Sabtu, 16 Februari 2013

KONSEP GENDER DALAM PERKEMBANGAN STUDI ISLAM

KONSEP GENDER DALAM PERKEMBANGAN STUDI ISLAM Oleh: Tauhedi As’ad Dosen FIP-IKIP PGRI Jember Abstrak Subordinasi dan diskrimasi atas perempuan yang akhir-akhir ini marak, sebagian kalangan mulai membahas tentang bias Gender, baik dari kalangan akademisi, lembaga swadaya masyarakat, untuk menegakkan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Bias Gender disebabkan adanya kontruksi sosial, budaya, politik, dan tafsir agama yang harus ditafsirkan kembali sesuai dengan perkembangan dan isu-isu kontemporer. Konsep Gender merupakan salah satu gerakan femenisme yang diusung untuk memberdayaan perempuan dalam menuntut persamaan hak, partisipasi dalam kerja, pendidikan, kebebasan seksual maupun hak reproduksi. Diskursus gender ini tiada lain untuk melakukan transformasi sosial yang sebenarnya proses rekonstruksi peran gender dalam seluruh aspek kehidupan dimana terefleksi perbedaan-perbedaan Gender yang telah melahirkan ketidakadilan Gender. Untuk itu, penelitian ini hanya fokus pada konsep Gender dalam perkembangan pemikiran studi Islam,khususnya merekonstruksi penafsiran teks keagamaan yang cenderung teosenstris serta model penafsiran klasik yang tidak memihak terhadap perempuan sehingga terjadi ketimpangan dan ketidakadilan Gender. Metode dan pendekatan yang digunakan adalah analisis bahasa kritis untuk mengungkap dibalik wacana yang digagas oleh penafsir klasik yang di dominasi oleh penafsir laki-laki sehingga penafsirannya cenderung normatif-obsolut. Namun penelitian ini menampilkan pemikir Islam kontemporer yang eksis terhadap konsep Gender dan Femenisme, maka pemikiran studi Islam mampu memberikan pencerahan yang segar dan kritis terhadap ketidakadilan Gender sebagai transformasi sosial yang holistik. Kata Kunci: Konsep Gender, Bahasa Kritis, Transformasi Sosial. A. Pendahuluan Persoalan tentang Gender akhir-akhir ini semakin ramai digagas oleh banyak kalangan, walaupun Gender itu sendiri tidak jarang diartikan secara keliru. Gender adalah suatu istilah yang relatif baru. Diskursus Gender dalam agenda feminisme kontemporer banyak memfokuskan pada persamaan hak, partisipasi perempuan dalam kerja, pendidikan, kebebasan seksual maupun hak reproduksi. Sejak abad 17 hingga 21 perjuangan feminis telah mengalami pasang surut dan mengalami perluasan wilayah tuntutan dan agenda perjuangan yang lebih rumit lagi bahkan menuntut satu studi khusus terhadap wacana ini. Dari kubu pro dan kontra Islam diantaranya yang paling banyak mengalami sorotan dalam kaitannya terhadap status dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Hegemoni Islam terhadap perempuan di negera-negara Islam terlihat jelas dalam praktek kehidupan dipanggung kehidupan, dimana kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul, mengekspresikan kebebasan individualnya dan terkungkung oleh aturan yang sangat membatasi ruang gerak mereka bahkan suaranya-pun tidak berarti layaknya seorang warga negara serta anggota masyarakat dan hak seorang individu. Fenomena ini terlihat jelas di negara-negara ketiga yang notabene adalah negara Islam. Namun benarkah demikian? atau justru Islam yang menginspirasikan munculnya gerakan feminisme masa lalu dan menyuarakan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang hidup dalam kondisi kronis pada masa itu. Ketimpangan peran sosial berdasarkan Gender masih tetap dipertahankan dengan dalil doktrin agama. Agama dilibatkan untuk melestarikan kondisi di mana kaum perempuan tidak menganggap dirinya sejajar dengan laki-laki. Tidak mustahil dibalik "kesadaran" teologis ini terjadi manipulasi antropologis bertujuan untuk memapankan struktur patriarkhi, yang secara umum merugikan kaum perempuan dan hanya menguntungkan kelas-kelas tertentu dalam masyarakat. Kemudian tulisan ini menggunakan analisa kritis untuk mengetahui otoritas historis yang dominan yaitu dominasi tafsir laki-laki atas perempuan sehingga melahirkan bias Gender dengan atas nama agama. B. Metode dan Pendekatan. Konsep wacana secara sedarhana, bisa dipahami sebagai komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk didalamnya. Kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia sebuah organisasi atau representasi dari sebuah pengalaman individu seseorang. Menurut Badadu, wacana adalah rentetan kalimat yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi lainnya dan membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Wacana juga bisa dipahami sebagai kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di antara kalimat atau klausa dengan koherensi tinggi yang berkesinambungan, yang mempunyai awal dan akhir yang nyata, baik disampaikan secara lisan atau tertulis. Dengan demikian dapat dipahami bahwa analisis wacana bertujuan meneliti sistem dan struktur teks sekaligus dimensi-dimensi linguistik dan social-kultural dalam usaha menentukan bagaimana makna atau wacana dikonstruksikan. Menurut Hikam mencatat ada tiga model analisis wacana yang berkembang saai ini. Pertama, empiris-posistivisme. Model ini mengandaikan teks menjadi wahana penyampaian pesan penggagas kepada audiens, tetapi ia mempunyai dunia sendiri yang terpisah dari penggagas. Karena itu, kebenaran pemahaman atas teks tergantung pada hubungan teks itu dengan penggagas, melainkan logika internal bahasa itu sendiri, melalui struktur internal bahasa yang digunakan, baik aspek sinteksis maupun semantik. Kedua, fenomenologis. Berbeda dengan yang pertama, model kedua menetapkan wacana bahwa subyek sangat menentukan dalam sebuah wacana, lantaran wacana pada hakikatnya merupakan kontritisasi maksud tersembunyi dari subyek yang menyatakannya. Wacana dalam konteks ini bertujuan menciptakan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pambaca. Ketiga, pascastrukturalis atau postmodernis. Model ini menawarkan analisis wacana yang lebih kritis, yang disebut diskursus-praktis. Berbeda dari dua model sebelumnya, analisis wacana model ini melihat lebih tajam "konstelasi kekuatan yang ada dalam proses pembentukan dan produksi teks", disamping posisi subyek sebagai subyek. Teks menjadi wacana media dominasi dan kuasa. Kuasa sejalan dengan wacana dibalik subyek, dan hendaknya dapat dipahami semata-mata sebagai suatu yang bersifat menyingkirkan, melainkan produktif, kekuasaan menyusun wacana pengetahuan, benda-benda subyektifitas. Analisis gender ini, perlu adanya tinjauan konseptual dari pemikir Islam yang peduli terhadap masalah-masalah gender dengan menggunakan motode kritis transformatif, agar keluar dari diskriminasi ataupun menciptakan keadilan yang setara antara laki-laki maupun perempuan baik didalam kanca politik, budaya, sosial-keagamaan terutama cara berpikir yang cenderung normatif atas pemahaman teks keagamaan sehingga wacana tafsir tentang perempuan dipandang soburdinatif. Logika penafsiran atas gender ini dimulai dari konteks ke teks dimana teks pada saat tertentu dimunculkan, kemudian teks itu ditafsirkan kembali kedalam realitas kekinian sesuai dengan persoalan-persoalan kontemporer. Dan tidak pula, penulis menampilkan tokoh-tokoh gender kedalam pemikiran studi Islam. Metode dan pendekatan wacana kritis dengan bahasa kritis tersebut mampu memberikan pemahaman keagamaan yang kontekstual, dan serta menafsirkan kembali ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengan keadilan antara laki-laki dan perempuan. C. Pemahaman Tentang Konsep Gender Kata Gender secara etimologi berasal dari bahasa Inggris “Gender” yang berarti jenis kelamin. Pengertian ini memberi pemahaman hubungan laki-laki dengan perempuan secara anatomis. Aan Oakley ahli Sosiologi Inggris merupakan orang pertama yang melakukan pembedaan antara Gender dan seks. Perbedaan seks berarti perbedaan atas dasar ciri biologis, terutama yang menyangkut prokreasi (hamil, melahirkan, menyusui). Perbedaan Gender menurutnya adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal kepada perbedaan perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya. Didalam Women`s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Dari definisi ini Gender dalam wujud yang nyata merupakan bentuk interaksi yang sifatnya sosial antara laki-laki dan perempuan. Menurut Jill Steal, term Gender tidak ditujukan pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara biologis, tetapi merupakan hubungan ideologis dan material tentang eksistensi keduanya. Berdasarkan pada beberapa pemahaman diatas dapat dapat didefinisikan secara umum bahwa Gender merupakan konsep kultural yang membedakan antara laki-laki dan perempuan yang dipandang dari segi sosial budaya dan dapat berubah seiring dengan perkembangan zaman. Dalam budaya patriarkal, perbedaan antara laki-laki dan perempuan dipandang sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamin. Profesi perempuan seperti memasak, mengasuh anak, melayani suami dan pekerjaan lainnya merupakan konsekuensi dari jenis kelamin. Tugas perempuan seperti itu merupakan tugas abadi selama adanya keabadian jenis kelamin yang melekat pada perempuan. Pemahaman yang seperti ini muncul karena kerancuan paradigma yang membahas tentang Gender dan seks. Bahwasanya kedua hal tersebut berbeda. Sedangkan gender digunakan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan dari latar sosial dan budaya. Sementara perbedaan seks digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan secara anatomis atau biologis. Gender dapat berubah sedangkan seks adalah sifatnya biologis dan tidak mungkin diadakan perubahan yang sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau qodrat. 