Sabtu, 16 Februari 2013

RELASI POLITIK SYI’AH DAN KHAWARIJ: PERSELINGKUHAN GERAKAN POLITIK ATAS NAMA AGAMA

Relasi Politik Syi’ah dan Khawarij: Perselingkuhan Gerakan Politik Atas Nama Agama. Oleh Tauhedi As’ad Kebudayaan masa lalu bukan semata-semata memori manusia, tetapi kehidupan kita yang terpendam, dan mengkaji kebudayaan masa lalu membawa pada pengakuan atas suatu pandangan, sesuatu penemuan yang kita lihat bukan sebagai kehidupan masa lalu, tetapi untuk kebudayaan total kehidupan kita saat ini. A. Pendahuluan. Islam lahir merupakan ajaran yang dibawa Muhammad dengan jalan akhlak yang mulia. Kemudian pada perkembangannya Islam pasca Muhammad mengalami perubahan baik dari segi politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan. Perkembangan Islam bisa dilihat dari segi politik kekuasaan yang cenderung mengatasnamakan kebenaran Tuhan sehingga umat Islam menjadi bagian dari sekte dan kepercayaan ideologi keagamaan. Sejarah membuktikan, sejak Islam ekspansi pada masa kekuasaan Abu Bakar menjadi pimpinan negara telah mencapai seluruh Arabiyah, sedangkan di bawah pemerintahannya Umar Ibnu al-Khattab, Islam meluas ke wilayah-wilayah Byzantium, Palestina, Mesir, dan wilayah-wilayah Sasaniyah Persia dan Irak, sementara Utsman dan Ali perluasan Islam agak berhenti karena mempunyai problem dan konflik politik internal di kalangan umat Islam, termasuk pertarungan Ali dengan Mu'awiyah sehingga sebagian kelompok Ali keluar dari barisan yang disebut dengan Khawarij. Perkembangan dan perluasaan kawasan Islam tersebut, dilanjutkan pada masa pemerintahan Umayyah. Dengan demikian, ekspansi kekuasaan Islam berkembang ke seluruh Afrika, Andalusia, Kaukasus, perbatasan Byzantium di Anatolia, Asia Tengah, Transoksania, dan wilayah Sind di India. Perluasaan selanjutnya, dikembangkan oleh zaman pemerintahan Abbasiyyah sampai ke Anatolia, Asia Tengah, dan Asia selatan. perluasan Islam ke Asia Tenggara berjalan tanpa kekuatan politik dari luar, akan tetapi dilakukan oleh pedagang dan sufi, kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kekuasaan Islam pribumi berperan dalam Islamisasi dan Islam kultural. Perjalanan politik dan agama di dunia Arab tersebut, semuanya tidak lepas dari perebutan legitimasi kekuasaan untuk mempertahankan kedudukan masing-masing dengan atas nama agama. Tampilnya kekuasaan Umayyah pada tahun (661-750 M) merupakan pemimpin sebuah imperium, sebuah dinasti, dikuasai militer Arab dari lapisan bangsawan. Pemindahan ibu kota dari Madinah ke Damaskus melambangkan zaman imperium baru dengan menggesernya buat selama-selamanya dari pusat Arabia, yaitu Madinah yang merupakan pusat politik dan agama selama ini, kepada sebuah yang kosmolitan. Dari kota inilah daulah Umayyah melanjutkan ekspansi kekuasaan Islam dan memperluas pemerintahan sentral yang kuat, yakni sebuah imperium Arab. Dalam masa singkat yang menakjubkan, lebih kurang 100 tahun negara Islam yang mula-mula itu telah menjadi sebuah imperium yang perbatasaannya meluas sejak dari Spanyol, Afrika Utara, Timur Tengah, sampai kepada perbatasan Tiongkok, sebuah imperium yang jauh lebih besar daripada imperium Roma pada puncak kebesarannya. B. Kajian Teori. Kajian teori ini, penulis menggunakan pendekatan arkeologi yang digagas oleh Michel Foucault, sedangkan obyek materi yang digunakan adalah analisis sejarah pemikiran, sementara fokus kajian ini, melacak struktur pemikiran politik dan agama yang berimplikasi terhadap katerlibatan kekuasaan untuk memberikan legitimasi atas nama hukum Tuhan, khususnya pemerintahan Umayyah yang melahirkan dinamika politik dan gerakan oposisi seperti golongan Khawarij, Syi’ah, dan non Arab sehingga terjadi problematika diantara umat Islam pada waktu itu. Pendekatan arkeologi ini, memberikan corak analisis baru didalam peristiwa sejarah tertentu sebagaimana ahli sejarah purbakala untuk menemukan benda-benda kuno yang telah lama terkubur oleh panjangnya rentang waktu, sedangkan tugas arkeologi pengetahuan adalah menyingkirkan debu-debu tersebut, kemudian baru mendapatkan hakikat yang ia kehendaki. Menurut Foucault bahwa, manusia pada tiap-tiap zaman mengungkap kenyataan dengan cara tertentu. Cara manusia mengungkap, yaitu memandang dan memahami, kenyataan disebutnya episteme, karena manusia menangkap kenyataan dengan cara tertentu, ia juga membicarakannya dengan cara tertentu. Cara manusia membicarakan kenyataan, disebutnya wacana. Menurut Foucault, episteme dan wacana itu tunduk pada pelbagai aturan yang menentukan apa yang dipandang atau dibicarakan dari kenyataan. Dengan kata lain, setiap zaman memandang, memahami, dan membicarakan kenyataan dengan cara yang berbeda. Oleh karena itu, sejarah adalah peninggalan masa lalu dengan mengungkap peristiwa tertentu untuk memandang dan dipahami dengan cara tertentu pula, maka inilah yang disebut dengan wacana dan episteme. Model analisis arkeologi pengetahuan adalah melacak unsur subyektivitas didalam memahami sejarah untuk menyingkirkan sesuatu yang tidak dinginkan dan kemudian mencari substansi yaitu spirit sejarah secara obyektif. Menurut Foucault bagaimana perkembangan pengetahuan dipermainkan oleh mekanisme kuasa. Disini, kuasa tidak refresif, ia justeru positif dan produktif, sebab kekuasaan selalu menciptakan pengetahuannya sendiri. Sedangkan signifikansi pendekatan arkeologi pengetahuan ini, terletak pada ketajaman analisis kritisnya yang berdaya bongkar terhadap segala apapun kuasa yang menyelinap dibalik wacana dan pengetahuan dalam masyarakat. Inilah pisau analisis yang menantang segala kategori dari gagasan sejarah baku tertata rapi, final. Pandangan ini cukup beralasan, bahwa analisis sejarah peradaban Islam masa klasik merupakan dasar pemikiran untuk dikaji secara kritis terhadap kepentingan kekuasaan yang dilakukan oleh penguasa Islam itu sendiri, sehingga pola berpikir umat Islam klasik bercorak Islam ideologis. Jika model pembacaan sejarah yang dipahami dengan cara tradisional, maka cara memahami dan memandang harus sesuai dengan peristiwa masa lalu. Sedangkan eksistensi sejarah klasik harus dianalisis berdasarkan pada peristiwa dan tindakan tertentu, maka cara memandang dan memahami harus menggunakan wacana pengetahuan, sementara kebenaran sejarah tertentu terletak pada bagaimana sejarah dikodifikasi oleh generasi umat Islam, maka cara memandang dan memahami sejarah tertentu harus menggunakan episteme. Oleh karenanya, wilayah kajian ini, menampilkan sekilas pemerintahan Umayyah yang bersentuhan dengan politik dan agama, akhirnya melahirkan oposisi gerakan politik dan sekte seperti kelompok Khawarij dan Syi’ah serta Non Arab yang mengakibatkan pembunuhan Khalifah. C. Nalar Politik Islam Pada Era Umayyah. Pemikiran politik Islam adalah merupakan tradisi dan produk manusia. Sejak Islam hadir di dunia Arab, pemikiran politik Islam tidak lepas dari muatan politik dan agama sehingga berimplikasi terhadap pola berpikir umat Islam. Pada perkembangannya, pemikiran Islam mengalami perkembangan dan kemajuan sampai saat ini, sedangkan struktur nalar pemikiran Islam yang dibentuk dalam sistem berpikir yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu, maka akan melahirkan karakteristik tertentu pula. Sementara, jika pemikiran dibawa kedalam situasi yang berbeda, maka pemikiran Islam akan melahirkan pemahaman yang berbeda pula. Terbukti, sejak Islam dipimpin oleh Muhammad dan Shahabat ke dalam konteks situasi Arab, maka pemikiran Islam mengalami perubahan dalam situasi tertentu sehingga pemahaman tentang Islam semakin berkembang. Pada pemerintahan Umayyah untuk memberikan kesatuan dan wewenang sentral untuk menguatkan suku-suku Arab menempati tingkatan-tingkatan baru dalam organisasi politik untuk merebutkan kekuasaan melalui perang dan mengambil harta rampasan perang. Keberhasilan perjuangan (jihad) tersebut bagi menyebarkan syariat Allah telah menghasilkan imbalan-imbalan, baik dalam bidang keagamaan maupun dalam bidang politik, dan ekonomi. Terbaginya dunia Islam sebagai akibat perang saudara yang pertama itu antara khalifah Ali dengan panglima Muawiyah yang menjurus kepada pemisahan diri kelompok Khawarij beserta perlawanan pihak para pendukung Ali, telah mempersulit ikhtiar pihak Umayah untuk membangun pemerintahan yang efektif. Masyarakat Umayyah didasarkan pada peciptaan dan pengekalan aristokrasi militer Arab yang merupakan kasta sosial turun-temurun. Para tentara syiria adalah jantung militer khalifah yang sangat kuat sebagai sumber kekuatan dan keamanan khlaifah, mereka cukup banyak di bekali dengan harta rampasan perang dan pajak yang dikenakan terhadap kaum Muslim non Arab, maupun terhadap non muslim. Perlakuan istimewa ini akhirnya menjadi sumber perlawanan, khususnya di kalangan Muslim non Arab yang menganggap status tidak setara mereka sebagai pelanggaran terhadap egalitariasnisme Islam. Jadi perilaku Umayyah mengundang oposisi yang beragam mulai dari kalangan Khawarij, para pendukung Ali dan kaum Muslim non Arab yang kecewa sampai dengan fuqaha dan sufi. 1. Konsep Nalar Politik Dan Pemikiran Khawarij. Konsep nalar pemikiran khawarij didalam memahami agama sangat menarik untuk dikaji secara kritis didalam teologi Islam, sebab pemikiran Khawarij merupakan gerakan revolusioner didalam mempertahankan ideologi Iman yang muncul pada pemerintahan Ali dengan Mu'awiyyah. Menurut pandangan Isutzu, bahwa pemikiran Khawarij perlu adanya tinjauan secara semantik sebagai kata kunci untuk mengembangkan konsep dasar teologis. Secara ringkas, konsep tentang percaya secara semantik memiliki empat pokok acuan: antara lain subyek, obyeknya, perbuatan itu sendiri, dan bentuk manifestasi lahiriahnya. Jadi analisa terhadap pemikiran Khawarij yang bersumber pada subyek, dengan kata lain adalah mengenai kepercayaan itu sendiri, sehingga konsep dasar pemikiran Khawarij tersebut berimplikasi pada manifestasi terhadap perbuatan lahiriahnya. Gagasan besar pemikiran Khawarij adalah konsep dan sifat kepemimpinan yang berbeda serta termasuk kelompok radikal yang lahir pada zaman Utsman dan Ali. Memadukan puritanisme keras dan fundamentalisme agama dengan egalitarianisme yang ekslusif, dan golongan Khawarij muncul sebagai revolusioner yang meskipun tampaknya tidak memperoleh kesuksesan pada masanya. Pola pandangan yang sangat ekstrem tersebut, Khawarij memberikan konsep tentang mukmin taat yang menafsirkan al-Quran dan Sunnah secara harfiyah dan mutlak. Oleh karenanya, Khawarij menerapkan ajaran dengan kekerasan dan tanpa kompromi, perbuatan hanya ada baik dan buruk, di perbolehkan atau dilarang. Demikian pula, dunia terbagi murni dalam dunia orang beriman dan dunia orang tidak beriman, muslim dan non muslim, damai dan perang. Kemudian, terjadilah bahwa konsep kafir dalam pemikiran Khawarij memainkan peranan yang jauh penting daripada mukmin yang percaya. Bukannya berusaha untuk mendefinisikan mukmin, namun Khawarij berusaha untuk menentukan dengan pasti siapakah orang-orang yang harus diusir masyarakat muslim. Pengusiran dengan segala macam cara yang dilakukan, kemudian sisahnya adalah benar-benar masyarakat atau orang-orang percaya yang ideal. Salah satu bukti didalam sejarah, yaitu muhakkimah yang meninggalkan kelompok Ali, ketika kelompok Ali dalam pertempurannya dengan Mu'awiyyah menerima aribitrasi, dengan alasan bahwa Ali mengikuti hukum manusia sebagai ganti dari mentaati hukum Tuhan. Khawarij tampil dengan pendapatnya: La Hukma illa lillah, pendapat yang diambilkan dari ayat 44 Surat al-Maidah "Barang siapa tidak mengambil keputusan hukum berdasarkan hukum yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka itu tergolong kepada yang kafir". Pola pandangan ekslusifitas Khawarij tentang dunia dan tentang sifat umat Islam, kelompok Khawarij memiliki semangat egalitarian yang berpandangan bahwa setiap muslim yang baik, meski ia seorang budak, dapat menjadi pemimpin umat atau Iman, yang memberinya hak dukungan umat. Absolutisme puritan Khawarij menuntut agar Imam yang bersalah harus dipecat. Contoh, ketika kaum Khawarij berpisah dengan barisan Ali, mereka mengusahakan untuk memapankan visi mereka tentang umat kharismatik sejati berdasarkan atas al-Quran dan Sunnah secara ketat dan harfiyah, sebagaimana kepada Nabi, pertama-tama mereka pindah untuk hidup bersama dalam sebuah komunitas yang terbatas, sehingga dari perkampungan mereka mengadakan jihad melawan penghuni neraka dan dirinya mewakili atas keadilan Tuhan. Kebebasan berpikir dan bertindak dalam aspek pemikiran politik, Khawarij sangat ambiguitas didalam memberikan keputusan berpikirnya berdasarkan kepada agama. Aspek pemikiran politik Khawarij bahwa, seseorang berhak dari kalangan mana saja untuk menjadi pemimpin, tidak hanya dari suku Quraisy saja melainkan non Quraisy dengan syarat beriman secara benar. Namun pada satu sisi, fatalisme agama muncul jika dalil al-Quran yang digunakan dengan alasan kekecewaan terhadap sengketa kepemimpinan seperti kasus tahkim antara Ali dengan Mu'awiyyah, bahkan dari kalangan sekte al-Azariqah dari Khawarij berhasil menyatukan antara teori dan praktek. Ia mengatakan bahwa "bersikap taqiyah tidak diperkenankan dalam berkata atau bertindak", dan bahwa "tidak ikut perang merupakan tindakan kafir". Menurut sekte asy-Syaibah dari Khawarij berpendapat bahwa "perempuan boleh menjadi pemimpin jika ia dapat menjalankan urusan masyarakat, dan jika ia melawan terhadap orang-orang yang melanggar masyarakat. Seluruh kelompok Khawarij berpendapat bahwa, "al-Quran adalah makhluk". Dan hanya saja, prinsip kebebasan orang lain tidak diakui oleh Khawarij. Inilah yang dapat menyebabkan klaim dan justifikasi bahkan pengkafiran terhadap orang yang tidak sependapat dengan Khawarij dan mendorong untuk memberitahukan sebagai kelanjutan perang Ali, maka dari sini bisa dikatakan bahwa kehidupan Khawarij adalah upaya melakukan pemberontakan terus-menerus. 2. Konsep Nalar Politik Dan Pemikiran Syi'ah. Syi'ah merupakan golongan yang diakui oleh umat Islam di dunia. Sedangkan Syi'ah menurut etimologis berarti sahabat atau pengikut, dan pada umumnya Syi'ah adalah pengikut Ali dan keturunanya yang disebut dengan Ahlul Bait. Sementara konstruksi pemikiran Syi'ah berawal dari adanya kontroversial mengenai pengganti kepemimpinan pasca Nabi Muhammad sehingga berimplikasi kepada persoalan politik praksis dengan atas nama agama. Sejarah mencatat bahwa, Syi'ah mempunyai mushaf dan kitab tersendiri untuk menguatkan legitimasi kekuasaannya didalam membenarkan keyakinan akan keabsahan untuk menggantikan Nabi Muhammad. kemudian konsep pemikiran Syi'ah tentang kepemimpinan bukan termasuk kepentingan umum yang segala persoalannya diserahkan kepada pendapat umat. Konsep dasar pemikiran Syi'ah yang sangat fundamental khususnya mengenai penggantian kepemimpinan setelah Nabi Muhammad adalah Ali dengan berdasarkan teks agama, menurutnya teks di bagi dua yaitu teks eksplisit dan teks implisit. Teks eksplisit, misalnya sabda Nabi Muhammad: "Barang siapa diantara kamu menjadi sekutu yang dilindunginya, maka Ali adalah sekutunya". Menurut Ibnu Khaldun bahwa, pandangan Syi'ah wilayah hanya terpusat kepada Ali. Oleh karena itulah, Umar mengatakan kepada Ali: "Anda menjadi sekutu setiap mukmin laki-laki dan perempuan". Misalnya dalam hadits lain adalah sabda Nabi: "Ali bertugas memutuskan hukum kepada kalian". Berarti dalam pengertian ini, kata Imamah atau pemimpin tiada lain menetapkan hukum-hukum Allah. Maka yang pantas jadi pemimpin adalah Ali yang wajib ditaati sesuai dengan firmannya. Berikutnya dengan teks implisit, misalnya menurut pandangan Syi'ah adalah diutusnya Ali oleh Nabi Muhammad untuk membacakan surat Bararah pada musim haji, dan surat tersebut diturunkan. Semula Nabi Muhammad mengutus Abu Bakar untuk membacakannya, kemudian Nabi Muhammad menerima wahyu yang memerintahkan agar Nabi mengutus seorang laki-laki dari keluarga atau suku Nabi Muhammad, kemudian Ali yang diutus untuk membacakan dan menyampaikan surat tersebut. Jadi menurut pandangan Syi'ah bahwa Ali yang lebih populer dibandingkan dengan Abu Bakar, maka semua ini menunjukkan bahwa Ali layak dan pantas dipilih menjadi khalifah, dan bukan yang lain, disamping itu teks lain yang populer dan sukar dipahami, bahkan teks-teks Hadits yang berhubungan dengan Syi'ah hanya berlaku pada golongan Syi'ah semata. Kepemimpinan menurut Syi'ah merupakan salah satu rukun agama dan tiang Islam, dan seorang Nabi tidak boleh meremehkannya serta tidak pula menyerahkan pengurusannya kepada umat. Seorang Nabi wajib menetapkan Imam yang akan menjadi pemimpin Islam. Salah satu indikasi pengaruh pemikiran Syi'ah yang menjunjung tinggi terhadap konsep kepemimpinan atau Imamah secara fatalistik adalah Abdullah Ibnu Saba'. Untuk mengukur paradigma pemikiran Abdullah Ibnu Saba', menurutnya ada tiga tingkatan pemikiran. Tingkatan yang pertama, pemikiran permulaan revolusi terhadap Ustman dan ajakan membela Ali sebagaimana telah diwasiatkan oleh Nabi Saw. Kedua, semangat konfrontasi melawan Thalhah, Zubair, Mu'awiyah, dan Khawarij. Ketiga, setelah meninggalnya Ali ditangan Abd al-Rahman Ibnu Muljam. Pandangan fatalistik Ibnu Saba' untuk mengajak melakukan gerakan revolusi terhadap Ustman dan diajak kembali membela Ali sesuai dengan wasiat Nabi, sebagaimana Yusa Ibnu Nun yang berwasiat kepada Nabi Musa. Pandangan Ibnu Saba' dalam tingkatan ini merujuk pada kembalinya Nabi Muhammad sebagai analogi keimanan kaum Mukmin terhadap kembalinya Nabi Isa. Sedangkan pada tingkatan kedua, Ibnu Saba' mengusulkan Ali sebagai Nabi untuk menjustifikasi haknya dalam kekhalifahan, khususnya setelah terjadinya tahkim (damai). Sementara pandangan tingkatan yang terakhir, adalah bahwa Ibnu Saba' berpendapat tentang adanya unsur keutuhan dalam diri Ali. Menurutnya, Ali tidak mati dan kembali ke bumi untuk menebarkan keadilan. Pengaruh dari pemikiran Ibnu Saba' terhadap golongan Syi'ah menimbulkan fitnah, karena Ibnu Saba' mengakui Ali sebagai Nabi, kemudian semakin merajela sampai akhirnya mengakui sebagai Tuhan dan mengajak kepada masyarakat Kufah untuk menyembahnya. Fatalistik pemikiran Islam Syi'ah terhadap konsep Imamah yang mengakibatkan perbedaan pendapat dikalangan internal Syi'ah itu sendiri sehingga pada perkembangannya Syi'ah menjadi tiga golongan utama dan setiap golongan terpecah belah kedalam sekte-sekte kecil yang beragam. Ketiganya, yaitu, al-Ghaliyyah, Imamiyyah, dan Zaidiyyah sepakat tentang Imamah Ali dan haknya sebagai khalifah serta Syi'ah tidak mengakui adanya kepemimpinan tiga sahabat baik Abu Bakar, Umar dan Ustman. D. Dinamika Politik Dan Gerakan Oposisi. Hubungan politik dan agama merupakan salah satu bagian strategi untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan sehingga membuat pemahaman yang ambiguitas, karena konsep pemikiran politik mempunyai dasar-dasar tersendiri yang berbeda dengan prinsip-prinsip agama. Perselingkuhan politik dan agama telah terjadi di zaman khalifah kemudian dilanjutkan oleh Mu'awiyyah, dinasti Umayyah sampai ke dinasti Abbasiyyah. Untuk itu, perlu adanya pemisahan pengertian antara politik dan agama dalam konteks negara. Akan tetapi dari kelompok Khawarij memberikan pemahaman tentang bidang politik dan agama didalam menerapkan kepemimpinannya, sehingga konsep pemikiran keduanya menjadi jelas sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut M. Abdul Karim, bagi Khawarij ada dua hal penting yang menjadi pandangannya, yakni politik dan keagamaan. Di bidang politik Khawarij memliki pemahaman, seorang Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat, baik dari bangsa Arab atau Ajam (non Arab). Pemikiran khawarij didalam pandangan ini sangat revolusioner untuk diterapkan secara politis terhadap praktik kekuasaan, bahkan menurut Khawarij memperbolehkan perempuan menjadi pemimpin negara dengan syarat demi kepentingan masyarakat sesuai dengan persyaratan yang mampuni untuk menjalankan konstitusi negara, sementara dari bidang keagamaan, diantaranya adalah jika seorang muslim tidak menjalankan shalat, maka hukumnya wajib di bunuh, jika seseorang belum bertaubat sebelum meninggal dunia, maka ia akan masuk neraka selamanya. Gerakan Oposisi: Perselingkuhan Politik dan Agama. Perselingkuhan politik dan agama sebagaimana Ali dengan Mu'awiyyah sehingga munculnya protes dari kalangan pengikut Ali setelah melakukan rekonsiliasi antara Ali dengan Muawiyyah dengan jalan arbitrasi, kemudian pada akhirnya kecewa atas kesepakatan dan keluar dari barisan kelompok Ali, dalam sejarah itu disebut dengan Khawarij atau pembelot. Menurut pandangan Adonis, bahwa Khawarij muncul, ada tiga prinsip yang sudah mapan terkait dengan persoalan kepemimpinan yang pertama, prinsip pengangkatan kepemimpinan atau Khalifah, kedua, prinsip Khalifah dari suku Quraisy, yang ketiga, prinsip keharusan loyal kepada pemimpin. Kelompok Khawarij meragukan prinsip-prinsip tersebut, bahkan menolaknya. Pada konteks kepemimpinan Ali, ada upaya untuk menyelesaikan persoalan atas terbunuhnya Ustman sehingga Ali naik sebagai Khalifah keempat. Namun ketika dunia Islam menghadapi hura-hara yang memuncak dengan dikepungnya Madinah oleh kaum pesuruh, penduduk Madinah adalah kota metropolitan serta berbagai provinsi di sekitarnya, berlomba-lomba menyampaikan sumpah setia kepadanya. Ia memang dianggap tokoh paling pantas untuk menduduki jabatan tertinggi itu, akan tetapi Mu'awiyyah yang telah mengumpulkan kekuatan besar di sekelilingnya, menyatakan akan menuntut balas atas kematian Utsman sebagai orang yang pandai, Mu'awiyyah sadar akan kecilnya peluang yang terbuka baginya untuk menduduki jabatan tertinggi, selama Ali masih ada. Ini mendorongnya merencanakan sesuatu cara yang dapat memenangkan dukungan rakyat. Perhatian Khalifah Ali tertuju kepada Mu'awiyyah. Gubenur Syiria yang memberontak itu sedang menjadi ancaman bagi solidaritas dan keutuhan negara Islam. Ia sebagai seorang yang berprikemanusiaan, Ali dengan maksimal berusaha mengadakan penyelesaian secara damai dan menghindari pertumpahan dara umat Islam, Akan tetapi persyaratan yang disampaikan Mu'awiyyah tidak masuk akal. Ali lalu menawarkan cara penyelesaian perselisihan dengan perkelahian satu lawan satu, akan tetapi ditolak oleh Umayyah. Akhirnya pertempuran mati-matian antara dua tentara tak teralakkan lagi. "kaum pemberontak dikalahkan dalam tiga kali pertempuran beruntun yang menentukan", dan bahkan "kaum Mu'awiyyah sudah siap melarikan diri dari medan tempur" ketika tipu daya kaki tangan Amr putra dari Aas, menyelamatkan mereka dari kepunahan. Itulah momentum rekaman sejarah yang menjadi saksi atas kelahiran pemikiran politik dengan sikap ketidakdewasaan terhadap umat Islam pertama, menurut abid al-Jabiri bahwa, orang-orang yang menghindari kekacauan dan peperangan serta tidak mengambil sikap membelah salah satu kelompok Ali, Mu'awiyyah maupun Khawarij, akan tetapi bukan berdiam dan mengurung diri dirumah dan bersikap netral negatif yang tidak peduli dengan kondisi umat dan masa depannya. Sebaliknya, mereka memandang bahwa perang yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyyah dan juga Ali dengan Khawarij serta perang antara mereka dengan Umayyah bukanlah perang suci, bukan jihad fi sabilillah, melainkan perang illegal yang dikobarkan oleh suku demi memperoleh harta rampasan perang yang dibungkus oleh ekstrim dalam kata-kata dan ekstrim dalam agama serta saling mengkafirkan antara satu dengan yang lain. Albert Hourani mengklasifikasikan pentingnya pertikaian seputar suksesi ke Khalifahan dan sifat otoritas dalam komunitas Muslim terhadap klaim-klaim Mu'awiyyah dan keluarganya, muncul dua kelompok penentang, meskipun masing-masing kelompok tidak begitu berbentuk sehingga akan lebih baik melukiskan mereka sebagai tendensi-tendensi. Kelompok pertama, kelompok yang disebut Khawarij. Kelompok ini adalah orang yang telah menarik dukungan terhadap Ali ketika ia menyetujui arbitrasi pada masa perang Shiffin. Kelompok kedua, adalah kalangan Syi'ah yang mendukung klam-klaim keluarga Nabi untuk pemimpin. Ide yang paling penting dalam jangka panjang adalah ide yang menyakini Ali dan garis keturunannya sebagai pemimpin komunitas atau para Imam yang sah. Penjelasan kelompok model pertama yang memandang Imamah, adalah pengangkatan Imam dan pada gilirannya pendirian negara dalam masyarakat Islam merupakan salah satu kewajiban pilar agama. Menurut Syahrastani, bagi kelompok yang utamanya didukung Syi'ah ini Imamah "bukanlah persoalan kemaslahatan yang tergantung pada pilihan masyarakat dimana Imam dipilih oleh Syi'ah, namun merupakan persoalan dasar, persoalan pilar agama yang tidak boleh dilupakan dan diabaikan oleh para Rasul dan tidak pula dapat diserahkan secara penuh kepada masyarakat umum". Syahrastani kemudian menambahkan bahkan penjelasannya terhadap pandangan kaum Syi'ah, "mereka sepakat akan keharusan adanya penunjukan Imam yang didasarkan pada teks agama dan kepastian akan terpeliharanya para Nabi dan Imam dari dosa kecil maupun besar". Berdasarkan pandangan ini, orang-orang Sy'iah mengatakan "sesungguhnya Nabi telah menetapkan dan berwasiat bahwa Ali bin Abi Thalib dan seluruh keturunannya merupakan khalifah sekaligus Imam setelah beliau. Pandangan kelompok model kedua, merupakan antitesis dari kelompok pertama, berpendapat Imamah setelah dan negara bukan merupakan suatu kewajiban dalam pengertian bahwa agama sama sekali tidak menyebut kewajiban Mendirikan negara namun tidak pula mewajibkan untuk mengabaikannya melainkan menyerahkan persoalan ini kepada kaum muslim, akan sangat positif jika mereka dapat mengangkat seorang Imam yang adil dengan syarat ada jaminan keamanan dan jaminan bagi setiap orang untuk menerapkan hukum-hukum syariah sebagaimana yang telah ditetapkan al-Qur’an dan Sunnah, dalam konteks ini tidak aktual lagi. Pendapat semacam itu, oleh tokoh-tokoh awal kaum Khawarij dan Najdat (para pengikut Najdah al-Hanafi, pemimpin salah satu kelompok pecahan Khawarij). Munculnya Pemberontakan Islam Di samping prestasi-prestasi pemerintahan Umayyah, sejak abad 8 tahun (720 M) sentimen anti Umayyah mulai menyebar dan menguat. Di antaranya adalah berbagai faksi yang kecewa, (1) Muslim non Arab yang memperotes status kelas dua, mereka vis-a-vis Muslim Arab karena bertentangan dengan egalitarianisme Islam, (2) kaum Khawarij dan Syiah yang terus-menerus menganggap Umayyah sebagai penyerobot, (3) Muslim Arab di Mekkah, Madinah, dan Irak yang merasa tersinggung dengan status istimewa keluarga-keluarga Syiria, (4) kaum Muslim yang taat, baik Arab maupun non Arab yang memandang gaya hidup baru yang kosmopolitan atau menyimpang dari pandangan hidup Islam mereka. Kekuatan-kekuatan oposisi yang sama-sama kecewa dengan kekuasaan Umayyah atau juga karena kecenderungan untuk melegitimasi klaim-klaim dan agenda keislaman mereka, mengecam praktek dan kebijakan Umayyah sebagai inovasi tak Islami dan mengajak untuk kembali kepada al-Quran dan praktek-praktek Nabi dan umat Madinah awal, dan apa yang dikutip oleh John L. Esposito bahwa ideologi restorasi Islam salaf, dengan varian yang mencerminkan beragam kecenderungan, berhasil meraih hati massa, dan dengan dukungan mayoritas ulama, menjadi bagian dari program semua, atau hampir semua, pemimpin partai. Restorasi ini menang ketika abbasiyah mengadopsinya sebagai slogan mereka. Sejak tahun (747 M), dengan dukungan yang cukup berarti dari kaum Syiah, gerakan oposisi bersatu di bawah Abu Muslim, seorang budak Abbasiyah yang telah merdeka. Pada tahun (750 M), Umayyah jatuh dan Abu al-Abbas keturunan Paman Nabi, al-Abbas dinyatakan sebagai khalifah. Ibu kota Islam dipindah dari Damaskus ke Baghdad yang baru saja didirikan, dikenal dalam bahasa arab sebagai kota perdamaian. Di bawah kekuasaan Abbasiyah, umat Islam menjadi sebuah imperium yang kenang tidak hanya karena kekayaan dan kekuatan politiknya, tetapi juga karena kegiatan dan prestasi-prestasi kebudayaannya yang luar bisa. Pada garis besarnya, kaum Muslim menjadi bagian dari salah satu tiga golongan tersebut berikut ini, Sunni, Syi'ah dan Khawarij di Masa Umayyah. Kelompok terakhir ini beranggotakan mereka yang bersikap oposan terhadap klaim, baik Ali maupun Mu'awiyyah, untuk memegang posisi khalifah. Kelompok Khawarij selalu terdiri dari jumlah keanggotaan yang sedikit dan hal tersebut menjadi pewaris mereka dikenal sebagai al-Ibadhiah yang sisa-sisanya terbatas di wilayah Oman dan di selatan al-Jazair. Pembagian yang terpenting dalam Islam adalah Sunnisme dan Syi'isme. Mayoritas luas Muslim, yakni kira-kira 86 sampai 87 % adalah penganut Sunni, term ini berasal dari Ahlusunnah Wal-Jama'ah, "pengikut Sunnah Nabi dan mayoritas umat." Sekitar 13 sampai 14 % dari kaum muslim adalah pengikut Syi'ah, kata Syi'ah berasal dari pengikut Ali bin Thalib." F. Kesimpulan Penjelasan diatas sangat singkat didalam memahami sejarah pemikiran politik Islam yang khususnya Khawarij dan Syi’ah pada Era Umayyah. Pembacaan sejarah pemikiran Islam masa klasik merupakan memori kebudayaan yang harus dikritisi secara kritis. Dua kolompok Islam tersebut selalu mengklaim dan justifikasi terhadap kebenaran teologi aksi yaitu mempertahankan ideologi kekuasaannya sehingga umat Islam banyak menjadi korban pembunuhan. Pola pandangan tersebut, Islam tidak mengatur tentang model dan bentuk negara bahkan Nabi tidak pernah membuat bentuk negara ideal melainkan Nabi hanya menyampaikan risalah kenabian untuk menciptakan kemanusiaan berdasarkan nilai-nilai akhlak. Jika persoalan politik dalam konteks negara, maka agama hanya memberikan etika untuk berbuat baik terhadap sesama manusia. Warisan nalar pemikiran politik Islam klasik baik antara pemikiran nalar politik Khawarij dan nalar politik Syi’ah merupakan pemikiran politik murni bukan sosial-keagamaan. Karenanya, kelompok ideologis yang berbeda akan berimplikasi terhadap pola berpikir yang ekstrem baik dari kalangan Khawarij dan Syi’ah sehingga umat Islam pecah dalam pertempuran sampai terjadi pergantian kekausaan. Secara umum pengalaman historis umat dalam masalah kepemimpinan dengan tujuan menjustifikasi berbagai peristiwa dam pilihan masa lalu khususnya yang terjadi pada periode sejarah yang otoritatif, yakni periode Khulafarasidin. Masyarakat Umayyah didalam faksi Khawarij dan Syi’ah meragukan keabsahan cara "pengangkatan" para sahabat sembari melontarkan persoalan keutamaan. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Ali bin Abi thalib lebih utama dari pada Abu Bakar, Umar dan Utsman, meski dalam kenyataannya mereka dianggap sebagai pengangkatan orang yang utama atas lebih utama. Pandangan yang kedua, dengan tujuan menjustifikasikan dan menjamin keabsahan kemyataan politik masa kini dengan cara membuat berbagai peristiwa masa lalu sebagai dasar-dasar yang dapat dianalogikan dengan kenyataan. Ketiga, bertujuan mengutamakan keadaan bernegara meskipun negara tersebut sangat jauh dari idel Islam atas keadaan bernegara dengan cara menunjukkan berbagai bahaya yang mengancam umat Islam dalam situasi pemberontakan pada masa Umayyah. Daftar Pustaka. Abid al-Jabiri, Muhammad. Agama, Negara Dan Penerapan Syari'ah, Terj. Mujiburrahman, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001). _____________________. Tragedi Intelektual, Perselingkuhan Politik Dan Agam , Terj. Zamzam Afandi Abdillah, (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003). Adonis. Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, Terj. Khairon Nahdiyyin, (Yogyakarta: LKiS, 2007). Ahmad, Jamil. Seratus Muslim Terkemuka (Terj), Tim Penerjemah Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996). Abdul Karim, M. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publusher, 2007). Abu Zaid, Nashr Hamid. Menalar Firman Tuhan, Wacana Majaz Dalam al-Quran Menurut Mu'tazilah, Terj. Abdurrahhman Kasdi, (Jakarta: Mizan, 2003). Boullata Issa J. Dekonstruksi Tradisi; Gelagar Pemikiran Arab Islam Terj. Imam Khairi, (Yogyakarta: LKiS, 2001). Esposito, John L. Islam Warna Warni; Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus, Terj. Arif Maftuhin, (Jakarta: Paramadina, 2004). ____________, Islam Dan Politik, Terj. H.M. Joesoep Sou’yb, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Fuocault, Michel. Arkeologi Pengetahuan, Terj. H. M. Mochtar Zoerni, (Yogyakarta: Qalam, 2002). Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir Dari Aliran Klasik Hingga Modern, Terj. Saifuddin Zuhri Qudsy, (Yogyakarta: el-SAQ Press, 2003). Hourani, Albert. Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, Terj. Irfan Abu Bakar, (Jakarta: Mizan, 2004). Hitti, Philip K. History Of The Arab, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi, 2005). Hodgson, Marshall G. S. The Venture Of Islam, Terj. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Paramadina, 2002). Izutsu, Toshihiko. Konsep Kepercayaan Dalam Teologi Islam, Terj. Agus Fahri Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994). Khaldun, Ibnu. Muqaddimah, Terj. Ahmadie, (Jakarta: Pustaka Firdaus 2001). Mughni, Syafiq A. Dinamika Intelektual Islam pada Abad Kegelapan, (Surabaya: LPAM, 2002). Nasr, Sayyed Hossein. Islam Agama, Sejarah, Dan Peradaban, Terj. Koes Adiwdjajanto, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003). Rahardjo, Dawam, Islam Dan Transformasi Budaya, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002). Ruslani. Masyarakat Kitab, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000). Lapidus, Ira. M. Sejarah Sosial Ummat Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1999).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar