Sabtu, 16 Februari 2013

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT NALAR PEMIKIRAN AL-GHAZALI

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT NALAR PEMIKIRAN AL-GHAZALI Oleh Tauhedi As’ad. A. Biografi Al-Ghazali Meletakkan Al-Ghazali sebagai topik pembahasan, bukanlah hal tabu dalam dunia pendidikan, karena Al-Ghazali adalah sosok tokoh yang mempunyai kemampuan dimensional dalam arti intelektual, hampir semua bahasa ilmu pengetahuan dalam literatur keilmuan pernah mencantumkan nama Al-Ghazali. Sebutan Hujjatul Islam dan Imam Jalil mencitrakan pribadi Al-Ghazali. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. dilahirkan pada tahun 450 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1050 Miladiyah, lahir di kota Tush wilayah Khurasan , setelah berumah tangga dan mendapat anak bernama Hamid, maka ia dipanggil dengan sebutan Abu Hamid, namun Hamid ini meninggal pada masih kecil. Adapun sebutan Al-Ghazali terdapat dua kemungkinan menurut para ahli sejarah. Pertama, diduga berasal dari nama desa tempat kelahirannya, yaitu Ghazalah. Kedua berasal dari pekerjaan sehari-hari sebagai tukang tenun dan menjual kain tenun yang dinamakan dengan “ghazzal”. Al-Ghazali terlahir dari keluarga yang miskin. Ayahnya Muhammad seorang penenun yang mempunyai toko dikampungnya, tetapi penghasilannya yang kecil tidaklah dapat menutupi kebutuhan hidup keluarganya. Ia seorang yang pecinta ilmu dan bercita-cita besar, ia selalu berdo`a agar anak-anaknya kelak menjadi orang yang berpengetahuan luas. Anak pertama bernama Muhammad yang dijuluki Abu Hamid anak yang kedua diberi nama Ahmad yang kemudian diberi julukan Abu Futuh. Ia adalah seorang juru dakwah yang kemudian hari terkenal dengan panggilan Majidudin. Oleh ayahnya Al-Ghazali kecil dikirim kepada seorang guru sufi yang mengajari tasawuf, disamping tasawuf Al-Ghazali juga mempelajari fiqh pada daerahnya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rasikani. diantara kawan-kawannya ia sangat menonjol dalam pelajaran ini. Berkat bantuan guru sufi yang sederhana ini Al-Ghazali dan saudaranya memasuki madrasah tingkat dasar, gurunya ditingkat dasar adalah Yusuf al-Nasaj beliau adalah sufi yang sangat sederhana. Pendidikan yang tinggi ia tempuh ketika ia berusaha di bawah dua puluh tahun, pelajran di sini berbeda dengan pelajaran yang ia pelajari di Thus, ia mulai mendalami ilmu bahasa Arab dan Persi. Kehausan ilmu Al-Ghazali dimulai setelah ia belajar pada madrasah Nizamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh ulama besar Imam Al- Haramain Abu Ma`ah Al-Juwaini, seorang ulama syafi`i yang mengikuti aliran Asy`ariyah, sekalipun Al-Ghazali merupakan ulama yang berani mengkritik pendapat yang berkembang pada waktu itu. Menurut para penulis riwayat hidupnya, sewaktu Al-Ghazali masih belajar di Naisabur beliau telah banyak menulis tentang. Pada waktu gurunya (Al-Juwaini) masih hidup ia mengibaratkan Al-Ghazali dengan Bahru Mughriq bagai laut dalam yang menenggalamkan, karena Ia ahli dalam berbagai macam ilmu terutama ilmu jadal (ilmu debat) setelah gurunya wafat pengembraan Al-Ghazali dilanjutkan kedaerah Ma`askar dan ia menetap di sana kurang lebih 5 tahun . Kegiatan pokok yang ia lakukan ketika ia terjun menjadi guru besar adalah mengikuti pertemuan yang diselenggarakan oleh perdana menteri Nizamul Mulk yang merupakan negarawan Bani Saljuk yang saat itu adalah penguasa sebenarnya dalam pemerintahan Baghdad, melihat kepandaian dan kehebatan Al-Ghazali perdana menteri sangat kagum dan kemudian mengangkatnya menjadi seorang guru besar yang yang didirikan oleh perdana menteri yang pada saat itu umur Al-Ghazali baru 33 tahun sungguh merupakan kedudukan yang sangat bergengsi dalam dunia pendidikan pada masa itu. Namun telah menjadi adapt kehidupan dunia, di puncak kemasyhuran itulah datang berbagai musibah yang menimpa negara, raja malik Syah yang adil itu meniggal dunia, pada tahun yang samapun perdana menteri meniggal juga, dan akhirnya timbul perlawanan dimana-mana yang disebabkan oleh kaum Bathiniyah, sehingga keamanan Al-Ghazali terancam dan ia memutuskan untuk meninggalkan Baghdad dan dalam keadaan yang demikian itu ia memutuskan untuk berkhalwat menjauh dari dunia untuk mendapatkan pengetahuan sejati. Setelah selam 10 tahun di pengembaraannya akhirnya Al-Ghazali pulang dan diangkat kembali menjadi pemimpin Universitas Nizamiyah. Al-Ghazali wafat pada 19 desember 1111 Masehi dalam usia 55 tahun. B. Konstruksi Pemikiran al-Ghazali Membicarakan latar belakang pemikirannya seorang tokoh, harus menghubungkan dengan keadaan yang mengitarinya, sebab Al-Ghazali adalah bagian integral dari sejarah pamikiran isalam secara keseluruhan. Oleh karena itu situasi yang berkembang ikut menentukan arah perkembangan pemikirannya. Masa hidup Al-Ghazali adalah masa berkembangnya beberapa aliran-aliran pemikiran dalam Islam. Aliran –aliran itu berpijak pada aneka ragam permasalahan yang tumbuh di tengah majemuknya pemeluk agama islalm sejak zaman Rasulullah Saw. Pemahaman masalahan aqidah yang terus berkembang menyebabkn timbulnya aliran yang lain seperti qadariyah, jabariyah, murji`ah dan yang sangat dominant waktu itu ialah As`ariyah dan Mu`tazilah, karenanya kedua aliran ini disamping menggunakan aqli juga menggunakan naqli sedangkan aliran yang dominan dalam bidang rasional adalah Mu`tazilah sekaligus peletak pertama dalam aliran teologi. Berkembangnya faham rasionalitas dikalangan teologi sebagai akibat dimulainya penterjemahan buku-buku asing (Yunani) dan sebagai dampaknya yang paling menonjol adalah lahir golongan filosuf dengan bendera filsafatnya yang cenderung mengembangkan teori-teori Plato, Aristoteles, dan neo Platonisme dan pada sisi lain berkembang aliran bathiniyah. C. Pengaruh Pendidikan al-Ghazali Ketiga aliran diatas ketika Al-Ghazali lahir masih sangat dominan, dan diantara aliran yang satu dengan yang lain saling menyerang dalam hal pemikiran, seperti kaum Filsuf dan Bathini menyerang epistemology wahyu, sedangkan kaum teolog dan sufi membela epistemologi ini. hal inilah yang menyebabkan Al-Ghazali ahli di bidang itu dan dengan memunculkannya karya-karya kritikannya seperti yang tertuang dalam Al-Munqidnya. Akhir dari pemikiran-pemikirannya akhirnya menimbulkan skeptisisme mengenai hakikat-hakikat yang telah ia pelajari dari beberapa aliran, akhirnya Al-Ghazali dengan segala kemampuannya meneliti beberapa aliran untuk mencapai kebenaran sejati seperti ungkapannya pada Al-Munqidznya: Ketika aku mendekati umur baligh sebelum sampai umur dua puluh tahun sampai mendekati umur dua puluh lima tahun, aku mencebur ke gelombang samudra dan tidak pernah takut, tiap permasalahan yang sulit kuselami dengan penuh keberanian tanpa rasa kahawatir dan takut, ku pelajari tiap aqidah dari beberapa golongan dan kubuka rahasia-rahasia tiap madzhab untuk dapat membedakan antara hak dan yang bathil, mana yang asli dan mana yang diadakan, kuselidiki ajaran bathiniyah untuk mengetahui kebathinannya, filsafat dengan kefilsafatannya, ilmu kalam dengan puncak perdebatannya, ilmu tasawuf dengan rahasia tasawufnya, pada aliran ibadah dengan apa tujuan ibadahnya dan juga pada kafir zindik sebab keberanian mereka dalam menyangkal pada adanya Tuhan. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan Al-Ghazali untuk mengetahui hakikat sesuatu yang dia inginkan dengan sedalam-dalamnya, dan dari hasil proses mencari kebenaran itulah Al-Ghazali mempunyai gagasan baru mengenai pendidikan D. Pandangan Al-Ghazali tentang Pendidikan Mendidik merupakan bagian yang sangat penting yng dimulai dari pendidikan anak, karena anak merupakan amanat dari orang tua maka, mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya, jika anak anaknya dibiasakan dengan hal-hal yang baik dan diajarkan dengan cara yang baik, maka akan tumbuh dalam kebaikan dan akan memperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Tetapi apabila mereka dibiasakan dalam dan diabaikan seperti layaknya hewan buas, ia akan sengsara dan merugi, sedangkan dosanya akan dipikul juga di atas pundak pendidik atau orang yang bertanggung jawab kepadanya. Dalam hal pendidikan Al-Ghazali mempunyai beberapa pengertian dari banyak segi, dari segi individu pendidikan mengembangkan sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia sesuai dengan fitrahnya. Dari segi masyarakat berarti mewariskan nilai keislaman kepada tiap individu agar kehidupan berbudaya dapat berkesinambungan sedangkan dari segi jiwa adalah untuk membersihkan jiwa. E. Tujuan Pendidikan Dalam pandangan Al-Ghazali tujuan pendidikan adalah untuk taqarrub kepada Allah serta menjamin masa depan anak di akhirat, masa anak-anak merupakan masa yang sangat penting karena pada saat ini jiwa anak murni dan terbuka terhadap pengaruh. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pendidikan anak adalah menanamkan langsung kebiasaan yang langsung dapat dilakukan oleh orang tua maupun para pendidik dan menangkis segala dari segala pengaruh yang merusak baik yang datang darilingkungan maupun dari teman-temannya sendiri.masa yang paling penting menurut Al-Ghazali adalah masa tamyis yang merupakan masa yang perlu diperhatikan bagi orang tua karena masa ini sang anak memungkinkan ide-ide yang abstrak termasuk membedakan yang baik dan yang buruk. Acuan pendidikan yang paling utama menurut Al-Ghazali adalah akhlak dia juga tokoh yang memunculkan filsafat pendidikan lewat karangannya “ ayyuhal walad” membaca pendapat Al-Ghazali dalam Ihya` melahirkan tanggapan yang berbeda dari ahli didik islam tentang hakikat kejadian manusia, pikiran Al-Ghazali tentang fitrah manusia dapat digolongkan bahwa dia adalah pengikut aliran tabularasa yang mengannggap manusia itu putih bersih. Al-Ghazali adalah orang yang sangat menaruh perhatian penting tentang akhlak hal ini dapat dilacak dengan keadaan pada masa beliau hidup, yang mana pada saat itu akhlak yang dimiliki masyarakat banyak yang sudah rusak dan tidak ada pembenahan yang serius. Manusia yang hanya pintar di bidang keilmuan, tetapi ilmunya tidak disertai dengan akhlak karimah, maka tidak jarang kepintarannya hanya akan mendatangkan malapetaka dan bencana, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain dan lingkungannya. Cukup banyak ditengah-tengah kita contoh kasat mata para petinggi dan pejabat yang korup, kebanyakan mereka bukan orang –orang yang bodoh secara keilmuan, tidak sedikit pula perilaku kriminal, pembunuhan, penipuan dan banyak lagi kejahat yang dilakukan oleh orang-orang yang pintar, semua itu terjadi karena semata-mata akhlak yang mulia tidak menyertai mereka. Keadaan seperti ini juga terjadi pada masa kehidupan Al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan : tujuan murid dalam mempelajari ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah untuk kesempurnaan dan keutamaan jiwanya pendapat Al-Ghazali juga didiukung oleh Athiyah Al-Abrasyi dari pernyataan tersebut Al-Ghazali menghendaki adanya keluhuran rohani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat, merupakan tujuan utama dari pendidikan bagi kalangan manusia muslim karena akhlak merupakan aspek yang fundamental dalam kehidupan seseorang masyarakat ataupun suatu negara. Mengikuti pendapat Al-Ghazali tentang akhlak dengan mengacu pendapatnya dalam kitab Mauidhatul mu`minin beliau mengatakan: Hakekat akhlaq adalah keadaan atau kontitusi jiwa yang tetap (constant) yang menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan secara wajar gampang tanpa memerlukan pertimbangan dan pikiran. Bila konstitusi jiwa itu lahir perbuatan –perbuatan yang terpuji dari agama dan akal maka konstitusi (hai`ah) itu disebut watak yang baik. Sebaliknya apabila dari padanya lahir perbuatan-perbuatan yang tercela, maka hai`ah itu disebut dengan watak yang buruk Akhlak yang baik merupakan inti ajaran islam, karena ia sebagai pengejawantahan dari keimanan seseorang kepada Allah, yang terefleksi dalam kepatuhan terhadap pengamalan terhadap syaria`at agama, sebagai tuntunan hidup yang diyakini kebenarannya. Keyakinan terhadap tatanan moral yang dibarengi dengan kepercayaan terhadap Allah yang merupakan satu-satunya sebagai sumber tatanan moral itu akan melengkapi keimanan orang yang melakukan kebaikan. Al-Ghazali juga memeberikan nasihat kepada muridnya, yang disebutkan dalam karyanya kitab ayyuhal walad Hai anak! Ilmu yang tidak disertai dengan amal itu namanya gila dan amal yang tidak menggunakan ilmu itu namanya sia-sia, dan ketahuilah bahwa ilmu saja tidak akan menjauhkan maksiat di dunia ini dan tidak akan menjauhkanmu dari api neraka, maka apabila kamu tidak mengaktualisasikan ilmu yang kau miliki dalam bentuk amal maka engkau temasuk orang yang merugi Jadi antara ilmu dan amal harus saling seimbang dan saling melengkapi, setiap ilmu dan amal dari setiap manusia meski nantinya dipertanggung jawabkan dalam kehidupan dunia maupun akhirat, dalam artian seseorang yang sudah mempunyi ilmu itu harus diamalkan agar ilmunya itu bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat. F. Unsur-Unsur Pendidikan Menurut Al-Ghazali Pendidik dalam keseluruhan proses pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Melalui pendidiklah aktivitas pedagogik dapat diarahkan kepada tujuan yang ingin dicapai, ia juga bertanggung jawab dalam mentranformasikan ilmu oengetahuan dan nilai yang telah ditetapkan untuk dimiliki oleh peserta didik, oleh karena itu keberhasilannya akan banyak mempengaruhi keberhasilan proses pendidikan itu sendiri. Apabila kita merujuk pada beberapa istilah yang ada pada kontek pendidikan yang telah sedikit dipaparkan diatas maka sedikitnnya Al-Ghazali telah menggunakan istilah al-Muaddib, al-Muallim dan Al-Murabbi, Al-Ghazali memandang bahwa kepribadian guru dianggap sangat penting karena guru merupakan sosok panutan yang diikuti segala gerak-gerik serta tingkah lakunya. Selanjutnya Al-Ghazali mengemukakan syarat-syarat kepribadian seorang pendidik sebagai berikut: 1. sabar menerima masalah-masalah yang ditanyakan muridnya dan harus diterima dengan baik 2. senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih 3. jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya` atau pamer 4. tidak takabur kecuali kepada orang yang dhalim dengan maksud mencegah dari tindakannya 5. bersikap tawadu` dalam pertemuan-pertemuan 6. sikap dan pembicaraannya tidak main-main 7. menanam sifat beresahabat di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya. 8. menyantuni serta tidak membentak-bentak terhadap orang yang bodoh 9. membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya 10. berani mengatakan : saya tidak tahu, pada masalah yang tidak ia mengerti 11. menampilkan hujjah yang benar. Apabila berada pada pihak yang salah, bersedia ruju` kepada kebenaran G. Faktor Peserta Anak Didik di antara faktor yang penting dalam pendidikan adalah peserta didik, dalam dunia pendidikan peserta didik merupakan subjek dan objek. Oleh karenanya, aktifitas kependidikan tidak akan terlaksana tanpa adanya keterlibatan peserta didik yang ada di dalamnya. Pengertian yang utuh tentang peserta didik merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dan dipahami oleh seluruh pihak, terutama pendidik yang terlibat langsung dalam proses pendidikan. Dalam para dikma pendidikan islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa yang mempunyai sejumlah potensi yang (kemampuan) dasar yang masih perlu untuk dikembangkan dan membutuhkan bimbingan dari seorang guru, dalam hal itu maka peserta didik juga dituntut mempunyai beberapa sikap yang baik pada seorang guru sehingga aktifitas pendidikan dapat berjalan dengan lancer. Al-Ghazali menjelaskan tentang tentang tugas dan kewajiban para pelajar pada bagian khusus dalam kitabnya Ihya` Ulumuddin dengan pembahasan yang luas dan mendalam adapun pembahasan pada bab ini diuraikan sebagai berikut 1. mendahulukan kesucian jiwa. 2. bersedia untuk merantau dan menghindarkan dari kesibukan-kesibukan dunia Al-Ghazali mengatakan : seorang pelajar seharusnya mengurangi hubungannya dengan kesibukan-kesibukan dunia dan menjauhkan diri dari keluarga dan tanah kelahirannya. Karena segala hubungan itu akan mempengaruhi hati dan memalingkan hati pada yang lain 3. Jangan menyombongkan ilmunya 4. jangan menentang guru 5. mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan 6. agar pelajar tidak memasuki fak dari ilmu sebelum menyempurnakan fak yang dibacanya sebelumnya 7. mengetahui kaitan ilmu dengan tujuan supaya dia mendahulukan yang dekat atas yang jauh H. Materi-Materi Pendidikan Adapun mengenai materi pendidikan Al-Ghazali berpendapat bahwa al-Qur`an beserta kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahuan, isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak dan mendekatkan diri pada Allah. Dalam hal ini Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua macam, yaitu :pertama, ilmu Syari`ah semua ilmu yang berasal dari para nabi. Kedua, `ilmu ghairu syari`ah semua ilmu yang berasal dari para ijtihad ulama atau intelektual muslim. Sementara bila dilihat dari sifatnya ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua, yaitu : ilmu yang terpuji(mahmudah) dan ilmu yang tercela (mazmumah). Menurut Al-Ghazali ilmu pengetahuan yang terpuji wajib dicari dan dipelajari, sementara ilmu pengetahuan yang tercela wajib dihindari oleh setiap peserta didik. Dalam mengajarkan ilmu seorang pendidik hendaknya memberikan penekanan pada upaya membimbing dan membiasakan agar ilmu agar ilmu yang diajarkan tidak hanya dipahami, dikuasai, atau dimiliki oleh peserta didik, akan tetapi lebih dari itu perlu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pelaksanaannya, semua metode pendidikan yang memiliki relevansi terhadap upaya pendidikan hendaknya dapat digunakan pendidik dalm proses belajar mengajar. Penggunaan setiap metode pendidikan hendaknya diselaraskan dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, tingkat usia peserta didik, bakat, kecerdasan dan fitrahnya. I. Pandangan Ilmu Menurut Al-Ghazali Didalam memahami ilmu Al-Ghazali mendasarkan pemikirannya pada ajaran-ajaran Islam, oleh karena itu epistimologi yang digunakan adalah meemakai epistemologi Islam. Dengan menghadapkan landasannya pada pola berfikirnya itu kepada seluruh aliran yang berkembang pada dunia islam, dia mengalami rasa syak atau keragu-raguan (skeptis) sebab argumentasi yang disajikan oleh mereka tidak pernah meyakinkan dirinya untuk memahami nilai-nilai kebenaran itu. Al-Ghazali menganggap tidak ada ketuntasan pada pemikiran aliran itu untuk memahami kebenaran, dan mereka hanya sampai pada tingkat manusiawi semata. Sebagai langkah awal untuk mendamaikan kebenaran wahyu dan akal dengan menggunakan metode double skepticism sebagai metode analisis. Aspek pertama dalam metode ini adalah menanyakan peran indra dan akal sebagai sarana untuk mencapai pengetahuan yang benar. Persepsi indrawi terbatas oleh ruang dan waktu serta situasi seperti dapat dilihat dari contoh mata, sebagai saran untuk mengetahui pengalaman empiris, hanya menerima data-data yang terlihat. Namun demikian, pengetahuan tentang obyek yang sama berbeda ketika dilihat dari jarak dan posisi yang berbeda pula. Indera sentuh juga demikian, disisi lain dapat mendeteksi dingin dan panas tetapi tidak dapat memahami warna, dimensi kedua dari skeptisisme Al-Ghazali adalah menghadapi masalah umat yaitu, yaitu terjadinya saling serang dan menyerang antara aliran, hal ini disebabkan karena adanya taklid dan fanatisme, setelah mengecam taklid Al-Ghazali bertekad untuk mencari ilmu yakin yang belum pernah ia ketahui secara pasti. Menyadari panca indera bisa menipu dan dan bahaya ketergantungan epistemologi pada otoritas-otoritas yang berselisih. Ketika berusaha dua puluh tahunan ia berusaha meneliti landasan epistemologi pemikir yang dominan pada waktu itu dan mengkritik semua aliran pada waktu itu Persepsi Al-Ghazali tentang ilmu tidaklah terpilah-pilah, artinya Al-Ghazali meletakkan satu pemahaman tentang suatu ilmu dalam bentuk kesatuan teoritik yakni menjurus pemahaman ilmu sebagai ilmu Allah yang perlu dikaji dalam rangka membawa dunia dan seluruh isinya ke gerbang kemaslahatan. Al-Ghazali membagi ilmu kepada dua bagian yaitu ilmu syari`ah dan ilmu ghairu syari`ah. Ilmu syari`ah merupakan ilmu yang yang tidak diragukan lagi dampaknya bagi penuntutnya. Ilmu ini adalah inti penjelasan dan keterangannya langsung diperoleh dari Allah dan Rasul, sedangkan ilmu ghairu syari`ah adalah ilmu yang pencapaiannya diserahkan kepada manusia. Jadi, pandangan ilmu menurut Al-Ghazali adalah monokotomik Karakteristik dan kelainan alur pemikiran Al-Ghazali dibanding dengan para mutakallimun, filosuf cenderung mempunyai karakteristik tersendiri, disinilah Al-Ghazali membuat kajian yang tidak terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya, Ia membangun teori tersendiri yang lebih lengkap dan lebih komprehensif. Al-Ghazali menyadari bahwa adanya rasionalisme dan emperisme yang berlebihan akan mengancam lunturnya iman setiap Muslim. Dalam permasalahan ini Al-Ghazali lebih mengedepankan masyarakat awam, artinya Al-Ghazali lebih memberi jalan keluar untuk membel masyarakat awam. J. Ilmu Spiritual (Kashf). Al-Ghazali dalam perjalanan hidupnya yang selalu yang tidak pernah menemukan kebenaran yang sejati, menyebabkan dia memilih jalur alternatif sebagai seorang sufi. Perdebatan-perdebatan yang terjadi antara aliran yang satu dengan yang lain dan mereka semua menganggap bahwa dirinya yang paling benar sedangkan yang lainnya dianggap salah merupakan suatu alasan yang mendorongnya untuk menempuh jalur ini. Ilmu spiritual merupakan ilmu batin yang mempunyai karakteristik tersendiri, maka dari itu Al-Ghazali telah menyajikan beberapa metode untuk bisa membantu kita untuk memahami apa yang sesungguhnya ia maksudkan. Ilmu mukasayafah merupakan ilmu batin yang tersembunyi yang merupakan tujuan akhir dari segala ilmu termasuk ilmu praktis. Jelas ilmu ini tidak dapat didapatkan dengan panca indera atau kekuatan akal, ilmu ini ibarat yang akan bersinar dari kalbu, bila kalbu dibersihkan dari sifat-sifat yang tercela, cahaya inilah yang menjadi medium tercapainya pengetahuan tentang hakikat Tuhan serta makhluk spiritual lainnya. Dalam epistemologinya Al-Ghazali menempatkan hati sebagai tempat berseminya pengetahuan pada manusia, dalam diri manusia terdapat dua jendela dalam memperoleh ilmu pengetahuan, pertama lewat indera dan penalaran yang mengarah pada alam empirik (alam al-mulk) kedua lewat bashirah (hati yang dalam) jendela yang pertama digunakan oleh para ulama, sedangkan yang kedua digunakan oleh para wali. Pada akhirnya suluk yang dilakukan oleh Al-Ghazali tidak menjadikan memperoleh makrifat sebagai tujauan akhir, melainkan hanya mengantarkan pada tujuan terdekat yaitu (al-qurb) dengan Tuhan. Karena ma`rifat bukan merupakan hasil dari usaha manusia akan tetapi anugerah Allah kepada hambanya. Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan Al-Ghazali dengan para pemikir lain menggunakan dua hal untuk memperoleh pengetahuan yaitu dengan indera dan dengan batin, memperoleh pengetahuan dengan batin membutuhkan perjalanan yang panjang. Al-Ghazali memberi tuntunan hati harus dibersihkan dari sifat-sifat tercela karena sifat yang tercela akan menjadi penghalang datangnya cahaya dari Tuhan, dia menggambarkan hati ibarat cermin yang memantulkan cahaya, jika cermin itu masih kotor maka tidak akan dapat memantulkan cahaya secara sempurna atau bahkan tidak dapat memantulkan cahaya sama sekali. K. Karya-karya Al-Ghazali Al-Ghazali adalah ulama yang sangat kreatif, pemikir islam yang sangat produktif, ilmuwan muslim yang kedalaman ilmunya tidak dapat diukur lagi dan mempunyai nafas panjang dalam karangannya puluhan buku telah ditulisnya bahkan ada yang menyebutkan ratusan, hal inimenandakan bahwa Al-Ghazali adalah seorang yang multi talenta yang banyak mempunyai keahlian dalam keilmuan, yang mana inilah yang menandakan bahwa dirinya Diantara karya Al-Ghazali yang masih dapat kita baca sampai sekarang masih sangat banyak dan hal itu banyak di publikasikan. 1. Dalam bidang tasawuf • Adab al-Sufiyah • Adab fi al-Din • Al-Arba`fi al-Usuluddin • Al-Imla`fi Asykali Ihya` • Ayyuhal walad • Bidayatul Hidayah • Jawahirul Qur`an • Al-Hikmah fi mahluqatillah • Khulasu al- Tasawuf • Al-Risalah al- Laduniyah • Al-Risalah al- Wadziyah • Fatihah al-Ulm • Qawaidul Asyrah • Al-Kasyfu wa al-Tibyan • Musykilatul Anwar • Al- Dharorul Fakhriyah fi Kasyfi Ulum al-Akhirah • Minhajul Abidin ila al-Jannah • Mizan al-Amal • Nasihat al-Mulukiyah • Talbis al-Iblis • Al-Amali 2. Dalam bidang Aqidah • Al-Aujibah al-Ghazaliyah fi Masail al-Uhriwiyah • Al-Iqtishad fil I`tiqad • Al Jam`ul Awam • Al-Risalah Qudsiyah • Aqidah Ahli Sunnah • Fadhoilul Bathiniyah wal Mustadhariyah • Fishal al-Tafriqiyah Baina al-Zindiqiyah • Al-Qitas al-Mustaqim • Kimia al –Sa`adah • Al-Maqasidu al-Insy fi al-Syarkhi Asma Allah al-Husna • 3. Dalam bidang fiqh dan Ushul fiqh • Asrar al-Hajj • Al- Mustafa fi al-Ilmi Ushul • Al-Wajiz fi al-Furu` • Al- Basith • Al-Wasith • Al-Mankhul • Syifakhul `Alil fi Qiyas wa al- Ta`lil • Al-Dzari`ah ila Makarim al-Syari`ah 4. dalam bidang Mantiq dan Filsafat • Tahafut al-Falasifah • Risalah al-Thoyr • Mihk al-Nadhari fi-al Mantiq • Maqasid al-Falasifah • Al-Munqidz min Al-Dzolal • Al-Mustadhiri • Hujjatul Haq • Musfil al-Khilaf fi Ulum al-Din • Al-Muntaha fi al-ilmi al-Jidal • Al-Madhun bin `Ala Ghairi Ahlihi • Mahku al-Nadhar • Al-Qulul Jamil fi al-Raddi ala Man Ghayara al-Injil • Al-maqasidu al-Asna 5. Kelompok ilmu tafsir • Yaqut al-Ta`wil fi Tafsiri al-Tanzil • Jawahir al-Qur`an

Tidak ada komentar:

Posting Komentar