1. Tokoh-Tokoh Gender Gerakan Gender pada umumnya merupakan suatu gerakan yang muncul akibat dari reaksi atas ketidakadilan yang dihasilkan oleh suatu tatanan sosial yang patriarkhi. Secara umum gerakan ini di Barat terkait dengan lahirnya renaisance di Italia yang membawa fajar baru kebangkitan kesadaran masyarakat Eropa. Pada saat itu muncullah para humanis yang menghargai manusia baik laki-laki maupun perempuan sebagai individu yang bebas menggunakan akal budinya dan bebas dari pemasukan intelektual gereja. Pembebasan akal dari belenggu teologi gereja, rupanya telah berhasil menumbangkan dogma gereja dan menghasilkan revolusi ilmu pengetahuan di abad XVII dan akhirnya mendorong terlahirnya paham liberalisme dan dalam perkembangannya lebih lanjut melahirkan revolusi Prancis di akhir abad XVIII. Revolusi ini akhirnya memunculkan prahara politik demokratisasi Eropa Barat. Bersamaan dengan demokrasi politik itu kaum perempuan Eropa bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya. Ini merupakan awal mula gerakan Gender yang dipelopori oleh Mary Wollstronecraft di Inggris dengan bukunya A Vindication Of Right of Women pada tahun 1792. Melihat dari perspektif historis tersebut tampak bahwa gerakan awalnya dari barat. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa hal itu masih dianggap tabu dalam masyarakat Indonesia. Fatima Mernissi Merupakan sosok feminis Islam, menurut Mernisi ada tiga persoalan yang melanggengkan terjadinya ketidakadilan Gender. Pertama, perempuan menjadi penanggung jawab tegaknya Islam di rumah, akibatnya pendidikan perempuan sebatas pada bekal untuk membina keluarga. Kedua, dominasi laki-laki pada penafsiran teks-teks yang akhirnya penafsiran itu banyak berpihak pada kepentingan laki-laki. Berdasarkan pada penafsiran yang seperti itu akhirnya perempuan banyak dikucilkan dari pentas sosial, politik dan juga pendidikan Ketiga, legitimasi teologis yang berpihak pada laki-laki, dengan demikian laki-laki memiliki peluang yang lebih besar memegang otoritas sosial dan politik. Dengan demikian yang menjadi kritik dari mernisi adalah bangunan budaya yang tidak memberi peluang pada perempuan untuk mengaktualisasi dalam kehidupan sosial politik. Padahal proses aktualisasi adalah perkembangan atau penemuan jati diri dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Budaya Islam yang diskriminatif tersebut disadari Mernisi sebagai dari akibat teologi Islam. Ajaran teologi merupakan akibat produk berfikir dan kemudian di formulasikan dalam ruang lingkup sejarah peradaban Islam. Salah satu sumber teologi Islam adalah Hadits. Hadits misoginis sangat bertentangan dengan sejarah Rasulullah yang dalam memperlakukan perempuan penuh dengan kasih sayang dan lemah lembut serta sangat menghargai hak-hak perempuan baik dalam bidang pendidikan maupun kemasyarakatan. Dengan demikian kerangka logika Fatima Mernissi menampilkan semua alasan bahwa Rasulullah pernah bersabda seperti ini dengan sebab peristiwa yang dihadapi saat tertentu dimana teks hadist muncul. Berangkat dari asumsi diatas Mernisi melakukan penelitian dan kritik epistemologis dalam metodologi kritik Hadits. Dengan melepaskan diri dari ikatan legitimasi doktrinal dalam kritik Hadits, seperti diterimanya semua riwayat tanpa meneliti dan didahulukan sanad dari pada matan. Analisis Fatima Mernissi memperlihatkan adanya kepentingan politis dalam rangkaian sanad Hadits. Fatima Mernissi yang telah menulis buku Women and Islam menggunakan studi kitab kuning untuk menguak kabut yang menutupi fungsi kontekstual perintah sekitar jilbab dan hijab, ini merupakan suatu upaya dekonstruksi Islami yang melampaui upaya-upaya negatif kaum modernis Islam dan upaya-upaya konservatif kaum fundamentalis dan tradisionalis Islam yang marak akhir-akhir ini. Riffat Hassan Kegelisahan Riffat Hasan telah tersemai sejak kecil dilingkungan keluarga. Pada tahap ini kegelisahan Riffat tidak lebih dari sebagai kegelisahan emosional sebagai anak perempuan. Pengalaman faktual tampaknya telah memicu untuk mengkaji persoalan ketidakadilan Gender secara akademis-ilmiah. Secara akademisi, ia berkesempatan menyaksikan kondisi umat Islam dunia dan berbagai referensi tentang relasi Gender. Riffat Hasan mengalami kegelisahan akademis serta teologis ketika menyaksikan para perempuan muslim kehilangan hak-hak kemanusiaan dan keislaman mereka. Persoalan ini muncul seiring dengan kuatnya budaya patriarkhi dikalangan umat Islam. Dengan demikian sumber-sumber yang menjadi tradisi umat Islam, terutama al-Qur`an dan Hadits serta fiqh yang semuanya ditafsirkan hanya oleh laki-laki saja. Disamping subjek tafsir yang didominasi oleh laki-laki seringkali teks-teks keagamaan didekati secara harfiyah. Padahal bahasa Arab mempunyai banyak arti sesuai dengan konteksnya. Berbicara tentang akar teologis ketidak sejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam Islam setidaknya ada dua arah penting. Pertama, menyadari pengaruh Hadits terhadap kesadaran orang Islam. Kedua, mengkaji naskah karya-karya penting feminis Yahudi dan Kristen yang berusaha menggali asal-usul teologis cara pandang dan sikap anti perempuan dalam tradisi mereka. Menurut Riffat perlu diadakan kritik matan dan sanad secara lebih mendalam sebagaimana teks al-Qur`an dan teks Hadits juga harus dilacak dari aspek akar kata sampai makna kontekstualnya. Asghar Ali Enginier Asghar Ali Enginier merasa sangat sedih melihat umat Islam yang terjebak dalam kejumudan beragama. Kegelisahannya dipicu oleh kondisi sosial-politik di India yang secara politis merupakan pusat budaya Islam yang menjadi koloni Inggris. Sebagai kelompok elit dan mayoritas umat Islam dipinggirkan dalam segi politik dan ekonomi. Kegelisahan akademis Asghar menyangkut. Pertama, distorasi tradisi Hindu dalam ajaran Islam telah mengaburkan bahkan memutarbalikkan esensi Islam. Kedua, metodologi pembacaan teks keagamaan yang didominasi pembacaan normatif dan maskulin. Kegelisahan Asghar tersebut dijawab dengan merumuskan pendekatan kontekstual terhadap teks suci Islam. Hanya dengan pendekatan Gender inilah keberadaan kitab suci Islam akan tetap menjadi pegangan di era kontemporer ini. Pendekatan normatif hanya akan menyebabkan kitab suci ini ditinggalkan oleh umatnya. Karena tidak dapat memecahkan persoalan kontemporer dan justru akan melahirkan aliran yang sekuler. Menurutnya dalam al-Qur`an ada pengungkapan yang bersifat normatif dan ada yang bersifat kontekstual. Oleh karena itu penafsiran terhadap kitab suci harus mempertimbangkan pengaruh sosiologis, demikian juga dengan sunnah memiliki unsur normatif dan konstektual. Dalam konteks ini, kajian terhadap posisi perempuan sangat dipengaruhi oleh para penafsiran tekstual dan tradisi patriarkal. Dengan mengembalikan unsur kontekstual dalam menafsirkan al-Qur`an dan Sunnah maka ideal moral atau substansi teks dapat dijadikan acuan dalam mengkaji Gender. Asghar dalam gerakan Gender berawal dari reaksi emosionalnya pada penindasan kaum perempuan. Jadi kaum perempuan harus melakukan dan merumuskan teks-teks keagamaan yang berdasarkan kepada konteksnya. D. Gerakan Gender Dalam Pemikiran Studi Islam Gerakan gender ini, tentu manjadi bahan kajian khususnya didalam studi Islam, dan melakukan telaah ulang atas penafsiran agama yang cenderung diskriminatif terutama terhadap kaum perempuan. Pembahasan ini, dimulai dari nalar kritis untuk membongkar penafsiran para ulama konservatif terhadap teks keagamaan baik di tinjau dari segi sosiologis mampun teologis. Struktur sosial akan mempengaruhi cara berpikir didalam memahami teks keagamaan tanpa melibatkan kaum perempuan sehingga model tafsir tersebut cenderung sakral-final, namun dari teologis, tafsir teks keagamaan juga membawa pemahaman yang subyektif atas nama kebenaran Tuhan dan mempertahankan Status Quo 1. Konstruksi Tafsir Agama Atas Gender Feminisme merupakan gerakan kritis terhadap simbol ideologi dan kultur yang memperlakukan perempuan secara tidak adil. Feminisme hendak melakukan dekonstruksi terhadap sistem sosial yang merugikan perempuan. Agama merupakan sistem sosial menjadi sorotan tajam dari para feminis. Studi feminisme dan agama selalu melahirkan kontroversi. Sebab studi ini akan selalu melibatkan seperangkat sistem emosional yang berpengaruh langsung pada kehidupan manusia. Disatu sisi emosi keimanan sangat kuat menancap dan menjaga tradisi agama yang diwarisi dari generasi ke generasi. Disisi yang lain semangat dekonstruksi terhadap tradisi patriarkal dalam pelaksanaan ajaran agama menjadi corak pemikiran feminisme. Banyak kalangan yang menilai bahwa terdapat kecenderungan yang sama dalam semua agama tentang dominasi laki-laki atas perempuan. Tradisi tersebut telah menggiring penganut agama untuk menempatkan laki-laki diruang publik dan perempuan diruang domestik (rumah tangga). Dalam Islam pada level ajaran, hubungan laki-laki dan perempuan setara, namun pada dataran realitas sosial peran laki-laki lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Akar persoalan diskriminasi Gender dapat ditelusuri melalui dua perspektif yaitu perspektif teologis dan sosiologis. Dalam perspektif sosiologis dapat dipahami bahwa relasi Gender sebagai intitusi sosial yang terorganisasi antara laki-laki dan perempuan yang meliputi hubungan personal atau kekeluargaan sampai hubungan institusi sosial yang lebih besar seperti kelas sosial, hubungan hierarkis dalam organisasi dan struktur pekerjaan. Oleh karena pemahaman ini, Gender merupakan proses sosiologis yang dapat berubah sesuai dengan faktor-faktor pembentuknya. Tradisi patrialkal berawal dari pemahaman Gender yang tereduksi oleh otoritas pemahaman yang syarat kepentingan sistem sosial untuk mempertahankan status quo. Dalam perspektif teologis meliputi legitimasi ajaran teologis dan tradisi keagamaan. Tradisi Islam legitimasi masuk melalui wacana dinamis pembacaan teks-teks keagamaan dan wacana-wacana ini masuk pada tradisi penafsiran dan periwayatan Hadits. Misalnya dalam al-Qur`an sendiri pada surat an-Nisa ayat 34. Dalam menafsirkan ayat ini, para mufassir menyatakan bahwa tugas “laki-laki adalah memimpin kaum perempuan” sebagaimana pemimpin memimpin rakyatnya yang dalam memimpin pasti ada perintah dan larangan atau semacamnya. Begitu pula dalam periwayatan Hadits kaum feminis mensinyalir adanya beberapa teks Hadits yang diperlu di kaji ulang. Diantaranya adalah Hadits-Hadits yang menyatakan bahwa perempuan adalah sebagai sumber bencana, perempuan adalah makhluk yang pelupa, perempuan tidak boleh memimpin suatu kaum serta perempuan dapat membatalkan shalat seseorang apabila dia melintas didepan orang yang sedang shalat. Hadits yang membenci perempuan ini dalam kritik Hadits dinamakan Hadits misoginis. Gerakan feminis Islam menilai bahwa penafsiran ayat dan periwayatan Hadits misoginis ini tidak terlepas dari feodalisme kaum laki-laki. Dominasi laki-laki terhadap perempuan mempunyai pengaruh langsung dalam menafsirkan teks-teks skriptural Islam. Dalam sebuah penafsiran pengaruh psikis penafsir tidak dapat di kesampingkan. Menurut perhitungan kuantitas, kebanyakan ahli tafsir dan ahli fiqh berjenis laki-laki, padahal mereka harus menafsirkan teks-teks yang khas untuk perempuan, maka barang tentu kelelakian mereka masuk dalam penafsiran tersebut. Dengan demikian, gerakan teologi feminisme adalah gerakan pembebasan kaum perempuan dengan cara reinterpretasi baik dalam tatanan metodologis maupun makna sehingga sesuai dengan pesan moral agama yang tidak membedakan umatnya kecuali takwanya. Oleh karena itu, untuk perlu dilakukan rekontruksi tafsir ayat al-Qur`an tentang perempuan, perlu digunakan metode penafsiran yang mendekati pada maksud dan tujuan diturunkannya. 2. Bias Gender Dalam Struktur Sosial-Keagamaan Pemahaman ajaran tekstual Islam dalam masyarakat masih sangat terbatas. Sedangkan dari sisi perilaku, banyak umat Islam yang menjalankan ajaran Islam sebagai sesuatu yang bersifat pribadi, dan tidak ada pengaruhnya secara sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, mungkin juga akan sama ketika kita membahas tentang masalah Gender. Dalam sebuah organisasi keagamaan misalnya, sudah banyak sekali pembahasan mengenai peran wanita, kemajuan perempuan, kesejahteraan keluarga, akan tetapi ketika muncul wacana untuk menjadikan perempuan sebagai pemimpin dalam tubuh keorganisasian. Hal ini menjadi sebuah permasalahan yang sangat serius dan dibahas sampai pada mukhtamar dan konferensi dilakangan para aktivis sosial dan keagamaan. Banyak sejarawan mengungkapkan bahwa kedudukan perempuan dalam masyarakat pra Islam sangatlah rendah dan dianggap tidak lebih dari harga suatu komoditas. Dari berbagai uraian penggambaran kedudukan kaum perempuan yang paling menonjol adalah jika seorang suami meninggal dunia, maka saudara tua laki-laki atau saudara laki-laki lainnya mendapat waris untuk memiliki jandanya, bahkan kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup adalah praktik yang sangat merendahkan perempuan pada masa pra Islam. Ini hanya sekelumit gambaran perempuan yang ada pada sebuah kebiasaan tradisi dan masih banyak contoh yang lain. Bias Gender dalam Islam masih ada kaitannya dengan kebudayaan Arab pra Islam. Misalnya, mengapa al-Qur`an seolah-olah menempatkan kedudukan laki-laki atas perempuan. Asghar Ali Enginer mengusulkan bahwa dalam memahami ayat itu hendaknya dipahami sebagai deskripsi keadaan struktural dan norma sosial masyarakat yang ada pada waktu itu, dan bukan sebagai norma ajaran. Lebih lanjut al-Qur`an menegaskan bahwa kedudukan antara suami dan istri adalah sejajar. Untuk lebih memahami kedudukan perempuan kita dianjurkan untuk memahami ayat ini. Jadi surat an-Nisa`ayat 35 yang mengangkat hakim dalam menyelesaikan perselisihan tersebut diturunkan dengan semangat untuk mengurangi kekerasan terhadap kaum perempuan dan bukan menegaskan superioritas kaum laki-laki atas perempuan. Perlu diketahui bahwa tafsir agama erat kaitannya dengan kondisi sosial, aspek ekonomi, politik dan kultural dan juga ideologi. Semuanya itu saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya. Diperlukan kajian kritis guna mengakhiri bias dan dominasi dalam penafsiran agama. Maka diperlukan proses kolektif dengan mengkombinasikan studi, investigasi, analisis sosial, pendidikan serta aksi untuk membahas isu-isu perempuan. Hal ini termasuk memberikan semangat dan perlawanan kepada kaum perempuan guna mengembangkan tafsiran agama yang tidak bias laki-laki. oreintasinya adalah untuk menciptakan perimbangan dan perbuatan radikal dengan menempatkan perempuan sebagai pusat perubahan. Proses ini termasuk menciptakan kemungkinan bagi kaum perempuan untuk membuat, mengontrol dan menggunakan pengetahuannya sendiri. Usaha inilah yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran kritis menuju transformasi sosial khususnya bagi kaum perempuan. Gerakan Gender ini, upaya mempercepat transformasi sosial secara luas dan menyeluruh dikalangan masyarakat banyak. Penulis menampilkan kategori tafsir yang digagas oleh Amina Wadud dan berhubungan dengan gerakan feminisme yang memfokuskan pada isu-isu Gender. Amina Wadud menyatakan bahwa tidak ada metode penafsiran al-Quran yang benar-benar obyektif, setiap penafsiran selalu menetapkan beberapa pilihan subyektif. Maka menurutnya tafsir tentang perempuan dalam al-Quran di kelompokkan menjadi tiga kategori yaitu tafsir tradisional, reaktif dan holistik. Kategori pertama, Tafsir Tradisonal, yaitu yang menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan menafsirnya, seperti Hukum (fiqh), Nahwu, Sharraf, Sejarah, Tasawuf dan lain sebagainya. Model tafsir semacam ini lebih bersifat aksiomatik. Artinya penafsiran itu dilakukan ayat per-ayat dan tidak tematik, sehingga pembahasannya menjadi parsial, dan tidak ada upaya untuk mendiskusikan tema-tema tertentu menurut al-Quran itu sendiri. Kegelisahan Amina Wadud mengenai karya-karya tafsir tradisional adalah bahwa semuanya ditulis oleh laki-laki dan pengalaman laki-laki di libatkan dalam penafsiran. Sementara, perempuan ditiadakan atau di tafsirkan menurut visi, perspektif, kehendak atau kebutuhan laki-laki. Kategori kedua, Tafsir Reaktif yaitu yang berisi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-Quran. Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis, tapi tanpa di barengi dengan analisis yang komprehensif terhadap ayat-ayat yang bersangkutan. Dengan demikian, meskipun semangat yang dibawanya adalah pembebasan, namun tidak terlihat hubungannya dengan sumber ideologi dan teologi Islam yakni al-Quran. Dengan kategori tafsir reaktif tersebut, banyak perempuan atau orang yang menentang kuat pesan al-Quran. Mereka menggunakan status perempuan yang lemah dalam masyarakat muslim sebagai pembenaran atas reaksi mereka. Kategori ketiga, Tafsir Holistik yaitu tafsir menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengkaitkan dengan berbagai persoalan-persoalan sosial, moral ekonomi, politik, termasuk isu-isu perempuan yang muncul di era modern. Dan di sinilah posisi Amina Wadud dalam upaya menafsirkan ulang atas metode tafsir al-Quran yang relatif baru dan belum ada kajian substansial yang secara khusus membahas isu perempuan dari sudut pandang keseluruhan al-Quran dan prinsip-prinsip utamanya. Amina wadud menggagas pembacaan al-Quran berdasarkan pengalaman perempuan dan tanpa melibatkan stereotipe yang sudah menjadi kerangka penafsiran laki-laki. 3. Gerakan Gender Sebagai Agenda ke Depan Dari uraian sebelumnya kita bisa mengatakan bahwa memperjuangkan perbaikan posisi dan kondisi kaum perempuan tidak sama dengan perjuangan kaum perempuan melawan laki-laki. Oleh karenanya, persoalan penindasan perempuan bukan datang dari laki-laki saja, melainkan persoalan sistem dan struktur ketidak adilan masyarakat dan salah satunya adalah ketidak adilan Gender. Gerakan kaum perempuan adalah gerakan transformasi sosial yaitu sebuah proses gerakan untuk menciptakan hubungan antar sesama manusia secara fundamental baru yang lebih baik dan lebih adil. Dengan kata lain proses transformasi sesungguhnya bisa dinamakan dengan proses demokratisasi. Demokratisasi akan terjadi jika masyarakat sendiri mengidamkan, mencita-citakan dan memenangkan perjuangannya. Gender adalah gerakan transformasi sosial lebih merupakan gerakan pembebasan perempuan dan laki-laki dari sistem yang tidak adil. Maka transformasi Gender adalah upaya liberalisasi dari segala bentuk penindasan baik secara struktural, personal, kelas warna kulit maupun ekonomi internasional. Dengan demikian, sesungguhnya gerakan feminisme bukan gerakan yang semata-mata menyerang laki-laki tetapi semata-mata merupakan perlawanan terhadap sistem yang tidak adil serta citra patrialkal bahwa perempuan itu adalah pasif, tergantung dan inferior, sehingga gerakan Gender merupakan proses penghapusan atau penyingkiran segala bentuk ketidak adilan, penindasan, dominasi dan diskriminasi. Artinya, bias Gender yang dilakukan oleh kaum laki-laki atas perempuan tiada lain, kaum perempuan menuntut haknya yang sama sebagaimana kaum laki-laki. Usaha yang terus dilakukan oleh kelompok pembaharuan pemikiran Islam khususnya bagi kalangan perempuan yang kritis untuk memperbaiki dan memberdayakannya dengan cara menyadarkan kaum laki-laki. Jelas sekali, bahwa gerakan Gender mempunyai arah tujuan yang tidak hanya memperbaiki status perempuan melainkan suatu usaha untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan sehingga dapat memaksimalkan perannya secara maksimal yang pada akhirnya perempuan dan laki-laki dapat saling melengkapi. Dengan pandangan diatas, maka proses kesadaran baik laki-laki maupun perempuan akan menciptakan keharmonisan secara integral untuk memainkan perannya didalam kehidupan sosial sehingga strata sosial tidak akan ada dominasi baik secara superior maupun inferior. Kritik sistem sosial yang mengakibatkan ereksi yang tidak kunjung usai, maka konsep Gender sebagai sarana solusi sosial untuk keluar dari hegemonik yang dilakukan oleh otoritas pemahaman tafsir oleh penafsir yang bercorak teologis maupun bercorak sosiologis. Oleh karenanya, pemahaman gender dan feminisme menjadi gerakan transformasi sosial atau kesadaran struktur sosial secara keseluruhan. Didalam konteks ke Indonesiaan, laki-laki dan perempauan memposisikan sejajar dalam struktur sosial masih menyisahkan problematik, disebabkan adanya dominasi struktur sosial dari dominasi laki-laki atas perempuan. Gerakan perempuan mulai marak dan pusat perhatiannya dalam gerakan publik, baik politik, ekonomi, agama dan kebudayaan yang layak menjadi pembicaraan didalam media massa sehingga mampu menggugah dan mewarnai kesadaran masyarakat pada umumnya. Walaupun gerakan Feminisme dan isu-isu Gender di Indonesia mulai sejak tahun 60-an mulai terdengar, tapi pada tahun 70-an gerakan mulai tampak sejumlah aktifis melalui gerakan LSM. Menurut Mansour Fakih perkembangan gerakan dan feminisme pada tahun 1975-1985 mengalami dua tahapan dasawarsa, tahapan pertama adalah pelecehan. Selama tahun 1975-1985 hampir semua aktivis LSM menggangap masalah gender bukan menjadi masalah penting, bahkan banyak yang melakukan pelecehan. Umumnya mereka tidak menggunakan analisis Gender, sehingga reaksi terhadap masalah itu sendiri menimbulkan konflik antar aktivis perempuan dan lainnya. Perlawanan terhadap perempuan di kalangan aktivis mengambil bentuk bermacam-macam khususnya dengan penjinakan demi kelancaran projek dari agenda utama program organisasi yang bersangkutan. Tahapan kedua, adalah 1985-1995. Dasawarsa tersebut pada dasarnya merupakan dasawarsa pengenalan dan pemahaman dasar tentang apa yang di maksud analisis Gender dan mengapa gender menjadi masalah pembangunan. Banyak orang meganggap bahwa masa pengenalan analisis Gender tersebut erat kaitannya dengan kuatnya kebijakan lembaga-lembaga donor-donor tentang masalah tersebut. Banyak indikasi yang menunjukkan bahwa penerimaan tersebut lebih merupakan formalitas belaka, reaksi mereka lebih kepada pendekatan kuntitatif, tanpa analisis yang mendalam, kemudian membawa hasil, di mana isu Gender dan isu perempuan tidak lagi di lecehkan. Dengan demikian, pentingnya pengembangan dan pelatihan tentang studi gender terutama mendalami buku-buku yang banyak dibahas di Perguruan Tinggi maupun LSM. Sedangkan tokoh-tokoh yang telah populer dikalangan pemikir Islam seperti Fatima Mernissi, Riffat Hasan, dan Asghar Ali Engineer, Nawal el Sadawi. Konsep-konsep tersebut banyak dijadikan bahan penelitian khususnya di dunia Akademik atau di Perguruan Tinggi Islam yang terus-menerus di tafsirkan kembali terhadap konsep gender dalam studi pemikiran Islam sesuai dengan perkembangan dan isu-isu kontemporer. E. Kesimpulan Relasi Gender dengan agama seringkali memunculkan perbedaan pemahaman khususnya bagi penafsiran tentang laki-laki dan perempuan baik penafsiran secara normatif maupun historis sehingga tidak menemukan titik temu. Pemahaman Gender merupakan fungsi peran dengan pemahaman jenis kelamin khususnya ditujukan kepada laki-laki dan perempuan. Sedangkan gerakan feminisme menuntut keadilan dari pemahaman yang melagengkan status laki-laki dengan penuh kepentingan ideologis baik secara teologis maupun sosialogis, sementara sebagian pemahaman keagamaan sebagai ajaran normatif seringkali menafsirkan gender secara biologis sehingga mempengaruhi kepada pemahaman tentang jenis kelamin. Akan tetapi, konsep Gender seharusnya mengacu kepada pemahaman tentang potensi yang bersifat konstruktif baik laki-laki maupun perempuan sesuai dengan seting sosialnya masing-masing. Gerakan inilah yang akan membebaskan kaum perempuan dari pasungan laki-laki dan mampu memberikan solusi sosial sebagai jalan transformatif serta mampu mewarnai nilai-nilai kemanusiaan. Pada satu sisi, bias Gender yang diakibatkan oleh pengaruh pemahaman diskriminatif dan superior yang didominasi oleh laki-laki semata, maka akan melahirkan pemahaman yang menindas baik secara psikologis maupun fungsi peran sosial sehingga peran gender seakan-akan naturalistik. Dominasi fungsi peran lahir dari masyarakat patrialkan yang cendrung dilakukan oleh sistem kekuasaan budaya setempat khususnya dipegang oleh kaum laki-laki. Sedangkan pada sisi lain, otoritas penafsiran agama yang cenderung inferior dan tidak memihak atas kebersamaan bagi kaum perempuan sehingga kaum perempuan tidak berdaya baik dalam lingkup ruang publik, dan hanya kaum perempuan dikategorikan pada wilayah domestik belaka. Sementara banyak para pembaharuan pemikiran perempuan untuk mengkritik terhadap otoritas penafsiran agama yang tidak holistik yaitu dari kelompok feminisme untuk melakukan dan merumuskan kembali atas teks misoginis yang cenderung membenci perempuan. Oleh karena itu, gerakan Gender menuntut hak yang sama sebagaimana kaum laki-laki, dengan penuh bias ketidakadilan untuk menegakkan kesetaraan Gender sehingga gerakan tersebut mempunyai fungsi peran yang sama antara keduanya. DAFTAR PUSTAKA Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci Dengan Semangat Keadilan, (Jakarta: Searambi, 2006) Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008) Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan (Yogyakarta: Safria Insani Pers, 2004) _____________, Teori Interpretasi Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis-Hermeneutis, (Yogyakarta: LKiS, 2009) Asghar Ali Enginer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LkiS, 2007) Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. (Bandung: al-Jumanatul ‘Ali- ART, 2007) Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2001) Fatima Mernisi, Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan (Terj), (Bandung: Mizan, 1994) Hamka Hasan, Tafsir Gender, (Jakarta: Litbang RI, 2009) Istabsyaroh, Hak-Hak Perempuan, (Jakarta: Teraju, 2004) John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1983) Kadarusman, Agama, Relasi Gender Dan Feminisme, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005) Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, (Jakarta: Serambi Ilmu, 2004) Mansour Fakih, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Marianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips, Analisis Wacana Agama Teori & Metode, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007). Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan (Yogyakarta: LkiS, 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar