Sabtu, 16 Februari 2013

PRINSIP-PRINSIP METODE INTERPRETASI NALAR Al-QURAN KONTEMPORER

PRINSIP-PRINSIP METODE INTERPRETASI NALAR Al-QURAN KONTEMPORER Oleh: Tauhedi As'ad A. Pendahuluan. Al-Quran adalah sumber tradisi pengetahuan yang diwariskan oleh sejarah intelektual muslim. Sejak Muhammad hadir al-Quran selalu menghiasi kecerdasan ntelektual maupun kecerdasan spiritual. Sehingga al-Quran eksis memberikan pewarnaan interpretasi demi kemaslahatan umat. al-Quran adalah petunjuk bagi manusia yang berakal untuk menyelesaikan secara kritis didalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan ruang dan waktu. Di akui atau tidak, bahwa wahyu adalah bahasa Tuhan yang transendental dan sakral dengan cara menyakininya, sedangkan al-Quran turun kebumi merupakan bahasa tafsir yang ditafsirkan oleh para mufassir sesuai dengan pengalaman hidup masing-masing. Banyak para penafsir didalam menafsirkan al-Quran dengan menggunakan metodologi yang berbeda sesuai dengan ukuran atau aturan-aturan yang dimilikinya. Kemunculan beragam penafsiran umat Islam tiada lain untuk merumuskan kaida-kaidah al-Quran yang kontekstual didalam kesadaran manusia pada umumnya dan khususnya pada umat Islam. Para penafsir menyadari bahwa, jika al-Quran tidak ditafsirkan berdasarkan pada perkembangan dan peradaban manusia maka al-Quran akan mengalami kemandekan dan kemacetan intelektual, sehingga pesan makna al-Quran menjadi tertutup. Senada apa yang dikatakan oleh Ali Bin Abi Thalib bahwa "Tanpa manusia, al-Quran tidak bisa berbicara apa-apa". Dengan demikian fungsi penafsiran al-Quran harus berdasarkan pada problem keagamaan kontemporer yang tidak menoton dengan warisan pemikiran masa lalu akan tetapi, penafsiran al-Quran yang kontekstual terus dilakukan sebagaimana gerakan pembaharuan Islam. Kendati pembaharuan penafsiran al-Quran didalam pergulatan realitas yang melingkupinya. Banyak kalangan pembaharuan pemikiran Islam untuk merumuskan kembali metodologi tafsir al-Quran yang kontekstual yang diakibatkan karena pergulatan pemikiran teks keagamaan dengan kekuasaan politik penguasa. Misalnya gerakan nasionalisme dan pembebasan di Arab barat terkait erat dengan Islam (tercermin dalam revolusi Rif di Maroko, gerakan pembebasan tanah air di Al-jazair, sanusiah dan Umar Mukhtar di Libia) dan berhubungan dengan ulama Aljazair, ulama Universitas Al-Qarawiyin di Tunis, hal yang sama juga terjadi di Arab Timur seperti tergambar dalam gerakan al-Mahdi di Sudan, Wahabi di Hijaz, al-Kawakibi di Syam dan al-Afghani di Mesir. Sehingga melanda keseluruh dunia Islam contoh, Pakistan dan terakhir revolusi Iran. Dengan pembaharuan penafsiran al-Quran untuk reinterpretasi ulang terhadap penafsiran tradisi lama yang dilakukan oleh pemikir Islam klasik yang pertumpu pada tafsir bil al-Ma'tsur dan tafsir bil al-Ra'yu. Sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Famawy, tafsir bil al-Ma'tsur adalah penafsiran al-Quran berdasarkan pada penjelasan al-Quran sendiri, penjelasan Nabi, penjelasan para sahabat melalui ijtihad. Sedangkan tafsir bil al-Ra'yu adalah penafsiran berdasarkan ijthad dan pemikiran penafsir setelah mendalami dan mengetahui dalil-dalil dan hukum-hukum sesuai dengan ketentuan yang ada. Oleh karena itu, konseptualitas tafsir tersebut bagi penafsiran klasik masih mempunyai kelebihan dan kekurangan didalam rumusan metodologi tafsir. Maka penulis hanya mendeskripsikan pemikiran terhadap perkembangan kaidah penafsiran al-Quran. B. Teori Penafsiran. Analisis teori tafsir ini, banyak yang dikemukakan oleh sarjana pemikir Islam untuk menelaah tentang tradisi ilmu-ilmu tafsir al-Quran. Teori tafsir merupakan pengalaman bagi penafsir untuk memecahkan problem yang terjadi baik antara wahyu dengan realitas, kemudian dipadukan kedalam pergulatan pemahaman didalam penafsiran al-Quran sehingga manusia mempunyai keistimewaan didalam menerima wahyu Tuhan. Minimal ada tiga keistimewan. Yang pertama ia merupakan fase akhir perkembangan wahyu dalam sejarah sejak nabi Adam sampai nabi Muhammad. Dengan demikian wahyu Tuhan disempurnakan dalam bentuknya terakhir yang dapat diambil sebagai syariat tanpa menunggu perubahan, penggantian atau penghapusan. Kedua, ia terjaga sebagai kitab dalam al-Quran, sehingga bebas dari bahaya perubahan yang menimpa kitab-kitab suci lain. Ketiga, al-Quran sebagai kitab yang tidak diturunkan secara sekaligus yang disesuaikan dengan ruang dan waktu, kemudian ayat-ayat diterakumulasi sampai 34 tahun menjadi al-Quran. Dengan aturan konsep dan teori penafsiran didalam memahami wahyu Tuhan, maka obyeknya adalah penafsir untuk menafsirkan teks al-Quran. Jadi untuk memberikan pendefinisian terhadap penafsiran al-Quran yang menghubungkan antara wahyu dan realitas sebab teori tafsir tidak lepas dari konteks dan masalah yang dihadapi, dengan tradisi penafsiran al-Quran, maka jika melihat penafsiran-penafsiran kontemporer tidak solid karena ilmu-ilmu penafsiran klasik hanya bertumpu pada al-Quran dan al-Hadits. Jadi pengalaman penafsir untuk memaknai teks al-Quran hanya memiliki konteks yang terjadi sehingga turunnya ayat yang pertama merupakan kebutuhan penyelesaian untuk dijawab didalam berbagai dimensi. Oleh karenanya, penggunaan tradisi interpretasi teks al-Quran menggunakan teori hubungan penafsiran antara teks dengan penggagas dan pembaca. 1. Hubungan Penggagas Dengan Teks Yang dimaksud hubungan penggagas dengan teks adalah dalam arti, apakah teks itu menjadi media penyampaian pesan penggagas kepada audiens, karena teks itu masih terikat dengan penggagas atau teks itu mempunyai eksistensinya sendiri yang terpisah dan terlepas dari pengagas? Persoalan yang profan ini menjadi perdebatan panjang dikalangan ahli bahasa, apalagi menyangkut sesuatu bersifat sakral, hubungan al-Quran sebagai teks dengan Tuhan sebagai Penggagas. Menyangkut hubungan penggagas dengan teks profan pada umumnya, paling tidak terdapat tiga bentuk hubungannya. Pertama, empiris-posistivisme. Model ini mengandaikan teks menjadi wahana penyampaian pesan penggagas kepada audiens, tetapi ia mempunyai dunia sendiri yang terpisah dari penggagas. Karena itu, kebenaran pemahaman atas teks tergantung pada hubungan teks itu dengan penggagas, melainkan logika internal bahasa itu sendiri, melalui struktur internal bahasa yang digunakan, baik aspek sinteksis maupun semantik. Kedua, fenomenologis. Berbeda dengan yang pertama, model kedua mengandaikan teks sebagai media penyampaian pesan subyek kepada audiens. Ia menjadi kongkretisasi maksud tersembunyi dari subyek yang menyatakannya. Teks dalam konteks ini bertujuan menciptakan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pambaca. Karena itu, untuk mengetahui maksud yang tertuang dalam teks ini harus dikaitkan dengan penggagasnya, selain struktur internal bahasa itu sendiri. Ketiga, pascastrukturalis atau posmodernis, model ini mengandaikan bahasa bukan semata-mata sebagai media penyampaian maksud subyek secara jujur, melainkan sebagai media dominasi. Ia mencurigai adanya "konstelasi kekuatan yang ada dalam proses pembentukan dan produksi teks", disamping posisi subyek sebagai subyek. Teks menjadi wacana media dominasi dan kuasa. Jika teori penafsiran dikaitkan ke dalam studi al-Quran, maka pertanyaan yang diajukan menyangkut, apakah Tuhan sebagai pembuat bahasa atau sebagai pengguna, sementara bahasa al-Quran berasal dari masyarakat Arab. Jika yang pertama dipilih, maka itu berarti, lafadz dan makna al-Quran barasal dari Tuhan. Al-Quran segi lafadz dan maknanya bersifat suci atau sakral. Sebaliknya jika yang kedua yang dipilih, maka yang sakral hanyalah maknanya, sementara lafadznya tidak dalam posisi sakral. Namun demikian, lafadznya sebagai wadah pesan tetap harus dihormati. 2. Hubungan Pembaca Dengan Teks Dan Penggagas Bentuk hubungan dengan penggagas dengan teks sangat menentukan hubungan pembaca dengan penggagas atau teks. Itu terutama dalam konteks pembacaan, apakah pembacaan terhadap teks bertujuan menemukan maksud penggagas, maksud teks atau maksud pembaca? Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur penafsiran antara penggagas dengan teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing penafsiran. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori penafsiran yaitu penafsiran teoritis, filosofis dan kritis. Pertama penafsiran teoritis problem penafsirannya terletak pada metode. Pandangan ini mempersoalkan metode apa yang sesuai untuk menafsirkan teks sehingga mampu menghindarkan seorang penafsir dari kesalahpahaman, untuk menemukan makna obyektif dengan aliran ini, ada dua bagian yang perlu diperhatikan dalam kegiatan penafsiran teks, yakni penafsiran gramatikal dan psikologis. Prinsip yang penting dalam penafsiran gramatikal ini adalah, pertama, segala sesuatu yang membutuhkan ketetapan makna dalam suatu teks tertentu hanya dapat diputuskan dengan merujuk pada lapangan kebahasaan lain untuk kebudayaan yang berlaku diantara pengarang dengan audien. Kedua, makna dari sebuah batang tubuh teks ditetapkan dengan merujuk pada koeksistensinya dengan kata-kata lain di sekelilingnya. Kedua, penafsiran historis, penafsiran ini, lebih memasuki kedalam pandangan sejarah penafsiran dengan asumsi-asumsi epistemologis, tidak hanya dalam dunia teks, tetapi juga dunia pengarang dan dunia pembacanya. Problem utamanya adalah bagaimana tindakan memahami itu sendiri, sebagai penggagas penafsiran filosofis. Jadi penekananya terletak pada realitas penafsiran terhadap teks yang melingkupinya sehingga penggagas memproduksi makna obyektif. Dengan pemahaman historisitas tidak akan kembali terhadap penafsiran masalah lampau karena teks penafsiran dipengaruhi oleh sejarahnya sendiri. C. Metodologi Penafsiran. Pemahaman teori penafsiran diatas tidak akan menciptakan berpikir yang sistemik jika tidak menggunakan pendekatan ilmu metode didalam menafsirkan teks al-Quran. Dikalangan para sarjana Islam klasik banyak menggunakan metodologi penafsiran untuk memudahkan didalam memahami teks-teks suci al-Quran. Karena perkembangan penafsiran teks al-Quran tidak akan terjadi tanpa adanya metode tafsir, menurut Hasan Hanafi bahwa pemahaman al-Quran tidak akan terjadi kecuali dengan menggunakan metode tafsir baik secara sadar maupun tidak sadar. Maka metode-metode tafsir merupakan pendahuluan yang niscaya untuk memahami dan merubah al-Quran dari wahyu ilahi menjadi tujuan manusia, dari kalam Tuhan yang diturunkan kepada Nabi menjadi kalam manusia yang ditujukan kepada berbagai kelompok kemanusiaan. Dengan demikian teori tafsir dapat diklasifikasi kedalam sejumlah metode tafsir yang asasi. 1. Metode Linguistik Metode ini sudah lahir dalam sejumlah tafsir linguistik karena pada waktu itu zamannya banyak menggunakan tradisi lingistik, balaghah, hafalan, fashahah, dan bayan yang digunakan oleh orang-orang Arab baik kalangan sarjana Islam maupun non Islam. dan pada umumnya orang-orang Arab pada waktu itu menggunakan bahasa retorika dan sya'ir. Jadi wajar jika tafsir linguistik lahir sebagai ciri zaman, khususnya karena al-Quran itu sendiri adalah kitab balaghah yang dipakai untuk otoritas linguistik seperti syair Arab klasik, retorika dan tamzil Arab. Sebagian umat Islam awal masuk Islam dengan berangkat dari linguistik dan kefasihan al-Quran karya al-Baqillani, al-Jurjani dan lain-lain, lahir dengan berangkat dari kemukjizatan linguistik. Tafsir-tafsir ini dilakukan oleh pakar-pakar linguistik, bukan kaum mufassir, karena al-Quran adalah kitab balaghah. 2. Metode Historis Metode histories menonjol dalam kitab-kitab tafsir yang tebal dan didominasi oleh metode transmisi riwayat, yang dikalangan ulama klasik disebut berdasarkan otoritas riwayat (at-tafsir al-ma'shur). Oreintasi ini lahir di zaman ketika pengetahuan berasal dari transmisi tradisi dan riwayat, penggunaan sahabat, tabi'in, yang dikembangkan oleh generasi berikutnya sehingga menjadi aliran penafsiran baik aliran yang mengutamakan salaf atas khalaf, menggiatkan peninggalan dan melensterikan tradisi. Yang pertama, informasi sejarah yang begitu luas tentang obyek wahyu, pembukuan al-Quran, sunnah, kehidupan Rasul dan sahabat, cara pertumbuhan Negara islam dan pembebasan. Yang kedua, obyektifitas, kesucian, netralitas dan kataqwaan internal karena mereka meriwayatkan data-data itu dari sahabat Nabi dan Tabi'in sehingga tidak begitu terpengaruh perbedaan mahzhab. 3. Metode Fikih Metode fikih dominan dalam penafsiran al-Quran secara fikih untuk menetapkan hokum Islam. tafsir-tafsir ini tumbuh pada masa pembukuan syariah, penyebutan perbedaan antar berbagai mazhab dan lahirnya fikih kelompok keagamaan dengan berusaha untuk membangun Negara-negara kecil mazhab. Kelebihannya ada dua macam, yang pertama, memberikan tekanan terbesar pada aspek penetapan hukum dalam wahyu dan menjelaskan bahwa wahyu bukanlah semata-mata akidah, tetapi juga syariah. Syariah bukanlah semata-mata berasal dari deduksi pakar-pakar fikih, tetapi juga dinash dalam wahyu yang mampu mengatur masyarakat dan mendirikan Negara. Yang kedua, mentransendensi perbedaan mazhab dogmatis menuju semacam tasyri bagi umat Islam dan upaya paling tidak kesepakatan praksis untuk mempermudah kehidupan manusia setelah terjebak kedalam perbedaan teoritis yang serius yang berdasarkan kepada maslahat umat. 4. Metode Filosofis Metode ini, tampak dalam penafsir dan muktazilah yang berlandaskan pada akal tanpa otoritas tradisi dan syara' dengan metode sufi dalam takwil, walaupun berbeda dengannya dalam metode takwil akli atau bathini. Tafsir-tafisr ini telah lahir setelah masa penerjemahan dan penelahaan umat Islam atas peradaban tertangga, kemudian mempresentasikan, memahami dan meresponnya dengan berdasarkan pada akal dan nalar, bukan dengan teks harfiah. Muktazilah, kemudian kaum filosof, ambil bagian dalam proses ini, karena adanya kesamaan antara kedua kelompok pemikir ini dalam aspek metode akal dan nalar. Sedangkan tafsir mempunyai kelebihan antara lain, pertama, melampuai metode tekstual, kedua, jauh dari fanatisme dan mengkafirkan lawan, ketiga, mampu berinteraksi, mengakumulasi, mengikuti dan merespon peradaban lain. 5. Metode Sufistik Dengan metode ini, mengindikasikan bahwa tafsir sufistik lebih mengarahkan terhadap totalitas kejiwaan yang berdasakan pada cinta ilahi semata. Tafsir-tafsir ini telah muncul dalam kondisi historis khusus setelah kelompok-kelompok perlawanan nyata berakhir dan disapu, perlawanan ahli bait, syi'ah, dan khawarij dibongkar total. Disamping itu, mereka bertumpu pada symbol sebagai kamuflase, penyelamatan jiwa semata. Metode ini memiliki sejumlah kelebihan antara lain, pertama, berangkat pengalaman hidup bukan dari teks. Kedua, merubah wahyu menjadi pengalaman manusiawi umum tanpa memperhatikan keimanan dan aliran individu. Ketiga, memandang secara terpadu segala sesuatu berdasarkan pada tauhid. Keempat, mengutamakan aspek praktis dari pada teoritis. Kelima, mementingkan peningkatan gerak untuk menyusun jangka panjang. Keenam, memperhatikan pergumulan, persaingan dalam kondisi-kondisi jiwa. D. Mekanisme Penafsiran. Teori dan metode penafsiran yang disebutkan diatas, maka mekanisme tafsir harus tertuju pada penafsir atau mufassir, karenanya, sejak awal munculnya penafsiran teks al-Quran didalam memahami wahyu sebagai pusat pemahaman tiada lain karena munculnya realitas sosial dan problem kehidupan yang kompleks sehingga para penafsir mencoba untuk mengklasifikasikan terhadap mazhab tafsir dengan penuh syarat tertentu. Jadi cara menafsirkan teks al-Quran yang digunakan oleh penafsir paling tidak memiliki landasan teoritik dalam konstruk pemikiran yang melingkupinya diantara lain, pertama penafsir sebagai manusia, kedua, penafsiran tidak lepas dari bahasa, sejarah, tradisi pemikiran dan ketiga, tidak teks yang menjadi wilayah dirinya sendiri. Maka kesadaran penafsir terhadap beragam penafsiran yang dilakukan oleh zamannya perluh adanya pembenahan secara sistemik dalam rangka untuk mengkritisi kedaran umat Islam dalam pertautan sejarah yang berhubungan dengan teks al-Quran yang ditulis olek situasi dan kondisi tertentu. Ada tiga macam untuk mengktisi kesadaran penafsiran yang tidak lepas dari dirinya sang penafsir sebagai manusia, penafsiran tidak lepas dari bahasa, sejarah serta tradisi serta teks yang menjadi wilayah dirinya sendiri yaitu kritik historis, kritik eidetis dan kritik praksis. 1. Kritik Historis Kritik historis ini berawal dari asumsi bahwa, otentisitas teks al-Quran dibuktikan melalui kritik didalam sejarah. Kritik ini, harus bebas dari hal-hal yang berkaitan dengan teologis, mistik, filosofis atau bahkan fenomenologis. Keaslian teks suci tidak dijamin oleh takdir Tuhan. Pemahaman dogmatika yang lama di dengungkan dalam sejarah maka kritik teks al-Quran harus diteliti dalam bentuk peralihan teks lisan kedalam bentuk teks tulisan. Kritik ini, tidak membahas tentang teks al-Quran yang bersifat metafisis melainkan mengkritik teks al-Quran yang ditulis oleh sejarah yang panjang. Kalam Tuhan sebenarnya berbentuk bahasa transendental yang direkam oleh Nabi melalui ruh al-Amin untuk disampaikan pada umatnya dalam bentuk bahasa lisan, kemudian ditafsirkan dalam bentuk penafsiran yang beragam dengan penuh perbedaan dalam memahami Teks al-Quran yang berbahasa tulisan. Keaslian wahyu didalam sejarah, lebih lanjut menurut Hasan Hanafi, ditentukan oleh tidak adanya syarat-syarat kemanusiaan didalamnya. Kata-kata yang diterima Nabi dan didektikan langsung oleh Tuhan melalui malaikat, langsung pula didektikan oleh Nabi kepada para penyalinnya pada saat pengucapannya dan dilestarikan sampai saat ini dalam tulisan. wahyu semacam ini tidak melalui tahap penagalihan lisan, tapi ditulis pada saat pengucapannya.dengan demikian, kritik historis tidak membicarakan wahyu yang abstrak namun proses sejarah yang ditulis oleh pakar ilmuan masa klasik sehingga menghasilkan pemahaman yang obyektif dengan hanya al-Quran yang memenuhi prasyarat, wahyu ditulis dengan verbal yang secara harfiyah dan kebahasaan sama dengan yang diucapkan Nabi. 2. Kritik Eidetis Setelah melalui kritik sejarah yang dilakukan demi menentukan keaslian kitab suci, seorang penafsir dapat melakukan proses interpretasi atau yang secara teknis ia sebut sebagai kritik eidetis. Metode yang sedianya berfungsi untuk mengalisis fenomena di cangkok kedalam penafsiran pembacaan teks. Oleh karena itu, obyeknya adalah teks dan maknanya sebagaimanayang ditangkap oleh kesadaran. Suatu penafsiran harus menghindarkan diri pada pengulang-ulangan prasangka tetentu dari dogma. Karena hal ini, akan menjurumuskan suatu penafsiran ke dalam dugaan-dugaan semata. Seorang penafsir harus memulai pekerjaanya dengan tebula rasa, tidak boleh ada kecuali analisis linguistiknya. Kritik eidetik, berada pada tiga level atau analisis. Pertama, pada analisa bahasa, kedua, analisa konteks sejarah, ketiga generalisasi. Analisis linguistik terhadap kitab suci memang bukan dengan sendirinya merupakan analisis yang baik, akan tetapi ia merupakan alat sederhana yang membawa kepada pemahaman terhadap makna kitab suci. Dalam analisis bahasa menunjukkan pentingnya fonologi, morfologi leksiologi, dan sintesis. Sementara prinsipprinsip kebahasaan diatas dengan latar belakang sejarah ditentukan, dikakukan generalisasi. Generalisasi disini berarti mengangkat makna dari situasi saat dan situasi sejarahnya agar dapat menimbulkan situasi-situasi lain. Pada tahap terakhir ini, penafsiran menginginkan diperolehnya makna baru dari kegiatan penafsiran yang berguna untuk menyikapi beragam kasus-kasus spesifik dalam kehidupan masyarakat. 3. Kritik Praksis Generalsasi pada tahap eidetic diatas membuka jalan bagi kritik praksis yang menjadi tujuan penafsiran aksiomatik. Penafsiran pembebasan al-Quran semenjak awal memang merupakan car abaca al-Quran dengan maksud-maksud praksis. Dengan kepentingan perhatian besar pada transformasi masyarakat. Relasi wahyu terjadi dengan merealisasikan perintah Tuhan. Hal ini, tidak berarti hanya dituntut sekedar kepatuhan dari seseorang, tatpi sebaliknya manusia dianggap sebagai hamba sahaya atau hewan yang bergerak. Namun Tuhan menyatakan kejadian manusia dalam kesempurnaan. Sifat ini terjadi untuk mengktik terhadap dokmatika yang mempunyai problem social sehingga kritik praksis memasuki tahap bertindak didalam kehidupan sehari-hari. E. Kesimpulan. Kaidah penafsiran dalam al-Quran merupakan keharusan bagi penafsir untuk mengikuti aturan-aturan penafsiran yang sesuai dengan kemampuan yan dimilikinya, baik dalam penguasaan al-Quran dengan Tafsirnya, al-Hadist dengan periwatannya. Dengan demikian pengembangan dan perkembangan sejarah penafsiran al-Quran dengan corak dan metode yang berbeda pula maka perhatian pemikiran penafsiran yang dikembangkan oleh si penafsir dengan kesadaran baik kesadaran sejarah, kesadaran eidetik dan praksis yang membentuk lingkaran penafsiran. Sesuai dengan teori dan metode serta mekanisme yang digunakannya. Bahan Bacaan Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir Untuk IAIN, Stain, PTAIS, Bandung: Pustaka setia, 2000. B. Saenong, ilham. Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir al-Quran Menurut Hasan Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002. Bleicher, Josep. Hermeneutika Kontemporer, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007. Faiz, Fahruddin, Hermeneutika al-Quran, Tema-tema Kontroversial.Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005. Hanafi, Hasan. Metode Tafsir Dan Kemaslahatan Umat (Terj), Yogyakarta: Nawesea Press, 2007. ___________. Hermeneutika al-Quran (Terj) Yogyakarta: Nawesea press, 2009. Wijaya, Aksin, Arah Baru Studi Ulum al-Quran, Memburu Pesan Tuhan di Balik fenomena Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar