuk dari besarnya persepsi akan konsolidasi ideologi negara sebagai “kerugian” bagi nilai-nilai transendental yang mereka yakini. Hal ini disebabkan oleh kesibukan negara dalam menciptakan infrastruktur rasional dan teknik yang efisien, sehingga aspirasi transendental diatas terabaikan. Sebagian karena oportunisme politik, dan sebagian lagi karena ketidakmampuan membuka cakrawala politik yang dapat diterima oleh semua kalangan. Persepsi akan “kerugian” nilai-nilai transendental ini kemudian melahirkan “konsolidasi spiritual” yang menemukan ketetapan pendirian gerakan keagamaan, dalam berbagai sumber ajaran agama, sehingga apapun yang mereka yakini, memiliki keabadian dan kelanggengan cita-cita. Konsep kesyahidan (martyrdom) mendudukkan akibat penindasan fisik dalam kerangka perjuangan suci, yang tentunya berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh aparat yang melakukan penindasan tersebut.
Pada tataran kultur politik, ketegangan antara pemegang ideologi negara vis a vis gerakan keagamaan ini terkonstruk oleh strategi represif dari Orde Baru dalam “mengamankan” proyek pembangunan. Oleh Frans Seda, kultur politik Orde Baru (Orba) dilihat sebagai “kebudayaan ekonomi” yang tentunya lebih berorientasi pada mengejar performance (performance oriented) atau prestasi, serta hasil sebesar dan secepat mungkin. Satu orientasi yang berbeda dengan Orde Lama, yang menjadikan politik sebagai panglima, sementara ekonomi (hanya) menjadi faktor penunjang. Dalam orientasi ini, Orba mendambakan satu pengamanan, yakni sebuah penyiapan situasi dan kondisi politik yang aman untuk prestasi serta penertiban terhadap akibat-akibat negatif dari performance tersebut, baik secara preventif maupun represif. Dalam fakta politik, kaitan antara performance dan pengamanan dapat berlangsung dengan tempo yang makin hangat. Makin tinggi performance atau prestasi yang ditargetkan, makin ketat pula pengamanan yang harus dilakukan. Demikian sebaliknya, performance akan semakin ditingkatkan untuk membenarkan pengamanan politik yang dilakukan. Perkembangan secara spiral ini diharuskan sebab suatu pola pembangunan yang didasarkan pada mengejar prestasi tidak akan bisa mandeg, sebab mandeg berarti mundur dan hancur. Dalam hal inilah Orba melalui strategi Trilogi Pembangunan baik lewat statement resmi maupun dalam real politics menunjukkan orientasi performance dengan suatu pengamanan stabilitas politik sebagai penunjangnya.
Pada titik inilah kesulitan saling memahami antara ideologi negara dengan aspirasi keagamaan menemu ruang. Hal ini disebabkan oleh situasi labil negara-negara yang baru berdiri dalam membentuk ideologinya. Apalagi ketika sistem politik yang dianut merupakan adaptasi secara kasar dari kultur politik “luar”, sehingga adaptasi tersebut kemudian berbenturan dengan kultur politik dimasyarakatnya sendiri. Dalam kaitan ini, negara kemudian mengambil strategi “tawar menawar yang sepi” dengan satu target, yakni stabilitas politik yang disebabkan kemampuan hegemonik ideologi negara dalam “menertibkan” ideologi alternatif dari masyarakat. Deskripsi Gus Dur:
Segera setelah tercapainya penyelesaian formal berupa ideologi negara yang dinamai Pancasila, perbenturan masih berlanjut dalam bentuk upaya “pengamanan” Pancasila itu sendiri, dari kemungkinan “penyimpangan” oleh pihak lawan politik. Upaya ini terutama ditumpukkan pada tindakan politik untuk menguasai aparat pemerintahan dan kelengkapan negara. Baik di masa perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), masa demokrasi liberal (1959-1966) maupun di masa Orde Baru sejak 1966. “Pengamanan” ideologi negara dari kemungkinan “salah penafsiran” senantiasa mengambil bentuk dalam pendayagunaan aparat negara bagi perumusan “penafsiran yang benar” atas ideologi negara, semisal melalui penataran P4. Kasus perkembangan Pancasila sebagai ideologi negara bukanlah kasus unik. Di banyak negara, pertumbuhan awal dari ideologi negara dan proses pemantapannya mengambil bentuk dialog intensif antara pihak yang berbeda pendapat… Tetapi, dialog tersebut ada pula yang mengambil bentuk proses “tawar-menawar yang sepi” (silent bargainings), seperti yang berlangsung di negeri kita. Proses tolak-angsur (tug-of-war) antara aspirasi theologies dan aspirasi sekularis yang berlangsung di negeri kita ini adalah bagian dari jalannya "tawar-menawar yang sepi".
Tentu dari sini kita menjadi faham, kenapa Gus Dur menolak negara Islam. Bukannya beliau tidak setuju dengan konsepsi tersebut, tetapi cita negara Islam di negeri ini bersifat diskontekstual, karena dalam real politics, persoalan sebenarnya adalah pergulatan antara kepentingan negara yang hendak menundukkan ideologi Islam. Artinya, perdebatan teoritis seputar Islam versus negara-bangsa, tidak relevan karena yang terjadi lebih kepada pergulatan politik antara rezim negara yang selalu memanfaatkan agama. Di sini kita mafhum bahwa Gus Dur merupakan salah satu pioneer dari penerima konsep dan bentuk negara-bangsa, yang secara otomatis menolak penyatuan antara agama dan negara. Tentu pada terma ini, Gus Dur bisa dimasukkan kedalam gerbong sekularisasi, bersama dengan Cak Nur. Hanya saja, konsep sekularisasi yang mensyaratkan disfungsionalisasi otoritas agama, karena telah diganti dengan otoritas administratif sekular, sebenarnya tidak cukup mampu menggambarkan detail perbedaan didalam konsep pemisahan agama-negara.
Hal ini berangkat dari satu postulat, bahwa terma sekularisasi lebih mengedepankan aspek “tujuan ideologis” dimana para konseptor negara-bangsa memiliki tujuan ideologis yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan paradigma keagamaan ideologis. Maka tak bisa dihalangi, Islam sebagai cita-cita politik harus dipinggirkan, agar cita-cita masyarakat sekular bisa terwujud. Sejauh pembacaan terhadap pemikiran Gus Dur, terma sekularisasi semacam ini menurut penulis tidak relevan ketika disematkan kepada pemikiran Gus Dur. Kenapa? Karena perumusan sistem negara berdasarkan agama ternyata tidak betul-betul relevan bagi kebutuhan akan pemenuhan hak-hak bernegara dari masyarakat. Hal ini dilandaskan Gus Dur pada berbagai kondisi dan syarat faktual bagi berfungsinya sistem negara yang betul-betul mampu memenuhi kesejahteraan rakyat. Tuturnya:
Dengan melihat unsur-unsur yang diperlukan bagi sebuah upaya rekonstruksi teori kenegaraan dari sudut pandangan kontemporer saat ini, tampak bahwa lahan bagi upaya rekonstruksi serupa dari sudut pandangan Islam, tidak begitu menguntungkan. Solidaritas massa, bila digerakkan oleh semangat keagamaan, saat ini cenderung menjadi momok bagi pengembangan pluralitas budaya yang diperlukan bagi komunikasi eksternal kaum muslimin sendiri. Kesenjangan budaya (cultural lag) yang diderita oleh elit keagamaan ummat Islam, baik para ulama, cendekiawan maupun tokoh organisasi massa, cenderung untuk menolak setiap pemecahan masalah dalam kerangka sikap inklusivistik. Demikian juga, kehidupan spiritual kaum muslimin, yang sangat tipis kadar kontemplasinya karena didorong oleh kebutuhan pencarian ‘pemecahan praktis’ (hulul ‘amaliyah, implementable solutions), sangat sedikit memberikan peluang untuk kiprah pemikiran yang berwawasan sangat jauh.
Dari paparan ini jelas terlihat bahwa ketidaksetujuan Gus Dur terhadap teori kenegaraan Islam, serta usaha rekonstruksi atasnya, bukan semata disebabkan oleh sistem Islam itu sendiri, tetapi sebuah fakta historis yang memperlihatkan bahwa gelora pengislaman negara, ternyata hanya memasukkan Islam kedalam fanatisme ideologis, yang tentunya tidak berperan sebagai agama an sich. Bagi Gus Dur, fanatisme ini telah melahirkan dua sikap yang sama-sama “membahayakan” Islam sebagai agama. Disatu sisi, Islam telah dijadikan alternatif ideologis berupa doktrin politik: Islam sebagai solusi, yang tentunya menyimpan potensi konflik dengan “solusi lain” yang ditempatkan sebagai “jahiliyah modern”. Alih-alih menciptakan mashlahat, gelora serba alternatif ini pasti akan menggeret massa kedalam pertarungan ideologis, sering dengan ceceran darah sesama muslim. Di sisi lain, Islam kemudian hanya dijadikan suplemen bagi proyek pemerintah non-Islam yang melahirkan satu politisasi agama, bisa melalui praktik birokratisasi, atau bahkan pemanfaatan suara untuk melegitimasi kebijakan pemerintah. Kedua posisi ini tentu menjadi penodaan bagi konsep Islam sendiri, yang sebenarnya penuh dengan cita-cita tentang keadilan serta kesejahteraan masyarakat.
Fakta inilah yang membuat Gus Dur, apatis dengan usaha rekonstruksi teori kenegaraan Islam, dikarenakan berbagai problem kontemporer yang tidak akan bisa diselesaikan hanya oleh batasan konseptual dari perpolitikan agama. Berbagai problem tersebut merujuk pada bagaimana pelembagaan institusi pemerintah dibentuk: apakah menganut sistem sentralisasi ataukah desentralisasi? Jenis hukum formal yang mana, yang akan ditetapkan sebagai sistem hukum nasional, mengingat terdapatnya potensi meniadakan konsep “hukum lain”, demi kemapanan satu konsep hukum tertentu? Masyarakat seperti apa yang akan dibangun: masyarakat tertutup yang menghambat proses distribusi kekuasaan, ataukah masyarakat terbuka? Hingga model kebudayaan seperti apa yang akan dituju, apakah kebudayaan monolitik yang tidak menenggang perbedaan, atau sebuah perhargaan atas dinamika pluralitas? Berbagai problem real yang terdapat baik dalam struktur kenegaraan, maupun kultur masyarakat inilah yang membuat rumus teori negara Islam menjadi irrelevant, sebab Gus Dur melihat pengatasnamaan agama dalam politik, tiada bedanya dengan segregasi ideologis berbagai isme yang menjadikan kekuasaan ideologinya sebagai tujuan utama pendirian negara, bukannya realisasi keadilan sosial.
Pada titik ini Gus Dur kemudian merumuskan berbagai prinsip kenegaraan modern, yang tidak harus terkait dengan teori sistem kenegaraan tertentu, termasuk sistem Islami. Prinisp tersebut antara lain; (1) sistem pemerintahan yang secara universal memberikan kedudukan sama di muka hokum, tanpa melihat asal-usul agama, etnis, bahasa, budaya, maupun keyakinan politiknya. (2) sistem perwakilan berdasarkan ketentuan satu-orang-satu-suara (one man one vote), yang akan menjamin kedaulatan rakyat yang tidak akan tertandingi sistem perwakilan terbatas manapun, (3) hukum nasional yang berlaku untuk semua warganegara, yang diramu dari unsur-unsur hukum agama, disamping sumber lain, sedangkan materi hukum agama yang tidak masuk dalam kodifikasi hukum formal (undang-uandang) berfungsi sebagai etik masyarakat (menjadi fiqh atau hukum agama Islam), (4) jaminan penuh akan kebebasan berpendapat, berserikat dan menguasai hak milik, (5) pembagian kewenangan legislatif, eksekutif, yudikatif, dimana tidak ada satu pihak mencampuri otoritas pihak lain, (6) jaminan untuk mengembangkan keyakinan agama serta menyebarkan ajaran spiritualitas tanpa ada pembatasan, selama tidak menjurus kriminalitas, (7) jaminan akan kebebasan melakukan kegiatan ilmiah, perlindungan hukum atas karya-karya ilmiah, dari tindakan sepihak oleh semua otoritas, termasuk otoritas agama, diluar saluran pengadilan.
Pada ranah praksis, hal inilah yang membuat Gus Dur, sebagai Ketum PBNU saat itu, menerima azas tunggal Pancasila, sebagai azas organisasi masyarakat, karena disamping hal tersebut merupakan keberpihakan dari ormas-ormas untuk mencoba keluar dari kepentingan sektarian, menuju pada kepentingan nasional, juga dikarenakan oleh keyakinan bahwa Pancasila tidak akan mengganti posisi Islam sebagai aqidah. Keyakinan tersebut berangkat dari satu positioning Islam dalam kehidupan bangsa, yang oleh Gus Dur ditempatkan pada, pertama, sebagai etika sosial, dimana Islam mampu mengarahkan dan membentuk moralitas publik, dan kedua melalui penerapan hukum Islam secara partikular didalam struktur hukum nasional, salah satunya melalui Departemen Agama, meskipun lembaga ini ternyata terjebak dalam birokratisasi dan tidak mampu melakukan pengaturan konflik internal gerakan Islam, sehingga mengalami kegagapan ketika harus berhadapan dengan dilema Islam dan modernitas.
Penerimaan Gus Dur atas nama Nahdlatul Ulama (NU) memang bersifat historis. Kesejarahan tersebut menemu ruang dalam penerimaan NU atas bentuk negara-bangsa, yang mengindikasikan “selesainya” perdebatan pada level struktur kenegaraan untuk kemudian lebih mengembangkan perdebatan pada wilayah aplikasi dari eksistensi kenegaraan demi kesejahteraan rakyat.
Dimulai sejak Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, NU sudah membuktikan watak moderasinya melalui pemberian status wilayah Hindia-Belanda sebagai dar al-Islam (negeri muslim) meskipun struktur negara yang ada adalah negara kolonial-sekular. Penerimaan ini berangkat dari argumentasi, bahwa negara menjamin kebebasan umat muslim dalam melakukan praktik ibadah, disamping argumen historis yang menggambarkan kesejarahan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, yang hingga kini masih memberikan bekas kultural dalam tradisi keagamaan dan kekuasaan muslim Nusantara. Konsekuensi dari penerimaan ini adalah, wajibnya umat muslim untuk mempertahankan wilayah tersebut dari penjajahan, sehingga sejak saat itu, perlawanan terhadap kolonialisme selalu mengemuka, baik yang dilatarbelakangi oleh berbagai kebijakan anti-Islam dari pemerintah Belanda, maupun fatwa Resolusi Jihad Kyai Hasyim Asy’ari, untuk mempertahankan kemerdekaan pada Oktober 1945.
Dari momen sejarah ini, maka tanggapan Islam atas bangunan negara-bangsa, menemu pada dua ruang. Pertama, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslim untuk melaksanakan ajaran agama, sebagai conditio sine qua non bagi penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut. Kedua, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politik, ditentukan oleh proses sejarah. Dengan demikian, pola yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi cukup kuat, sehingga keduanya tidak saling menolak, tetapi saling mendukung dalam batas dan ruang yang ditentukan secara proporsional.
Dalam kaitan inilah, Gus Dur kemudian menggambarkan modal besar dari sistem keagamaan NU yang membuatnya moderat dalam berhubungan dengan negara-bangsa. Sistem keagamaan ini merujuk pada kesatuan antara tiga komponen utama Islam, yakni tauhid, fiqh, dan tasawuf. Dalam berfiqh, muslim NU tidak hanya mengembangkan produk hukum agama yang diambil dari literatur fiqh dalam sekala massif, namun juga cara-cara menyusun pemikiran hukum (legal maxim, qawa’idul fiqh), guna menentukan bentuk akhir keputusan hukum, jika latar belakang masalahnya tengah mengalami perubahan.
Disinilah dinamika pengambilan hukum Islam menjadi dinamis, karena NU mampu merumuskan kembali setiap permasalahan hukum berdasarkan perubahan konteks masyarakat. Pemikiran metodologis hukum agama ini kemudian diberi bobot spiritualitas melalui tasawuf dalam pengamalan ajaran agama sehari-hari, melalui rangkaian ritual yang memungkinkan penyiraman jiwa, yang berfungsi memperdalam bobot kearifan spiritual, sebagai pendalaman bagi kecenderungan legal formalistik dari corak keagamaan serba fiqh. Dari ketaatan terhadap hukum agama, dibarengi dengan pengamalan ajaran agama secara sufistik ini, maka muslim NU kemudian memiliki bobot ketauhidan yang kuat, sehingga agama mampu membentuk pandangan dunia yang bulat dan utuh, baik dalam lanskap duniawi maupun ukhrawi.
Dari sistem keagamaan fiqh-sufistik inilah, NU kemudian merumuskan hubungan moderat antara Islam dan negara modern, sehingga pada satu titik, Islam tidak kehilangan relevansi bagi kehidupan kekinian, sekaligus Islam tidak kehilangan dirinya dalam struktur kebudayaan sekular yang dibawa oleh modernitas tersebut. Elaborasi Gus Dur:
Pendekatan serba fiqh atas masalah-masalah kenegaraan itulah yang membuat NU relatif lebih mudah menerima ketentuan pemerintah tentang asas Pancasila dalam kehidupan organisasi. Dalam pandangan fiqh asas Pancasila adalah salah satu dari sekian buah persyaratan bagi keabsahan negara Republik Indonesia; hal itupun bukannya persyaratan keagamaan sama sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apapun untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dalam kehidupan berorganisasi yang bersangkutan. Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan oleh hukum fiqh, NU mampu melakukan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara modern, walaupun dalam aspek kenegaraan, pandangan serba fiqh itu juga sering merupakan hambatan bagi pemegang pemerintahan.. Namun, itu tidak berarti jalannya pemerintahan juga lalu terlepas sama sekali dari kendali keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijaksanaan pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan fiqh.. seperti kaidah “kebijaksanaan kepala pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat” (tasharruful imam ‘alarra’iyyah manutun bil mashlahah).
Dengan menggunakan fiqh sebagai tolok ukur keabsahan negara, maka NU kemudian tidak mempermasalahkan bentuk formal pemerintahan, selama perilaku kelembagaan negara masih sesuai dengan batas-batas yang digariskan oleh fiqh. Dari sinilah muncul kritik partikular atas penyimpangan yang dilakukan oleh sub-sistem atau pemegang kekuasaan, tidak kemudian menjadikan NU menolak secara total bentuk pemerintahan, melainkan memperbaikinya secara kasuistik dan gradual.
Pemikiran kenegaraan (Islam) Gus Dur ini, memang terkait dengan situasi politik pembangunan yang digerakkan oleh Orde Baru, di mana Gus Dur harus cerdas menempatkan diri. Satu situasi yang merujuk pada sekularisasi di satu sisi, dan kebangkitan Islam di sisi lain, yang pada akhir pemerintahan Soeharto malah diberi angin. Tentu, Gus Dur tidak gamang, dan dengan sigap melakukan rekonstruksi hubungan antara Islam dan negara, yang pada saat itu menjelma titik tengkar. Titik tengkar ini mengacu pada pertanyaan: haruskah Islam menolak Pancasila, karena ideologi ini bersifat “tidak Islami”? Tanya ini kemudian menciptakan pembelahan pemaknaan atas hubungan Islam dan politik. Satu pihak, Islam dipandang sebagai political, dimana arti kejayaannya disematkan kedalam totalitas sistemik, melalui pendaulatan syari’at sebagai konstitusi negara. Lahirlah Piagam Jakarta yang diharapkan menjadi payung konstitusional bagi penerapan hukum Islam di semua lini kehidupan publik. Sementara itu di pihak lain, Islam tidak dimaknai sebagai “yang politik”, tetapi lebih kepada “yang kultural”. Pemaknaan ini berdampak pada posisi politik Islam, yang tidak harus menjelma supra-struktur negara, tetapi sub-struktur dalam bangunan tubuh negara-bangsa.
Gus Dur masuk dalam gerbong ini. Yakni, dalam penempatan Islam yang mengacu pada dua hal. Pertama, pemosisian hukum Islam kedalam sub-sistem hukum nasional. Hal ini dilandasi oleh kaidah fiqh: ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu (apa yang tidak bisa didapat semuanya, jangan ditinggal prinsip dasarnya). Bagi Islam (Sunni), jika konstitusi negara tidak bisa berdasarkan Islam, mengingat pluralitas bangsa, maka penanganan persoalan mu’amalah haruslah tetap ditangani oleh hukum Islam. Dari sini keberadaan Kementarian Agama dan Peradilan Agama menjadi penting demi menjaga otoritas fiqh agar tetap dipegang oleh para ulama. Tentu posisi minimalis ini tidak berhenti dengan sendirinya, karena setelah hukum Islam terposisikan dalam sub-struktur negara, ia kemudian digerakkan sebagai etik sosial pada ranah masyarakat, juga negara. Gus Dur mendefinisikan etik sosial ini sebagai fungsi komplementer dari Islam, dimana agama memiliki kewajiban untuk menyempurnaan tata politik. Dalam praktik, proses penyempurnaan ini kemudian melahirkan etos kritik, di mana Islam mampu menyediakan alternatif dari pembangunan, jika arah kebijakan negara, dirasa menyimpang dari nilai-nilai dasar yang dianut oleh Islam.
Dalam kaitan inilah, praktik pembangunan bahkan telah melahirkan, apa yang disebut Gus Dur sebagai penanganan non-religius atas kehidupan beragama. Artinya, apa yang dimaksud pemerintah dengan pengaturan kehidupan beragama, ternyata hanya bersifat artifisial, institusionalis, dan event oriented, daripada penelaahan problem fundamental umat beragama. Hal ini digerakkan melalui pemberian dana bagi perayaan keagamaan serta pembentukan birokrasi agama, yang bahkan telah menjebak keberislaman formalistik. Kecenderungan ini lahir dari paradigma pembangunanisme, yang menempatkan agama, sebagai satu unsur sosial yang harus memperkuat kebijakan ekonomi negara. Inilah yang terjadi, dan menempatkan Islam, jika tidak sebagai “ekstrim kanan” yang tersanding dengan “ekstrim kiri”, maka posisi Islam yang hanya dijadikan legitimasi kekuasaan. Dua posisi sama sulit, karena pembangunan yang mensyaratkan konflik, dan oleh karenanya wajib meminggirkan Islam ideologis, dengan satu usaha politisasi Islam non-politik, yang telah mencerabut agama ini dari fungsi vitalnya.
Penobatan Islam sebagai legitimasi pembangunan tersebut dilakukan pemerintah dalam dua fase, jika merujuk pada pergulatan Gus Dur. Fase pertama merujuk pada revisi pandangan modernis negara atas tradisi pesantren, di mana pembangunan sudah tak lagi menempatkan tradisi ini sebagai penghambat modernisasi, tetapi sebaliknya, ia dilihat sebagai basis budaya, tempat pemerintah mensosialisasikan agenda pembangunan. Pendekatan ini memang bersifat instrumentalis, karena hanya melihat pesantren sebagai alat, dikarenakan watak kulturalnya yang mengakar dengan masyarakat. Dengan modal budaya kuat, yakni kemenyatuan tradisi Islam dan lokalitas, ditambah patronase perlindungan kyai atas warga sekitar, pesantren dilihat mampu menjadi ruang komunikasi yang efektif, dimana peran kyai sebagai komunikator budaya, akan mampu menjembatani pemerintah dan masyarakat dalam sosialisasi kebijakan pembangunan.
Inilah yang dikritik Gus Dur, karena alih-alih pemerintah bisa, dan berempati dengan tata nilai pesantren, pendekatan instrumentalis ini hanya menempatkan pesantren secara pragmatis, minus kesadaran nilai. Ketiadaan kesadaran inilah yang dikritik Gus Dur, sehingga ia kemudian mewacanakan sub-kultur pesantren, sebagai usaha untuk menggambarkan sistem nilai muslim tradisional tersebut. Bentuk sub-kultur inilah yang menempatkan pesantren sebagai sub-budaya nan unik (dan karenanya pemerintah harus hati-hati), tetapi sekaligus mampu mempengaruhi sistem secara keseluruhan, dan oleh karena itu, ia tidak hanya berperan sebagai “corong kebijakan”, namun bahkan mampu melakukan koreksi atas pembangunan. Dari sini Gus Dur kemudian menggerakkan pengembangan masyarakat melalui pesantren, salah satunya dengan mendirikan P3M. Melalui gerak ini, Gus Dur dan kalangan NU menggali potensi sosio-ekonomi masyarakat, sehingga ketergantungan atas pembangunan negara bisa diminimalisir.
Fase kedua penggunaan Islam sebagai legitimasi terjadi ketika negara mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang oleh Gus Dur dilihat sebagai penodaan komitmen awal terhadap demokrasi. Hal ini terjadi, dan dikritik Gus Dur, karena “kemesraan” NU dengan negara terjadi, ketika pemerintah sepakat untuk tidak memberi ruang bagi ekslusifitas Islam. Ini yang melahirkan dekonfessionalisme Islam: ruang publik dinetralisir dari kecenderungan sektarian agama yang tentunya akan menjebak penanganan politik dalam segregasi kelompok. Sayang, komitmen awal ini telah ternoda, dan pemerintah dengan sengaja memediasi birokratisasi Islam, dengan mengakomodir kecenderungan islamisasi baik ranah ritual kenegaraan, pengatahuan, dan ruang politik.
Satu hal yang dikhawatirkan Gus Dur, karena pendirian ICMI berarti pemberian political opportunity atas ekslusifitas Islam, yang bahkan Gus Dur nisbatkan pada geliat Aljazaer, dimana kaum fundamentalis bergolak. ICMI menurut Gus Dur akan menyemai benih Islamisme politik, di mana kepentingan demokratisasi pada aras kebangsaan, akan direbut oleh kepentingan golongan Islamis. Ini tentu langkah mundur, karena sejak awal pembangunan, bentuk politik sekular sebetulnya ideal, karena melakukan minimalisasi atas potensi ideologis dari gerakan Islam. Ruang publik yang netral ini, pada dekade 1990 telah dikacaukan lagi oleh Soeharto, yang memang pada saat itu telah kehilangan sebagian basis politik militernya, dan oleh karena itu membutuhkan perangkulan massa Islam, demi kelangsungan kekuasaan.
Dalam kaitan inilah, pemikiran Islam Gus Dur berusaha melakukan penyaringan, counter discourse, dan penjelasan kesejarahan atas bangunan Islam di Indonesia, yang tidak selalu besifat legitimatif. Hal ini dilakukan Gus Dur melalui rekonstruksi metode pemikiran (hukum) Islam, untuk menggali potensi transformatif, agar Islam bisa kompatibel dengan perubahan sosial yang terjadi. Tentu harus ada kompromi, semisal akomodasi Islam terhadap ideologi negara, dengan catatan, masing pihak mampu memberikan kontribusi berdasar kesamaan nilai universal, seperti nilai-nilai yang Gus Dur tarik dari titik sama antara Islam dan Pancasila:
Pancasila harus diuji, apakah mampu atau tidak mewujudkan prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang dituntut oleh Islam. Pancasila harus mengembangkan wawasan yang demokratis, menganut faham perlakuan sama dimuka undang-undang dan memperjuangkan keadilan. Demikian pula, Pancasila harus mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi pada pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas, menghargai kebebasan berpendapat dan menjamin kebebasan berserikat. Itulah kunci diperoleh lima buah jaminan dasar yang diberikan oleh Islam kepada warga masyarakat; jaminan dasar atas keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga, harta milik pribadi, dan keselamatan profesi.
Hal inilah yang dilakukan Gus Dur, yakni mengangkat perbedaan partikular kepada persamaan cita-cita universal, yakni kemanusiaan dan keadilan. Struktur politik demokratis kemudian menjadi syarat utama, di mana Islam harus melakukan rekonstruksi atas bangunan doktrinalnya, jika ia ingin menggerakkan perubahan masyarakat. Inilah letak pemikiran Islam beliau, karena tanpa pembenahan ke dalam, Islam bahkan sering dijadikan penghambat bagi demokratisasi. Tetapi juga sebaliknya, tanpa orientasi demokratis, pembenahan dalam tubuh Islam, hanya akan menciptakan konflik internal umat Islam, karena masing pihak terjebak dalam klaim kebenaran penafsirannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar