DISKURSUS PERGESERAN STUDI ISLAM:
MELACAK TIRANI PARADIGMA KEISLAMAN KLASIK
Tauhedi As’ad
(Dosen FIP-IKIP PGRI Jember)
Email: tauhediasad@yahoo.co.id
Abstrak
Kajian ilmu-ilmu keIslaman klasik dan kontemporer sangat diminati dan dibahas dari kalangan perguruan tinggi Islam maupun di lembaga keagamaan. Sedangkan di dunia Barat mulai banyak belajar tentang perkembangan studi Islam (Islamic studies) dengan pendekatan multidisipliner, sementara di negara mayoritas muslim mulai sadar akan pudarnya dan merosotnya semangat mencari ilmu pengetahuan sehingga kehilangan nalar kritis secara ilmiah. Sebagian umat Islam mendukung dan mempertahankan tradisi lama yang berkutat pada teks semata sehingga pemahaman Islam menggunakan pendekatan tekstualis, pada sisi yang lain sebagian pendukung umat Islam menggunakan pendekatan historis dengan pisau analisis ilmu-ilmu filsafat dan sosial-humaniora, maka pola-pola pendekatan kedua bercorak kontekstualis. Namun paradigma pendekatan keduanya masih bersikap kaku dan tegang yang saling mempertahankan ideologinya masing-masing. Ketegangan paradigma kedua tersebut tidak cocok dalam perkembangan kontemporer sehingga studi Islam mengalami krisis dan anomali ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, bergesernya metode studi Islam disini mencoba menggunakan pendekatan sosiologi pengetahuan yaitu pengalaman dalam memperoleh pengetahuan tidak lepas dipengaruhi oleh setting sosialnya, maka teori sosiologi pengetahuan yang digunakannya sangat relevan untuk melacak tiranik paradigma yang terjadi dalam sejarah masa lampau yaitu tirani paradigma ilmu kalam, tirani paradigma filsafat Islam dan tirani paradigma ilmu tasawuf, dan ketiga tirani paradigma tersebut tidak lepas dari perselingkuhan dan di intervensi oleh politik penguasa.
Kata kunci: Pergeseran studi Islam, Metode dan Pendekatan, Tirani Paradigma.
A. PENDAHULUAN
Para sarjana muslim mulai berani membangun paradigma baru dalam studi ilmu-ilmu keIslaman untuk berupaya menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi saat ini, baik mengenai isu-isu Pluralisme, Demokrasi, Peran Gender dan Hak Asasi Manusia (HAM). Rumusan ini diawali adanya bahwa ilmu-ilmu keIslaman sedang mengalami krisis ilmu pengetahuan karena adanya relasi tirani ilmiah dari penguasa politik sehingga pemikiran Islam mengalami stagnasi pemikiran sepanjang sejarah. Krisis ilmu-ilmu keIslaman yang melanda dunia Islam disebabkan adanya transfer ilmu pengetahuan secara pasif tanpa di imbangi dengan nalar kritis ilmiah untuk membenahi persoalan pokok yang terjadi di masyarakat, khususnya bagi kalangan umat Islam.
Perkembangan pemikiran Islam sejak Islam klasik sampai kontemporer masih menyisahkan problem ideologi pragmatis dan sistem keyakinan statis yang bercorak teologis transenden kearah kekuasaan politik Islam sehingga Islam cenderung dijadikan kepentingan sesaat baik dari kalangan agamawan, pejabat penguasa, pihak akademisi dan ilmuan. Dan hampir di negara-negara mayoritas Muslim seringkali terjadi truth klaim dan mengkafirkan sesama Muslim, bahkan konflik horisontal dan kekerasan kemanusiaan semakin subur menyulut, akhirnya pemikiran studi Islam mengalami kemandekan secara alamiah.
Barangkali inilah yang menjadi pokok persoalan yang muncul dalam pemikiran Islam untuk dirumuskan ulang terhadap ilmu-ilmu Islam normatif kedalam pemikiran Islam historis dengan perangkat ilmu pengetahuan kontemporer sebagai pisau analisis dan pendekatan yang relevan dalam konteks kekinian. Salah satu yang harus di rumuskan paradigma pemikiran Islam adalah epistemologi ilmu kalam, filsafat Islam dan ilmu tasawuf. Mengapa pemikiran studi Islam harus dirumuskan kembali dengan perangkat ilmu pengetahuan kontemporer dan menggunakan metode tertentu yang sesuai dengan persoalan sekarang? Sebab adanya metodologi yang digunakan nanti akan menemukan pergeseran paradigma ilmiah yang didukung oleh penguasa umat Islam.
Pijakan asumsi dasar ini sangat menarik untuk dikaji ulang di Perguruan Tinggi Agama Islam khususnya dalam garapan ilmu-ilmu agama yang seharusnya digeser kedalam paradigma baru yaitu integrasi ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, caranya harus ada pemilahan wilayah-wilayah Islam sebagai ajaran normatif, sakral, transenden dan Islam sebagai ajaran historis, interpretasi dan relatif dengan memasukkan alat ilmu-ilmu sosial-humaniora dan ilmu alam sains sehingga melahirkan interkoneksitas ilmu pengetahuan. Ketegangan paradigma lama harus dihapus dan mengembalikan ilmu-ilmu pengetahuan kedalam struktur berpikir ilmiah yang berorientasi kemanusiaan.
B. PERKEMBANGAN METODE STUDI ISLAM
Kemajuan dan kebangkitan umat Islam di seluruh negara baik negara yang penduduknya mayoritas Muslim maupun negara yang penduduknya minoritas Muslim mulai mengkaji ulang dan meneliti kembali secara serius terhadap perkembangan studi Islam sesuai dengan kawasan dan kebudayaan-sosialnya masing-masing. Bagi kalangan akademisi di Perguruan Tinggi Agama Islam telah memasuki gerbang pergulatan pemikiran Islam kontemporer dengan masuknya Global-Informasi dan Islam Trans Nasional di berbagai negara-negara sehingga berimplikasi terhadap perkembangan Islam di Indonesia khususnya mengenai pokok bahasan yaitu Islam sebagai turats dan Islam sebagai tajdid (tradisi dan pembaharuan) yang bersentuhan dengan modernitas.
Oleh karenanya, Perguruan Tinggi Agama Islam di tanah air kita mulai menyadari akan perkembangan dunia saat ini, maka pemikiran studi Islam harus merekonstruksi ulang sesuai dengan kebutuhan zamannya. Sejak abad ke-20, kajian metodologi studi Islam mulai mendapatkan perhatian yang serius, bahkan dimasukkan kedalam materi Mata Kuliah Umum (MKU) yang wajib diikuti oleh mahasiswa dari semua jenjang Fakultas dan Jurusan dikalangan STAIN dan IAIN sejak di berlakukannya kurikulum IAIN pada Tahun 1997. Saat itulah mahasiswa bahkan dosen yang merasa bahwa metodologi studi Islam adalah Mata Kuliah yang benar-benar baru dan memperdalami ulang serta mengkaji kembali perkembangan paradigma metodologi studi Islam klasik.
Metodologi studi Islam mampu memberi kontribusi yang nyata terhadap kesejahteraan umat Islam di seluruh dunia. Umat Islam yang telah diberi anugerah kekayaan alam yang lebih melimpah dari umat lain dan diberi anugerah al-Quran, peta kehidupan yang terjamin keasliannya mestinya menjadi umat yang maju dan sejahtera. Namun fakta berbicara lain, umat Islam terbelakang akibat terjebak pada konflik yang hanya disebabkan oleh perbedaan pemahaman keagamaan, aliran politik dan kepicikan berpikir. Metodologi studi Islam memiliki peran yang strategis dalam menguak kebenaran ajaran agama dan memberi dorongan kepada pemeluk Islam untuk menerapkan nilai-nilai dan norma-norma Islam dalam kehidupan sehari-hari.
C. METODE DAN PENDEKATAN
Hubungan antara metode dan metodologi sangat berbeda. Metodologi berasal dari tiga kata Yunani, meta, hetodos, dan logos. Meta berarti menuju, melalui, dan mengikuti. Hetodos berarti jalan atau cara. Maka metode adalah jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai sesuatu. Metode merupakan langkah-langkah praksis dan sistematis yang ada dalam ilmu-ilmu tertentu yang sudah tidak dipertanyakan lagi karena sudah bersifat aplikatif. Metode dalam suatu ilmu dianggap sudah bisa mengantarkan seseorang mencapai kebenaran dalam ilmu tersebut. Oleh karena itu, ia sudah tidak diperdebatkan lagi karena sudah disepakati oleh komunitas ilmuan dalam bidang ilmu tersebut.
Jika metode dikaitkan dengan kata logos maka maknanya berubah. Logos berarti studi tentang atau teori tentang. Jadi metodologi tidak hanya membahas kumpulan cara garapan yang sudah diterima melainkan mengkaji tentang metode, dan metodologi membicarakan kajian tentang cara garapan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, metode tidak ada perdebatan, refleksi dan kajian atas cara garapan ilmu pengetahuan, sebaliknya dalam metodologi membuka luas untuk dibahas, dikaji, mendebat dan merefleksikan cara-cara garapan suatu ilmu pengetahuan. Maka metodologi menjadi bagian dari sistematika filsafat kecuali sedang metode tidak.
Lalu bagaimana relasinya antara metodologi dan metode dengan studi Islam? Keduanya sama-sama benar, tergantung maksud dan tujuan dalam menggunakan istilah tersebut. Istilah metodologi studi Islam digunakan dalam membahas seputar banyaknya metode yang bisa digunakan kedalam studi Islam. Dalam studi Islam, kajian tentang metode-metode studi Islam pernah ada merupakan metodologi. Sebut saja misalnya kajian atas metode normatif, historis, gabungan filosofis, fenomenologis, sosiologis, dan komparatif. Metodologi studi Islam mengenalkan metode-metode tersebut sebatas teoritis, sedangkan metode cara yang di gunakan secara praktis.
Berbeda dengan metodologi studi Islam, istilah metode studi Islam digunakan ketika seseorang telah menetapkan sebuah metode atau tata cara dan akan menggunakannya secara konsisten dalam kajian keIslamannya. Oleh karena itu, metode studi Islam merupakan aplikasi seseorang dari salah satu metode yang telah dipilihnya dalam mengkaji Islam. Metode Islam tidak lagi mengandung kajian ulang, perdebatan, refleksi seputar metode yang hendak digunakannya. Ia cukup menerima dan menggunakannya secara konsisten, sementara metodologi studi Islam sangat teoritis dan dapat diperdebatkan sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu. Perbedaan inilah seringkali ada kesalahan dalam pengkajian Islam dengan menggunakan metodologi atau metode yang digunakannya.
Selain relasi metodologi dengan metode yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis sekilas menjelaskan seputar perbedaan antara metode dengan pendekatan. Perbedaan keduannya memang tipis. Sedangkan metode merupakan cara mengerjakan sesuatu, sementara pendekatan adalah cara memperlakukan sesuatu. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada perlakuan terhadap obyek. Metode cenderung menganggap sebuah obyek sebagai entitas pasif, pendekatan cenderung menganggap sebuah entitas yang aktif. Ketika kita ingin mengkaji Islam dan menganggapnya sebagai sebuah entitas aktif dan dinamis, maka sesungguhnya ia sedang melakukan pendekatan terhadap Islam. Namun bila kita memperlakukan Islam sebagai sesuatu yang statis, maka kita sedang menggunakan suatu metode terhadap Islam.
Tulisan ini memperlakukan Islam merupakan sebuah entitas yang aktif dan dinamis khususnya dalam pengembangan studi Islam dengan pendekatan atau cara pandang sosiologi pengetahuan. Oleh karena itu, karya ini menawarkan pendekatan atas Islam, sedang pendekatan sosiologi pengetahuan yang digunakan sebagai mendekati atas Islam sehingga studi Islam akan melahirkan corak dan perkembangan ilmu-ilmu Islam secara dinamis dan kritis sesuai dengan kebutuhan zamannya. Inilah ilmu-ilmu keIslaman yang harus diteliti oleh kalangan akademisi Perguruan Tinggi Agama Islam sebagaimana Mukti Ali untuk mengembangkan metode dan pendekatan terhadap studi Islam dengan cara menggunakan metode Barat yang telah berkembang serta tidak dengan pendekatan doktriner.
Oleh karena itu, dalam karya buku ini, pembahasan paradigma studi Islam banyak dikembangkan oleh para pemikir Islam klasik dengan cara menggunakan sosiologi pengetahuan. Artinya pergeseran paradigma tersebut yang digunakan kedalam studi Islam klasik yaitu pendekatan sosiologi pengetahuan. Kiranya tepat sekali didalam kajian studi Islam mengenai epistemologi ilmu pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman para pemikir Islam dimana dia hidup sehingga ilmu pengetahuan yang di peroleh berdasarkan pada gesekan ruang dan waktu. Maka kajian studi Islam ini secara sosiologis-historis akan memaparkan pergeseran paradigma dan struktur pemikiran yang dipengaruhi oleh realitas dengan bahasan epistemologis dan paradigma metodologi ilmu kalam, filsafat Islam, ushul fiqh dan ilmu tasawuf.
D. TIRANI PARADIGMA KEISLAMAN KLASIK
Bergesernya paradigma ilmu keIslaman pada masa lampau tidak lepas dari realitas sosial yang mempengaruhinya. Sejak peradaban Islam pada abad IX M tidak lepas dari prestasi ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh umat Islam pada waktu itu. Sebaliknya pudarnya peradaban Islam pada abad XIII M juga disebabkan oleh melemahnya dinamika ilmiah dan semangat keilmuan yang diderita oleh umat Islam pada masa lampau. Oleh karena itulah, untuk membangkitkan peradaban Islam yang sedang terpuruk seperti sekarang, maka umat Islam khususnya kalangan ilmuwan memulai kembali untuk semangat meningkatkan studi keilmuan dan dinamika ilmu pengetahuan secara mutlak dilaksanakan di segala aspek.
Semangat mencari ilmu pengetahuan telah dianjurkan risalah kenabian Muhammad merupakan dasar yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Inilah yang dipegang teguh oleh umat Islam pada masa awal, dan risalah kenabian Muhammad turun pada abad VII M, umat Islam bangkit secara ilmiah dengan melakukan upaya-upaya kreatif terhadap sistem keyakinan dan sistem kehidupan mereka. Semangat inilah yang akhirnya melahirkan manusia besar dan bijak seperti Umar bin Khattab, Imam Hanafi, Imam Syafi’i. Pada abad VIII umat Islam lebih semangat untuk mempelajari ilmu pengetahuan ke Negara Yunani dengan jalan penerjemahan buku-buku Yunani tersebut, akhirnya menghasilkan pemikir-ilmuwaan kaliber dunia di masa kejayaan Islam seperti al-Kindi (806-873), ar-Razi (865-925), al-Farabi (870-950), Ibnu Sina (980-1037), dan Ibnu Rusyd (1126-1198). Merekalah sebagai tonggak masa awal dalam kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan di zaman kejayaan Islam.
Pada perkembangannya, kira-kira memasuki abad XIII M para Ilmuwan-pemikir besar di dunia Islam menjadi semakin langka yang berimplikasi buruk bagi perkembangan ilmu pengetahuan di tubuh umat Islam. Walaupun muncul beberapa cerdik cendikia namun kualitasnya sulit bisa dikatakan setingkat dengan pendahulu mereka. Fakta ini diperparah oleh perseteruan yang panjang antara pendukung ilmu-ilmu Arab Islam dengan para pendukung ilmu-ilmu kuno. Para pendukung ilmu jenis pertama sering menghalangi upaya kreatif pendukung ilmu yang kedua. Dan para pendukung ilmu jenis kedua ternyata juga tidak tangguh generasi-generasi pendahulunya sebagaimana al-Farabi dan Ibnu Sina.
Jika dibandingkan dengan tradisi keilmuan Barat, maka tradisi keilmuan Islam memang tidak banyak mengalami pergeseran paradigma seperti yang di teorikan oleh Thomas S Kunh. Karena minimnya pergeseran paradigma itulah yang diduga menyebabkan umat Islam tidak banyak melahirkan ilmu-ilmu baru, seperti yang dihasilkan oleh Barat. Grafik paling tinggi pergeseran paradigma dalam tubuh umat Islam terjadi pada zaman kejayaan peradaban Islam yaitu antara abad IX M hingga pertengahan abad XIII M. Jatuhnya Bahgdad ke tentara Mongol pada tahun 1258 M tanda bagi mundurnya semangat eksplorasi ilmiah Umat Islam. Dengan pudarnya peradaban Islam tersebut mengalami pergeseran paradigma yang disebabkan intervensi dengan politik kekuasaan.
Pada masa selanjutnya, pergeseran paradigma yang terjadi dalam tradisi keilmuan Islam berlangsung lamban, karena hingga saat ini pergeseran paradigma yang terjadi pada cabang-cabang ilmu tertentu seperti ilmu kalam, ilmu fikih, dan tasawuf belum menghasilkan konsensus tentang paradigma mana yang dianggap sebagai paradigma terkuat. Kemalasan berpikir umat Islam, umat Islam cenderung untuk mengabaikan pencarian tuntas paradigma baru dan lebih suka memilih paradigma pengulangan. Akibatnya umat Islam terpecah menjadi penganut-penganut mazhab berpikir yang berbeda-beda dan menjadi terkotak-kotak yang tidak saling menyapa. Komunitas-komunitas dan aliran-aliran Islam tersebut dalam perkembangannya berubah wujud menjadi sekte-sekte keagamaan yang kaku dan menutup pintu dialogis secara kritis-ilmiah.
Maka alangkah baiknya, kajian ini akan mengulas pemikiran dengan realitas yang mengakibatkan perang dan ketegangan paradigma ilmu-ilmu keIslaman yang terdiri dari gugus pengetahuan yakni, bayani, irfani dan burhani. Ketiga gugus ini seringkali intervensi dengan politik kekuasaan dalam proses paradigma. Contoh kasus dibunuhnya al-Hallaj, Abu Yazid al-Busthami, Syeh Siti Jenar dimasa lalu dan Mahmud Muhammad Taha (Sudan, 1910-1985) dimasa Modern, oleh para ulama yang di back-up oleh penguasa pada waktu itu. Selain itu, peristiwa mihnah yang terjadi pada masa khalifah al-Makmun juga memperkuat fenomena ini. Paradigma Muktazilah dipaksakan kepada masyarakat dengan kekuatan politik bukan dengan persaingan ilmiah-rasional.
1. Tirani Paradigma Ilmu Kalam
Pertarungan paradigma ilmiah ilmu kalam, penulis akan memaparkan secara singkat terhadap lahirnya paradigma ilmu kalam baik secara epistemologis-historis dan intervensi paradigma politik penguasa. Lahirnya benih-benih persoalan ilmu kalam muncul sejak era Bani Umayyah (661-750 M), namun sebagai ilmu tersendiri, ilmu kalam baru terbentuk pada akhir abad II H dan awal abad III H (VIII-IX M), tepatnya masa al-Makmun sebagai khalifah Bani Abbasiyah yang berkuasa (198-218 H/813-833 M), setelah ulama Muktazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Oleh karena itu, para ahli mengatakan bahwa pendiri ilmu kalam adalah kelompok Muktazilah. Melalui terjemahan kitab Yunani, mereka mempertemukan sistem filsafat dengan sistem ilmu kalam. Sejak saat itu pula dipakailah dengan sistem perkataan al-kalam untuk ilmu berdiri sendiri.
Ilmu ini dinamakan ilmu kalam karena tiga hal. Pertama, pembahasan terpenting dari ilmu ini adalah persoalan yang menjadi pembicaraan abad-abad permulaan Hijriyah, yakni firman Tuhan (kalam Tuhan) dan non azali-Nya al-Quran. Karena itu keseluruhan isinya dinamai dengan salah satu baginya yang terpenting. Kedua, dasar dari ilmu adalah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil-dalil ini tampak jelas dalam pembicaraan-pembicaraan para ahlinya. Mereka jarang kembali kepada dalil naqli (Quran dan Hadits), kecuali sesudah menerapkan kebenaran pokok persoalan terlebih dahulu. Ketiga, cara pembuktikan kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam filsafat, maka pembuktian dalam soal-soal agama ini dinamai ilmu kalam untuk membendakan dengan logika dan filsafat.
Pada perkembangannya, ilmu kalam mengalami gejala sosial dan persoalan agama yang di intervensi oleh politik kekuasaan. Tentunya untuk mengetahui pergeseran paradigma ilmu kalam ketika membaca karya-karya atau pustaka para pendahulu pada setiap aliran masing-masing. Pustaka bisa berupa kebiasaan-kebiasaan nyata, keputusan-keputusan hukum yang diterima, hasil-hasil penemuan ilmu pengetahuan yang diterima secara umum. Dalam pustaka diatas terdapat paradigma yang dianut oleh para penulisnya. Paradigma inilah yang membedakan antara suatu pandangan akidah tertentu dengan pandangan yang lain. Untuk menangkap suatu paradigma, seseorang hendaknya menggali lewat pustaka-pustaka.
Marilah kita buktikan perang paradigma yang muncul pertama kali adalah paradigma tekstualis yang dimotori oleh ahl an-Naqli yang disebut juga ahli al-Hadits atau as-Salafiyyun. Paradigma ini bersandar kuat pada wahyu dalam artian pernyataan literal al-Quran. Paradigma ini menghindarkan diri dari penggunaan argumentasi apapun termasuk argumen kaum teolog dan filosuf selain yang difirmankan Allah dalam al-Quran dan yang dijelaskan Nabi dalam Hadits. Paradigma ini juga berpijak pada hadist Nabi terutama yang melarang perbantahan dalam persoalan tentang Allah dan qadar. Paradigma ini di dominasi cara berpikir umat Islam sejak zaman Rasulullah hingga terbunuhnya Ustman bin Affan. Terutama kalangan ahli hadits, seperti Hasan Basri (guru Wasil bin Ata’), Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), dan Ahmad bin Hambal (w. 241/855) adalah eksponen utama paradigma.
Mengapa paradigma tekstualisme muncul pertamakali dalam ilmu kalam? Kemunculan paradigma ini lebih didorong oleh faktor adanya wahyu dan semangat yang tinggi untuk memahami wahyu semurni-murninya tanpa dicampur oleh logika yang lain. Oleh karena itu, metode yang dipilih saat itu adalah metode tekstualisme yang sesungguhnya merupakan wujud dari pemanfaatan logika bahasa Arab, bahasa yang digunakan wahyu. Fenomena inilah yang dilihat oleh al-Jabiri sebagai fenomena al-bayan yang telah menjadi kreasi terpenting umat Islam pada masa awal Islam. Paradigma awal Islam adalah teks sebagai pusat solusi yang bersandar kepada Nabi, kemudian berubah bentuk menjadi pola bersandar pada perkataan Nabi (al-hadits). Karena al-hadits berwujud teks, maka metode tekstualisme menjadi alternatif pertama yang berkembang luas tertutama dimotori oleh asy-Syafii sebagai sistem berpikir umat Islam masa awal Islam.
Hingga abad IV H, paradigma salaf ini sesungguhnya belum dirancang, melainkan tampak benih-benihnya pada kalangan hambalilah, para pengikut Ahmad bin Hambali. Baru pada abad VII H paradigma ini dirancang oleh Ibnu Taimiyah. Pada masa berikutnya, paradigma ini diartikulasikan kembali oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Disamping itu, tokoh gerakan pembaharuan seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, dan Rasyid Ridla dapat pula dikategorikan dalam para pemegang paradigma ini. Paradigma yang kedua dalam bidang ilmu kalam adalah paradigma rasional (al-Aqli). Paradigma ini diperankan oleh kelompok Muktazilah. Paradigma ini muncul sekitar permulaan abad ke II H atas prakarsa Wasil bin Ata’ al-Ghazzal (80-131 H/699 M), salah seorang murid Hasan Basri. Paradigma ini bermarkas di kota Basrah, pusat ilmu dan kebudayaan Islam saat itu.
Paradigma rasional Muktazilah pernah berjaya pada masa Dinasti Abbasiyyah terutama pada masa al-Makmun karena kekuasaan al-Makmun mendukung paradigma ini. Bahkan al-Makmun melakukan pemaksaan paradigma ini kepada para rakyatnya melalui tangan kekuasaannya. Akibatnya ketika kekuasaan al-Makmun melemah, paradigma ini-pun lambat tapi pasti juga akan ditinggalkan orang. Apalagi, ketika al-Mutawakkil memegang kekuasaan dan ia lebih condong ke Asy’ariyah terutama tentang persoalan keazalian al-Quran, paradigma rasional Muktazilah mengalami kemunduran yang pesat akibat tekanan al-Mutawakkil. Pada masa dinasti Buwayh (334-447 H), paradigma Muktazilah mendapat dukungan kembali dari pihak penguasa, walaupun tidak sebesar era al-Makmun.
Relasi antara paradigma Muktazilah dengan al-Makmun merupakan peristiwa yang menarik dalam sejarah pergeseran paradigma. Relasi ini menandai bahwa pertandingan paradigma dalam ilmu kalam klasik tidak berjalan secara ilmiah karena adanya intervensi politik oleh khalifah al-Makmun. Pada masa 827 M, al-Makmun menjadikan paradigma rasional Muktazilah sebagai paradigma resmi negara. Jadi kemenangan paradigma Muktazilah sebagai paradigma tunggal bagi kalam (teologi Islam) tidak dicapai berdasarkan perdebatan ilmiah tapi dipaksakan oleh otoritas politik sehingga menimbulkan pergeseran paradigma semu. Akibatnya bisa ditebak, paradigma ini tentu akan runtuh bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan politik yang menopangnya. Oleh karena itu, pada tahap berikutnya muncullah paradigma baru yang dimotori oleh Abu Hasan al-Asyari (w. 935 M) dan Abu Manshur al-Maturidi.
Setelah Muktazilah mengalami kemorosotan, paradigma moderat atau jalan tengah Asy’ariyyah muncul. Paradigma ini didirikan oleh Abdul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M), keturunan dari Musa al-Asy’ari, salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah. Paradigma ini merupakan pardigma jalan tengah antara golongan rasionalis dan golongan tekstualis. Paradigma inilah yang kemudian dikembangkan oleh para tokoh kalam kemudian, seperti al-Baqillani (w. 403/1013 M), al-Juwayni (419-478 H/1028-1085 M), al-Ghazali (450-505/1058-1111 M), dan as-Sanusi (833-395 H/1475-1490 M). Menurut Ibrahin Madkur, aliran al-Maturidiyah sudah cukup terwakili dengan aliran asy’ariyyah mengingat aliran Maturidiyah mempunyai motivasi kelahiran yang sama walaupun di dua tempat yang berbeda sehingga keduanya memiliki banyak kesamaan pandangan.
Paradigma muktazilah disokong oleh penguasa sejak al-Makmun hingga al-Watsiq, paradigma Asyariyyah berkembang juga berkat dorongan penguasa yang dimulai oleh al-Mutawakkil (847-861). Bila pada masa Sultan Tugril Beg (penguasa dinasti Saljuk, (w. 1063 M) kaum Asyariyyah di kejar-kejar olehnya, namun keadaan itu kemudian berubah pada masa Nizam al-Mulk yang kemudian menyokong sepenuhnya mazhab Asy’ari dengan mendirikan akademik Nizamiah pada tahun 1066 M. Pada tahun 408/1017 M, khalifah al-Qadir menerbitkan buku yang melarang memperbincangkan, mempelajari, dan mendiskusikan mazhab Muktazilah dengan ancaman penjara bagi yang melanggarnya. Kebijakan menumpas Muktazilah yang berlangsung pada era al-Mutawakkil ini jelas secara langsung menguntungkan Asy’ari, apalagi penguasa antara al-Qadir dan Sultan Mahmud secara rinci mendengarkan poin-poin paham Asy’ariyyah untuk diyakini masyarakat.
2. Tirani Paradigma Ilmu Tasawuf
Paradigma tasawuf diwarnai ketegangan dua paradigma, yaitu paradigma Sunni dan paradigma falsafi. Sejak abad III H (IX M), tanda-tanda munculnya dua paradigma ini telah terlihat. Masing-masing paradigma memiliki tokohnya sendiri yang mengkaji dan menjalankan tasawuf sesuai dengan paradigma yang dianutnya. Paradigma Sunni ditokohi oleh ulama Asyariyah. Paradigma sunni hanya menerima tasawuf yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Paradigma ini muncul memancangkan prinsip tasawuf yang moderat yang seiring dengan jenis ahlisunnah wal jamaah dan bertentangan dengan jenis tasawuf falsafi. Paradigma ini juga menolak prinsip wahdatul wujud (panteisme). Namun, ia masih menerima panteisme yang dipahami sebagai Allah adalah transidental dan imanen, sementara yang selainnya tidaklah demikian, sebagaimana yang dikembangkan Ibnu Arabi.
Sedangkan paradigma filosofis memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Paradigma menggunakan terminologi filosofis dalam mengungkapannya berdasarkan keragaman ajaran filsafat yang mempengaruhi tokoh-tokohnya. Paradigma ini mengedepankan perasaan cinta yang terkadang diungkapkan dalam bentuk puisi secara filosofis. Paradigma ini menyatakan adanya wahdatul wujud (kesatuan wujud mutlak), wujud hanya satu yakni Allah, panteisme, teori emanasi yakni bahwa Allah menampakkan segala sesuatu dari wujud ilmu menjadi wujud materi, hakikat Muhammad (manusia sempurna), illuminasi (al-Kasyf), dan Syathahat.
Sementara benih-benih paradigma falsafi mulai muncul pada abad III H (IX M), meskipun para tokohnya baru dikenal satu abad kemudian. Pada masa berikutnya, tasawuf jenis ini berkembang diberbagai tempat di dunia Islam. Pemaduan antara filsafat dan tasawuf yang dilakukan para tokohnya, telah membuat ajarannya tasawufnya bercampur dengan ajaran filsafat yang dianut oleh tokohnya. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf masih tidak hilang. Para sufi yang menganut paradigma ini sering dikritik karena meyakini adanya kesatuan wujud, teori qutbh, dan kesatuan agama. Memang sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun, para sufi jenis ini mengkaji empat hal: (1). Latihan ruhaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul darinya. (2). Iluminasi ataupun hakikat yang tersingkat dari alam ghaib, misalnya sifat-sifat rabbani, arsy, kursi, malaikat dan lain-lain. (3). Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh dalam berbagai bentuk kekerahmatan dan keluarbiasaan. (4). Penciptaan ungkapan yang pengertiannya samar.
Paradigma sunni jelas berbeda dengan paradigma falsafi. Jika paradigma sunni selalu beroreintasi pada sumber ajaran Islam (al-Quran dan Sunnah), maka paradigma falsafi beroreintasi pada Hermes di era Yunani kuno. Oleh karena itu paradigma ini sangat neo-Platonik atau Plotinistik dan panteistik. Para ahli fiqh termasuk Ibnu Taimiyah (w. 1328) yang begitu getol terhadap pada al-Quran dan Sunnah jelas sangat memusuhi paradigma ini. Bahkan Ibnu Taimiyah menganggap Ibnu Arabi dan Ibnu Faridh sebagai orang yang mempercayai inkarnasi penyatuan wujud. Menurutnya, mereka lebih buruk daripada orang Kristen dan kaum Syiah yang ekstrem. Ia menyamakan antara al-Hallaj yang menurutnya gila, Ibnu Faridh yang menurutnya mabuk kebahagiaan.
Jadi menurut al-Ghazali paradigma tasawuf sunni mempertegaas untuk menjauhi kecnderungan gnostis, emanasi, dan panteisme. Didasarkan keyakinan bahwa ajaran Islam tidaklah mengajarkan demikian. Bagi al-Ghazali, jika seseorang bersih hatinya, maka ia akan mendapat makrifat. Makrifat merupakan tingkatan paling tinggi dalam pengalaman mistik. Dalam kitab Ihya Ulumuddin dikatakan bahwanya kenikmatan tertinggi adalah makrifat Allah dan melihatnya yang mulia. Ia bisa memandang wajah Allah dengan mata hatinya dan dapat mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan. Orang yang seperti ini akan diberi pengetahuan-pengetahuan ghaib berupa rahasia ketuhanan itu. Makrifat yang seperti inilah yang dikedepankan oleh al-Ghazali dan diyakini oleh mayoritas pendukung paradigma sunni. Al-Ghazali menolak keras paham hulum dan ittihad yang diyakini kaum sufi falsafi.
Selama abad V H/XI M, paradigma sunni terus tumbuh, sementara paradigma filosofis disebabkan oleh semakin berjayanya Asy’arisme yang begitu didukung oleh para penguasa. Asy’arisme jelas menolak paradigma filosofis dalam tasawuf. Semangatnya yang tinggi untuk kembali pada al-Quran dan Sunnah membuat Asy’arisme memerangi kaum sufi yang beraliran filosofis. Karena Asy’arisme bersatu dengan penguasa, maka banyak tokoh sufi falsafi yang dipenjarakan dan dibunuh seperti Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, Suhrawardi al-Maqtul dan Syekh Siti Jenar. Seluruh penguasa yang mendukung Asy’arisme dengan paradigma Sunni. Di antara mereka itu adalah al-Mutawakkil, Nizham al-Mulk, Khalifah al-Qadir, dan Sultan Mahmud di Ghasnah.
Dari statemen diatas, maka dapatlah dinyatakan bahwa dalam ilmu tasawuf juga terjadi apa penulis sebagai pergeseran paradigma semu. Paradigma sunni yang sesungguhnya merupakan hasil kristalisasi dari konsep zuhud-hubb (asketik) yang ditelurkan oleh Hasan Bashri (Basrah, 642-728) dan Rabiah al-Adawiyah (Basrah, 713-801) pada abad I-II H berseteru dan bersaing dengan paradigma falsafi yang berakar pada model tasawuf al-Busthami, al-Hallaj, Ibnu Arabi, Suhrawardi al-Maqtul. Sejarah membuktikan bahwa para eksponen tasawuf falsafi itu dipenjarakan dan dibunuh yang dimotori oleh ulama dan penguasa yang menentang paradigmanya. Paradigma tasawuf sunni lebih populer seiring dengan populernya paradigma kalam Asy’ariyah yang disosialisasikan lewat lembaga pendidikan Nizhamiyah.
3. Tirani Paradigma Filsafat Islam
Ahli pakar berpandangan, bahwa filsafat Islam dan ilmu kalam adalah ilmu yang sama. Sebagian yang lain menyatakan berbeda bahwa ailmu kalam adalah bagian dari filsafat Islam. Pandangan mereka cukup beralasan mengingat sejak abad VI H/XII M antara kedua ilmu ini memang bercampur sehingga mulai menjumpai buku-buku ilmu kalam yang menggunakan pengantar filosofis tentang logika Aristoles seperti dalam buku al-mawaqif karya al-Iji. Walaupun terdapat titik singgung antara ilmu kalam dan filsafat Islam, namun sesunguhnya antara kedua ilmu ini memiliki perbedaan yang prinsip. Al-Ahwani menjelaskan bahwa paling tidak terdapat tiga perbedaan penting antara keduanya.
Pertama: ilmu kalam berasaskan pada agama, sementara filsafat hanyalah kajian atas alam dan manusia yang berasaskan akal. Dalam agama kristen persamaan ilmu kalam adalah teologi. Sementara filsafat bukanlah teologi. Itulah makanya antara keduanya berbeda baik dalam metode maupun obyek kajiannya. Metode ilmu kalam adalah dialektika (al-jadl). Sementara metode filsafat adalah bukti rasional (demontrasi) sebagaimana berjalan dalam tradisi Yunani. Obyek kajian ilmu kalam adalah Allah, sifat-sifatnya, hubungan Allah dengan alam dan manusia. Sementara obyek kajian filsafat adalah alam dan manusia.
Kedua: ilmu kalam adalah ilmu Islam yang asli dan muncul dari tradisi umat Islam sendiri dengan latar belakang era Daulah Abbasiyah (750-1258 M), ia muncul dari forum diskusi umat Islam seputar al-Quran yang merupakan kalam Allah, apakah ia Qadim atau makhluk? Sementara filsafat muncul dari tradisi Yunani dan tidak terkait dengan kalam Allah.
Ketiga: dalam sejarah kemunculannya, filsafat Islam pada akhir abad II dan awal abad III H (VIII/IX M) dengan di antara tokohnya adalah al-Kindi (801-873 M). Padahal pada saat yang sama muncul banyak tokoh lain yang lebih sering disebut mutakallimun bukan filsuf seperti an-Nazhzham, Abu Huzail al-Allaf, dan Juba’i. Ini berarti antara kedua ilmu itu memang sejak awal adalah dua hal yang berbeda. Itulah makanya, sejarah menunjukkan bahwa antara para filsuf dan mutakallimun sering berseteru seperti terlihat antara al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd. Berangkat dari berbedaan itu, maka upaya untuk menelusuri pergeseran paradigma dalam filsafat Islam sangat perlu dilakukan, sebagaimana ilmu kalam.
Pada perkembanga Filsafat Islam mempunyai dua pandangan paradigma yakni paradigma metafisika Islam dan demonstratif. Dalam kajian keIslaman, persoalan metafisika itu dibicarakan dalam dua perspektif, yakni pandangan para kaum teolog yang dibahas dalam dalam ilmu kalam dan pandangan filsuf dibahas dalam karya-karya filsafat. Bagi pandangan filsuf, manusia adalah binatang metafisik. Oleh karena itu, para filsuf besar Plato. Aristoteles, Ibnu Sina, Ibnu Rusdy, Descartes dan lain-lain telah berusaha membahas persoalan metafisik, sebagaimana yang dibahas kaum agamawan, tak terkecuali para filsuf awal Islam, seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Inilah awal mula terjadinya perang paradigma dalam metafisika Islam antara para filsuf di satu sisi dengan al-Ghazali di sisi lain sebagai wakil dari kaum teolog. Bahkan al-Ghazali menuduh para filsuf itu telah jatuh dalam lembah kekafiran terutama dalam 12 persoalan sebagaimana yang termaktub didalam karya Tahafut al-Falasifah. Maka metafisika Islam diwarnai oleh tarik menarik antara paradigma dialektik yang digunakan oleh kaum teolog dengan paradigma demonstratif yang digunakan oleh kaum filsuf. Sedangkan paradigma pertama ditokohi oleh al-Ghazali (1055-1111 M), sementara paradigma kedua ditokohi oleh Ibnu Rusdy (1126-1198 M). Paradigma dialektik menekankan metode dialektis (tanya jawab) yang rasional, mengabaikan pengamatan empiris, dan mengedepankan argumentasi wahyu sebagaimana terlihat dalam ilmu kalam. Paradigma demonstratif berisi pembuktian atas segala bentuk penalaran rasional berdasarkan pengamatan empiris dengan tetap mempertimbangkan wahyu.
Paradigma dialektika dapat terlihat pada kritik al-Ghazali terhadap para filsuf yang telah memicu kontra dari kritik dari Ibnu Rusdy yang merupakan fenomena perang paradigma dalam filsafat Islam. Kritik al-Ghazali itu telah melahirkan sebuah filsafat yang memperkuat Asy’arisme dan mengilhami para pemikir berikutnya, seperti Ibnu Taimiyah (1264-1328 M), dan Muhammad Iqbal (1873-1983 M) yang berusaha membebaskan filsafat Islam dari belenggu filsafat Yunani terutama Aristoteles. Asy’arisme kemudian muncul sebagai penghadang tumbuhnya kebebasan berpikir dalam Islam yang telah dirintis oleh penganut Aristoteles.
Kasus paradigma Asy’arisme dengan al-Ghazali sebagai tokoh utamanya yang di back-up secara penuh oleh Nizham al-Mulk sejak pertengahan abad V H/XI M merupakan kasus yang nyata. Perang dua paradigma dalam metafisika Islam ternyata dimenangkan oleh paradigma Ghazalian karena faktor non ilmiah, filsafat Islam mengalami kemunduran. Paradigma dialektik-Ghazalian mengalami kejayaan karena disokong oleh para penguasa, bukan karena kemampuannya dalam memberikan solusi atas problematika umat Islam. Implikasi kemenangan yang tidak ilmiah itu, paradigma dialektik Ghazalian mengalami kelumpuhan dalam menghadapi problematika fenomena umat. Akhirnya, paradigma itu hidup dalam literatur-literatur keIslaman, namun sumbangannya bagi kemajuan dunia Islam menjadi sangat minim dan menyebabkan kemunduran dunia Islam.
E. KESIMPULAN
Pergeseran paradigma dalam studi Islam memang berubah alamaiah disebabkan adanya gesekan intekasi sosial yang melingkupinya. Besarnya peran penguasa dan proses pergeseran paradigma suatu ilmu memunculkan apa yang disebut dengan Tirani. Dalam kondisi seperti itu, persaingan paradigma tidak lagi berjalan secara ilmiah-rasional, tapi lebih banyak ditentukan oleh ada atau tidaknya dukungan dari penguasa. Akibatnya kemunculan paradigma terkuat dalam suatu ilmu bukan didasarkan pada ketangguhan dalam mengatasi problematika umat, namun lebih disebabkan karena faktor keberuntungan karena adanya dukungan dari penguasa. Fenomena pergeseran paradigma semacam ini juga dinamakan pergeseran paradigma semu. Dengan menggunakan teori paradigma Shift Thomas Khun, karya ini mengurai secara kritis terhadap perkembanga ilmu-ilmu pengetahuan dan lama sekali pemikiran Islam mulai tenggelam karena kemalasan berpikir-kreatif dengan mengubah paradigma dan metode yang sesuai dengan konteks kemanusiaan. Didalam studi keIslaman khususnya ilmu-ilmu agama mulai redup perlahan-lahan mengalami kemunduran dan hilangnya pesonanya agama. Dengan merujuk pada tokoh-tokoh kontemporer seperti Muhammad Syahrur, Muhammad Abid al-Jabiri, Hasan Hanafi, Asghar Ali sebagai acuan nalar kritis dan membebaskan pola-pola berpikir lama yang dianggap sakral dan absolut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
A. Mukti Ali, Metodologi Ilmu Agama Islam, Taufik Abdullah Ed, Metodologi Penelitian Agama, (Yogayakarta: Tiara Wacana, 2004).
Akbar S. Ahmed, Islam Sebagai Tertuduh: Kambing Hitam di Tengah Kekerasan Global, (Bandung: Arasy Mizan, 2004).
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2010).
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berpandangan Ganda, (Rajagrafindo Persada, 2003)
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UIP, 1986).
Hasan Hanafi, Oposisi Pasca Tradisi, (Yogyakarta: Syarikat, 2003).
___________, Turas dan Tajdid: Sikap Kita Terhadap Turas Klasik, (Yogyakarta: Titipan Ilahi Press, 2001).
Ibrahim Madkur, Fi Falsafah al-Islamiyyah, (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t).
Jonh L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990).
Karl Mannhiem, Ideologi Dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, (Yogyakarta: Kanisius, 1991).
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
Muhammad Abid al-Jabiri, Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003).
______________________, Kritik Pemikiran Islam: Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003).
______________________, Tragedi Intelektual Perselingkuhan Politik dan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Alif, 2003).
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Cara sebagai Pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
_____________, Pudarnya Pesona Ilmu Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2002).
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
Thomas S. Kunh, The Structure of Scientific Revolution, (London: The Iniversity of Chigago Press, 1970),
William James Earle, Introduction to Philosophy, (New York Toronto: Mc. Graw-Hill, Inc, 1992).
Zurkarni Jahja, Teologi al-Ghazali:Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar