Sabtu, 16 Februari 2013
METODE DAN PENDEKATAN INTERPRETASI STUDI AL-QURAN: SUATU BACAAN HERMENEUTIK DALAM PEMIKIRAN ISLAM
METODE DAN PENDEKATAN INTERPRETASI STUDI AL-QURAN:
SUATU BACAAN HERMENEUTIK DALAM PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
Tauhedi As'ad
A. Pendahuluan
Al-Quran sepanjang sejarah, tidak pernah surut dan kering untuk mengkaji dan memahami kebenaran sehingga manusia menemukan kebenaran secara obyektif. Kemudian al-Quran sebagai teks yang tidak pernah mati karena al-Quran sebagai “Peradaban Teks” yang harus ditemukan kedalamannya sehingga umat Islam mencoba mendekati pemahaman dan kebenaran al-Quran dari beberapa sudut pandang. Namun perkembangannya, al-Quran sebagai landasan universal untuk mengkaji perkembangan pemikiran Islam, sehingga al-Quran sebagian digunakan sebagai alat legetimasi wacana keIslaman dan politik kekuasaan didalam tindakan keagamaan umat Islam, maka interpretasi teks al-Quran tersebut bercorak ekslusif dan tidak mau menerima kebenaran pemikiran lain. Akhirnya berimplikasi pada perdebatan penafsiran teks al-Quran yang tidak kunjung usai, namun pemikir Islam kontemporer terus merekonstruksi untuk menafsirkan teks al-Quran secara kritis dan inkslusif. Sedangkan konsep interpretasi yang digunakan oleh pemikir Islam klasik hanya berkisar pada teori teks penggagas awal yakni tentang konsep ontologis wahyu.
Namun pada masa Muhammad problem penafsiran langsung dijawab dari al-Quran dan Hadist sedangkan al-Quran sebagai teks peristiwa untuk merespon realitas yang melingkupinya, kemudian Hadist memperjelas maksud dari pesan wahyu Tuhan untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi didunia Arab baik berbentuk bahasa lisan, perbuatan dan pengakuan. Dalam lingkaran penafsiran al-Quran tidak lepas, baik dari teks, pengarang dan pembaca. Seharusnya model lingkaran hermeneutik tersebut mampu bernegosiasi dan tidak ada penafsiran yang tunggal dan berwenang terhadap otoritas teks didalam menafsirkan al-Quran secara obyektif, karena penafsiran tersebut dalam memahami pesan wahyu Tuhan diberlakukan untuk realitas sesuai dengan peristiwa tertentu, maka teori penafsiran al-Quran dengan menggunakan metode hermenetika, akan melahirkan pembaharuan teks untuk membebaskan dari otoritas teks yang baku dan statis.
Sementara pandangan Ulama pada umumnya, bahwa al-Quran sebagai ajaran yang sakral baik secara lafadz maupun maknanya, padahal wahyu Tuhan harus diberlakukan secara universal-transendental dengan menggunakan bahasa langit, kemudian ditafsirkan dengan bahasa bumi yang tertulis. Dengan memahami al-Quran tidak akan terjadi sesuatu kecuali dengan tafsir, baik secara sadar maupun tidak sadar. Maka konsep pesan wahyu Tuhan tersebut diberikan kebebasan untuk menafsirkan terhadap pemahaman studi al-Quran sesuai problem dan peristiwa tertentu. Oleh karenanya, perdebatan interpretasi al-Quran yang dilakukan oleh pemikir Islam klasik didalam memahami kebenaran teks untuk menciptakan realitas, dan serta tidak kunjung usai terhadap penafsiran teks keagamaan terutama mengenai pemaknaan al-Quran sebagai wahyu Tuhan yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. maka tulisan ini, mencoba mendeskripsikan teks al-Quran secara metodologis dengan menggunakan pendekatan hermenetika Negosiatif terhadap studi tafsir al-Qur’an kontemporer
B. Metode dan Pendekatan Tafsir al-Quran
Dengan metode ini, sebagai alat penafsiran untuk mendekati kebenaran wacana studi tafsir dalam memahami teks al-Quran . Maka uraian berikutnya penulis mengkaji hasil produksi metode penafsiran al-Quran sebagai sumber pemahaman Islam secara metodologis dengan pendekatan hermeneutik yang digunakan oleh pemikir Islam kontemporer. Dengan wacana al-Quran sebagai landasan teks tertulis, maka perlu menggunakan seperangkat isi wacana dalam analisis teks al-Quran untuk menemukan makna signifikansi. Didalam analisis wacana, teks tidak lepas dari konteks yang melingkupinya, sehingga melahirkan beragam penafsiran. Terbukti pemahaman tentang konsep ontologis wahyu Tuhan masih menjadi berdebatan dikalangan para ulama, sementara para pemikir Islam klasik dalam memahami wahyu Tuhan lebih didominasi oleh penggunaan nalar bayani untuk mensyakralkan al-Quran sebagai otoritas teks, sehingga nalar teks menjadi kekuatan dominasi untuk memproduksi wacana penafsiran dan menyingkirkan wacana tafsir yang lain. Untuk itu, metode hermeneutika sangat populer dalam mengkaji studi tafsir al-Quran kontemporer.
1. Hermeneutika Sebagai Landasan Pemahaman
Hermeneutika merupakan studi kajian yang diterapkan oleh pemikir kontemporer untuk menafsirkan kembali kitab suci dari bahasa Tuhan ke bahasa manusia. Sedangkan epistemologi hermeneutika barasal dari bahasa yunani yaitu hermeneuein yang berarti "menafsirkan". Kata ini sering diasosiasikan dengan nama salah seorang Dewa Yunani, Hermes adalah seorang utusan dewa untuk menyampaikan kepada manusia. Jadi Hermes bertujuan untuk membawa pesan dari bahasa langit yang bisa dipahami kedalam bahasa bumi. Dengan demikian hermeneutika bisa dipahami dengan tiga bentuk Yang pertama tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa oleh Hermes, yang kedua perantara atau penafsir, yang ketiga adalah penyampaian pesan bisa dapat dipahami dan sampai kepada yang menerima.
Dengan beberapa diskursus diatas, hermeneutika bisa dirangkai untuk memberikan pengertian dengan menyebutkan bahwa, hermeneutika adalah proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti. Dengan definisi ini, agaknya merupakan pengertian yang universal, karena jika dilihat dari terminologinya, kata hermeneutika bisa disamakan dengan tiga pengertian. Yang pertama, pengungkapan pikiran dalam kata-kata, penerjemahan dan tindakan sebagai penafsir. Yang kedua, usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui kedalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh pembaca. Yang ketiga, pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas. Penjelasan pengertian diatas akan mempermudah didalam memahami penafsiran teks suci yang terus digali makna pesannya secara ilmiah.
Sedangkan substansi hermeneutika didalam memahami interpretasi teks, sesungguhnya memusatkan pada interpretasi teks sebagai tempat produksi wacana pemahaman diatas pemahaman yang dilakukan oleh pengarang. Sedangkan menurut Paul Ricoeur hermeneutika penekananya hanya pada konsep teks yang di formulasikan sebagai karya diskursus interpretasi tertulis dengan karakteristik teks bisa dirinci berdasarkan yang pertama, kategori produksi dan kedua, hubungan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan. Kategori hermeneutika tersebut, teks bisa dilacak dengan relasi wacana diskursus interpreter yang dipengaruhi oleh realitas zamannya. Oleh karena itu, teks harus memisahkan diri secara otonom dengan lingkaran hermeneutis baik dari watak teks itu sendiri, interpreter, pembaca dengan dunianya.
2. Hermeneutika Sebagai Sistem Berpikir
Pemahaman hermeneutika secara teoritis yang digambarkan secara umum maka uraian berikutnya, akan mengkaji hermeneutika dengan cara berpikir sistemik sesuai dengan perkembangan sejarahnya. Namun hermeneutika mempunyai prinsip-prinsip interpretasi untuk mengalisis perkembangan teks yang ditulis oleh zamannya, sehingga klasifikasi interpretasi teks mempunyai muatan yang sangat signifikan terutama dalam aspek teoritik, filosofis dan kritis. Pembagian hermeneutika tersebut mempermudah untuk mencari corak penafsiran baik dilakukan oleh pemikir klasik maupun pemikir kontemporer. Dengan berpikir sistemik akan membentuk metodologi serta akan melahirkan pemahaman tafsir untuk mengkaji teks yang inklusif.
Secara garis besarnya bahwa hermeneutika menjadi tiga bagian, yang pertama hermeneutika romantis (teoritis) yaitu merupakan kajian penuntun bagi sebuah pemahaman yang akurat dan proporsional dengan tokohnya Schleirmacher, W. Dilthey dan juga Emilio Betti, yang kedua hermeneutika historis (filosofis) yaitu lebih melangkah kedalam aspek penafsiran yang dipengaruh oleh faktor psikologis, sosiologis untuk memproduksi pemahaman dengan tokohnya Heideger dan Gadamer, sedangkan yang ketiga hermeneutika kritis (ideologis) yaitu merupakan determinasi historis didalam proses pemahaman dengan tokohnya Jurgen Habermas. Penjelasan diatas secara singkat, bahwasanya hermeneutika merupakan lingkaran yang saling berkaitan baik dengan teks, dan pengarang serta pembaca untuk memberikan wacana penafsiran yang inklusif dan negosiatif. Dengan ketiganya ini, merupakan kunci didalam menemukan makna signifikansi.
3. Hermeneutika Sebagai Mitra Tafsir
Apa hubunganya hermeneutika dengan tafsir, secara kebahasaan ada kesamaan pengertian, namun pengertian istilah keduanya dilahirkan pemikiran yang berbeda. Sedangkan hermeneutika berasal dari yunani kemudian diadopsi oleh kristen, sementara tafsir berasal dari Islam untuk mengkaji teks suci al-Quran yang beragam tafsir. Akan tetapi dikalangan para pemikir Islam banyak yang menerima dan menolak terhadap konsep hermeneutika sebagai pendekatan studi al-Quran, sebenarnya perbedaan didalam menggunakan hermeneutika tersebut terletak pada metodologi yang digunakan untuk mengkaji terhadap perkembangan tafsir yang dilakukan oleh pemikir studi Ulumul-Quran. Terbukti para pemikir Islam klasik masih menyimpan perbedaan penafsiran seputar ontologi wahyu Tuhan yang dibungkus kedalam bahasa Arab sebagai media komunikasi, sehingga penafsiran teks al-Quran terus diteliti oleh pemikir Islam kontemporer dengan pendekatan hermeneutika terutama dalam aspek linguistik dan semiotik.
Hermeneutika sebagai perangkat prinsip-prinsip penafsiran teks al-Quran yang digunakan oleh pemikir Islam kontemporer baik mengkaji tentang keIslaman maupun ilmu-ilmu sosial. Namun kerja mekanisme penafsiran studi al-Quran yang digunakan hanya berposisi pada relasi teks, pengarang dan pembaca. Sebenarnya hermeneutika berpijak pada prinsip-prinsip dasar bahwa teks merupakan ekspresi perangkat lingustik yang mentransformasikan ide pangarang kepada pembaca. Jadi persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Karena itu, ada tiga mekanisme hubungan hermeneutika, yang pertama hubungan pengagas dengan teks, yang kedua pembaca dengan penggagas dan yang ketiga hubungan pembaca dengan teks. Namun hubungan kedua dan ketiga menjadi satu bentuk hubungan, maka hubungan penggagas dengan teks dan pembaca.
Hubungan Penggagas Dengan Teks
Yang dimaksud hubungan penggagas dengan teks adalah dalam arti, apakah teks itu menjadi media penyampaian pesan penggagas kepada audiens, karena teks itu masih terikat dengan penggagas atau teks itu mempunyai eksistensinya sendiri yang terpisah dan terlepas dari pengagas? Persoalan yang profan ini menjadi perdebatan panjang dikalangan ahli bahasa, apalagi menyangkut sesuatu bersifat sakral, hubungan al-Quran sebagai teks dengan Tuhan sebagai Penggagas. Menyangkut hubungan penggagas dengan teks profan pada umumnya, paling tidak terdapat tiga bentuk hubungannya.
Pertama, empiris-posistivisme. Model ini mengandaikan teks menjadi wahana penyampaian pesan penggagas kepada audiens, tetapi ia mempunyai dunia sendiri yang terpisah dari penggagas. Karena itu, kebenaran pemahaman atas teks tergantung pada hubungan teks itu dengan penggagas, melainkan logika internal bahasa itu sendiri, melalui struktur internal bahasa yang digunakan, baik aspek sinteksis maupun semantik.
Kedua, fenomenologis. Berbeda dengan yang pertama, model kedua mengandaikan teks sebagai media penyampaian pesan subyek kepada audiens. Ia menjadi kongkretisasi maksud tersembunyi dari subyek yang menyatakannya. Teks dalam konteks ini bertujuan menciptakan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pambaca. Karena itu, untuk mengetahui maksud yang tertuang dalam teks ini harus dikaitkan dengan penggagasnya, selain struktur internal bahasa itu sendiri.
Ketiga, pascastrukturalis atau posmodernis, model ini mengandaikan bahasa bukan semata-mata sebagai media penyampaian maksud subyek secara jujur, melainkan sebagai media dominasi. Ia mencurigai adanya "konstelasi kekuatan yang ada dalam proses pembentukan dan produksi teks", disamping posisi subyek sebagai subyek. Teks menjadi wacana media dominasi dan kuasa.
Jika teori penafsiran dikaitkan ke dalam studi al-Quran, maka pertanyaan yang diajukan menyangkut, apakah Tuhan sebagai pembuat bahasa atau sebagai pengguna, sementara bahasa al-Quran berasal dari masyarakat Arab. Jika yang pertama dipilih, maka itu berarti, lafadz dan makna al-Quran barasal dari Tuhan. Al-Quran segi lafadz dan maknanya bersifat suci atau sakral. Sebaliknya jika yang kedua yang dipilih, maka yang sakral hanyalah maknanya, sementara lafadznya tidak dalam posisi sakral. Namun demikian, lafadznya sebagai wadah pesan tetap harus dihormati.
Hubungan Pembaca Dengan Teks Dan Penggagas
Bentuk hubungan dengan penggagas dengan teks sangat menentukan hubungan pembaca dengan penggagas atau teks. Itu terutama dalam konteks pembacaan, apakah pembacaan terhadap teks bertujuan menemukan maksud penggagas, maksud teks atau maksud pembaca? Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur penafsiran antara penggagas dengan teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing penafsiran. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori penafsiran yaitu penafsiran teoritis, filosofis dan kritis.
Pertama hermenutika teoritis problem penafsirannya terletak pada metode. Pandangan ini mempersoalkan metode apa yang sesuai untuk menafsirkan teks sehingga mampu menghindarkan seorang penafsir dari kesalahpahaman, untuk menemukan makna obyektif dengan aliran ini, ada dua bagian yang perlu diperhatikan dalam kegiatan penafsiran teks, yakni penafsiran gramatikal dan psikologis. Prinsip yang penting dalam penafsiran gramatikal ini adalah, pertama, segala sesuatu yang membutuhkan ketetapan makna dalam suatu teks tertentu hanya dapat diputuskan dengan merujuk pada lapangan kebahasaan lain untuk kebudayaan yang berlaku diantara pengarang dengan audien. Kedua, makna dari sebuah batang tubuh teks ditetapkan dengan merujuk pada koeksistensinya dengan kata-kata lain di sekelilingnya.
Kedua, hermeneutika historis, penafsiran ini, lebih memasuki kedalam pandangan sejarah penafsiran dengan asumsi-asumsi epistemologis, tidak hanya dalam dunia teks, tetapi juga dunia pengarang dan dunia pembacanya. Problem utamanya adalah bagaimana tindakan memahami itu sendiri, sebagai penggagas penafsiran filosofis. Jadi penekananya terletak pada realitas penafsiran terhadap teks yang melingkupinya sehingga penggagas memproduksi makna obyektif. Dengan pemahaman historisitas tidak akan kembali terhadap penafsiran masalah lampau karena teks penafsiran dipengaruhi oleh sejarahnya sendiri.
Ketiga, hermenutika Kritis, hermeneutika ini beroreintasi untuk mengungkap sesuatu kepentingan dibalik teks, dengan tokohnya Habermas. Kendati memberikan penilaian positif atas gagasan Gadamer yang mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca. Habermas sebagai penggagas hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutikannya yang oleh dua model hermeneutika sebelumnya justru diabaikan. Sesuatu dimaksud adalah dimensi ideologis penafsir dari teks sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman sebagaimana dipahami dua model hermeneutika sebelumnya, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.
C. Pergulatan Interpretasi Studi al-Quran
Sentral perbedaan dan perdebatan dalam menafsirkan teks yang dilontarkan oleh pemikir Islam klasik hanya berkisar pada konsep tentang ontologi wahyu Tuhan, disini ada perbedaan pandangan mengenai istilah wahyu. Menurut Izutsu Wahyu merupakan salah satu kata yang kerap kali digunakan dalam sya’ir Pra Islam dan juga digunakan dalam Islam. Sedangkan dari segi bahasa, kata wahyu banyak arti, akan tetapi di dalam kamus Lisanul Arbiy, juga memasukkan makna-makna lain seperti, “ilham, isyarat, tulisan dan kalam” kedalam kata wahyu, dengan definisi wahyu sebagai dua komunikasi yang samar dan rahasia. Sementara wahyu sendiri meliputi aspek komunikasi yang tersebumbunyi dan melibatkan aspek ketuhanan dengan menggunakan bahasa transendental, sedangkan unsur-unsur wahyu yang terlibat aktif adalah bahasa komunikasi, kata-kata tersebut berarti mengandung nilai-nilai rahasia untuk terlibat didalam pesan komunikasi. maka dalam teori komunikasi ada tiga unsur yaitu komunikator, komunikan dan media.
Singkatnya, ada tiga unsur yang terkait dengan konteks wahyu: yang pertama komunikasi. Dalam bingkai teori komunikasi, Tuhan berposisi sebagai komunikator aktif sedangkan Muhammad berposisi sebagai komunikan pasif, dan bahasa Arab adalah sebagai media komunikasi. Ini mengandaikan dalam komunikasi tidak terdapat lebih satu orang, minimal dua orang. kedua tidak harus bersifat verbal. Dengan kata lain, isyarat-isyarat yang digunakan dalam komunikasi tidak selalu bersifat linguistik. Ketiga selalu terdapat hal-hal yang bersifat misterius, rahasia dan pribadi.
Berbeda dengan al-Quran, al-Quran sendiri adalah bahasa oralitas yang ditulis dengan menggunakan bahasa Arab sebagai alat media. Menurut Hasan Hanafi bahwa al-Quran adalah kitab yang ditulis oleh bahasa tertentu yaitu bahasa Arab. Sedangkan al-Quran memasuki level kedua setelah wahyu Tuhan yang tidak terikat pada ruang dan waktu, namun penyampaian pesan wahyu Tuhan yang diberikan mandat kepada Muhammad untuk disampaikan kepada umatnya agar dapat dimengerti dan dipahami sesuai dengan bahasa kaumnya, maka media bahasa sebagai sarana untuk diungkap secara verbal, sementara Muhammmad membahasakan bahasa pesan Tuhan dengan bahasa parole. Dengan bahasa Muhammad kepada umatnya adalah sebagai sistem tanda bahasa untuk memahami relitas masyarakat Arab, karena Muhammad dilahirkan didunia Arab sehingga media bahasa yang disampaikan kepada umatnya adalah menggunakan berbahasa Arab. Lalu al-Quran diresmikan menjadi pedoman yang dibukukan oleh khalifah Ustman bin Affan dan dijadikan pegangan umat Islam sampai sekarang, al-Quran sebagai mushaf Ustmani atau bahasanya Arkoun di sebut dengan kitab “Korpus Resmi Tertutup”.
Ada perbedaan pandangan dari pemikir Islam klasik dalam memahami mushaf ustmani (al-Quran) mengenai status ontologi wahyu Tuhan, apakah al-Quran Qadim atau makhluk. Menurut yang pertama kalangan muktazilah dari kelompok rasionalis bahwa al-Quran adalah hadist dan makhluk, karena Tuhan tidak sama dengan makhluknya dan selain Tuhan adalah ciptaanya. Golongan muktazilah sebenarnya Tuhan berada posisi transendental dalam dzat suci yang tidak ada yang menyamai Dia. Sedangkan pendapat kedua al-Quran bersifat Qadim. Pendapat ini dari golongan Abu Hasan Asy’ari, dengan mengacu kepada tokoh Imam Hambali, bahwa kalam Allah adalah sifat Tuhan, sebagai Sifat-Nya, tentunya ia Qadim, sebaliknya yang hadits hanyalah makhluknya. Pendapat Asy’ari ini didasarkan pada dua sumber otoritatif dalam Islam, al-Hadits dan al-Quran; “Tidaklah seorang-pun diantara kalian kecuali Allah akan mengajak bicara kepadanya yang diantaranya bahwa dia tidak ada juru bicaranya’ (HR. at-Turmudzi), “Ingatlah hanya hak Allah menciptakan dan memerintah” (al A’raf: 54).
Dengan perbedaan pandangan dikalangan pemikir Islam itu terletak pada kalam Tuhan baik dari segi lafadz maupun maknanya. Sedangkan Wahyu Tuhan (al-Quran) berada di lauhul mahfudz baik dari segi makna ataupun lafadznya, sedangkan pada sisi yang lain bahwa al-Quran adalah maknanya saja, sedangkan lafadznya hasil kreasi manusia. Pendapat yang pertama bahwa makna dan lafadznya mutlak dari Tuhan yang telah disampaikan Jibril kepada Muhammad dan apa yang Tuhan janjikan untuk dipelihara adalah dua unsur tersebut, yang kedua telah dimotori oleh Imam Abu Hanifah bahwa al-Quran sebagai Wahyu yang Qath’i, maka hanya maknanya dari Tuhan sedangkan lafadznya dari Muhammad. Dengan pandangan Imam Abu Hanifah membolehkan penerjemahan bahasa masyarakat yang bersangkutan didalam melakukan shalat sebagai ganti dari bahasa Arab al-Quran.
D. Memaknai Ulang Konsep Islam Dalam Studi al-Quran.
Salah satu model penafsiran teks al-Quran kontemporer adalah memaknai kembali konsep Islam dalam al-Quran. Kemudian menerapkan interpretasi yang berbasis pada negosiasi antara makna awal-obyektif dengan makna signifikansi berkaitan dengan konsep "Islam" dalam al-Quran. Selama ini, kita bingungkan oleh pemaknaan yang umum digunakan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan "kepatuhan total" kepada Tuhan, dalam artian negatif, tetapi dalam konteks komunikasi kemanusiaan kata itu justru dipahami sebagai "paksaan" kepada manusia lain untuk mematuhi dan menjalankan perintah Tuhan secara sukarela atau terpaksa. Dengan kata lain, bagi penganutnya kata itu digunakan arti negatif, sebagai sikap tunduk secara total, sebaliknya diartikan secara positif, sebagai tindakan pemaksaan bagi kelompok lain diluar penganutnya.
Dalam al-Quran, bentuk yang berkaitan dengan "Islam" berbeda-beda, baik segi kata maupun makna kata "Islam" dalam al-Quran berakar kata "s-l-m" dan dari akar kata ini dapat diturunkan berbagai bentuk kata. Akar kata ini berarti "merasa aman, utuh dan integral". Karena kata cabang yang diturunkan dari akar kata ini berbeda-beda, tentunya maknanya juga mengalami perbedaan dan bahkan plural. Dari akar kata yang berbeda-beda itu, makna kata "Islam" dapat diklasifikasikan menjadi dua, yang Pertama, dengan kata "Islam" bermakna "agama". Kata "Islam" dengan makna ini sebutkan sekitar 50 kali dalam al-Quran, dengan pembagian: 8 kali dengan kata benda, 3 kali dengan kata sifat laki-laki "muslim", dan 39 kali disebutkan sebagai kata sifat jamak. Namun, ayat yang menunjukkan kata "Islam" sebagai agama dikemukakan hanya sebanyak 3 kali.
Yang kedua, dengan akar kata yang sama dengan Islam sebagai agama, kata cabang dari kata "Islam" seperti "aslama" dan yang senada dengannya, bermakna ketundukan dan penyerahan diri, dan ia disebutkan sebanyak 24 kali dalam al-Quran. Kata bentuk ini bermakna menyerahkan diri seperti aslama wajhahu lillahi yang berarti "meyerahkan diri", khususnya pada Allah. Pada masa pra Islam, kata "Islam" berarti seorang laki-laki yang menyerahkan barang berharga miliknya yang sulit dilepaskan dan tinggalkan, kemudian diserahkan kepada seseorang yang memintanya. Setelah masuk ke dalam semantik al-Quran, kata aslama mengalami perubahan makna, dari yang semula menyerahkan sesuatu kepada orang lain yang memintanya, beralih menyerahkan sesuatu pada Tuhan. Khususnya menyerahkan diri sendiri dalam bentuk ibadah.
Yang ketiga, Islam bermakna kedamaian dengan bentuk kata "salam" yang dalam al-Quran disebutkan sekitar 157 kali, dengan rincian: berbentuk kata benda sebanyak 79 kali, sebanyak 50 kali berbentuk kata sifat dan berbentuk kata kerja sebanyak 28 kali. Atau dalam bentuk kata benda sebanyak 129 kali dan kata kerja 28 kali. Yang perlu diperhatikan dari kata Islam yang bermakna kedamaian ini adalah mencari argumen kepada bentuk kata "benda" lebih banyak jumlah-jumlahnya daripada bentuk kata "kerja". Jawaban atas pertanyaan ini begitu penting mengingat semangat menjalankan ajaran Islam terdapat di dalamnya. Hal ini tentunya mengandung rahasia tersendiri dari al-Quran. Menurut Hasan Hanafi, kata benda berarti "substansi", sedangkan kata kerja berarti "aksi". Sejalan dengan makna tersebut, kata "salam" dalam al-Quran berarti merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan secara obyektif dan kreatif. Kedamaian bukan saja diucapkan, akan tetapi juga direalisasikan ke dalam kehidupan sosial masyarakat yang plural.
Dengan analisis ini, penulis berpendapat bahwa penempatan kata "Islam" sebagai agama yang bersifat ekslusif, dalam posisi sentral semantik al-Quran, tidak dapat dipertahankan secara semantik, sebaliknya kata "Islam" dalam arti kedamaianlah yang sejatinya ditempatkan sebagai poros semantik al-Quran. Dengan cara ini, kata "Islam" dalam pengertian inklusif bakal menjadikan Islam sebagai penebar kedamaian, bukan penghancur kedamaian. Kesimpulan ini, sejalan dengan Hadits nabi tentang pengertian seorang muslim "orang Islam adalah orang yang menyelamatkan orang lain dari lisan dan tangannnya". Orang Islam jika bertemu dengan sesama muslim, menurut pengertian ini, dianjurkan mengucapkan salam demi perdamaian assalamu'alaikum. Ucapan ini mempunyai arti doa, baik dalam bentuk lisan maupun aksi, bukan malah menghancurkan dan menyerang dengan tujuan agar bumi Allah hanya dihuni orang-orang Islam. Karena itulah, surga-pun disebut "darus-salam", rumah bagi orang-orang yang damai yang bersikap damai dan memberikan kedamaian bagi orang lain.
E. Tafsir Pendidikan Negosiatif: Sebuah Tawaran.
Metodologi pendidikan Islam seharusnya mencari format baru untuk menafsirkan ulang terhadap pemahaman yang ekslusif menuju pendidikan yang terbuka dan pluralistik. Konsep dan kaidah penafsiran pendidikan Islam harus mengacu pada teori negosiasi baik dari Bahan bacaan (Teks tertulis), pemerintah (Penggagas) dan guru-murid (Pembaca) yang saling berkaitan untuk berdialog secara obyektif. Sementara pendidikan Islam di Indonesia tidak menciptakan perdamaian (aslama) yang berbasis pada konteks realitas masyarakat, sehingga corak pemikiran pendidikan Islam mengalami pragmentasi sistem pendidikan nasional. Mestinya pendidikan Islam harus bernegosiasi langsung terhadap berbagai kalangan terutama pihak pemerintah untuk melakukan transformasi didalam menafsirkan pendidikan nasional agar posisi guru-murid (pembaca) menjadi subyek berpikir untuk terlibat dalam merumuskan pendidikan Islam.
Sementara penerapan teori dan pendekatan hermeneutika sebagai landasan berpikir untuk pendidikan Islam masih dianggap asing, karena tradisi pendidikan Islam di Indonesia hanya beroreintasi pada penyerahan dirinya pada Tuhan semata tanpa adanya semangat kesadaran intelektual untuk melakukan perdamaian sosial. Untuk itu, hermeneutika pendidikan Islam bukan hanya untuk diucapkan dengan lisan tapi harus berbentuk praksis yang nyata, serta mampu memberikan pemaknaan kritis terhadap sistem pendidikan Islam yang konservatif. Hilangnya paradigma berpikir kritis yang tidak berpijak pada pendidikan negosiatif akan melahirkan sistem pendidikan ortodoksi hingga gerakan rasioanalisme keagamaan kehilangan semua kekuatan dan entitas organisnya. Kaum ortodok menciptakan sejumlah ruang tertentu dalam disiplin-disiplin pendidikan, namun dengan itu juga secara efektif membatasi perkembangan, baik filsafat maupun sains-sains rasional yang sistematis. Kesempitan dan kekakuan metodologi pendidikan Islam waktu itu sungguh bertanggung jawab atas kemacetan intelektualitas pemikiran Islam.
Dengan asumsi diatas, maka metode pendidikan klasik yang sangat menoton dan pengajarannya yang tidak produktif harus direkonstruksi ulang dengan menggunakan metode kritis-dialogis untuk kemajuan pendidikan Islam kedepan. Salah satu penggunaan metode dan pendekatan hermeneutika dalam pendidikan Islam sebagai penggagas pemikiran untuk mencari makna awal secara obyektif ke makna signifikansi terhadap kebenaran ilmu pengetahuan maka pendidikan Islam harus bersikap untuk menerima perbedaan cara pandang dan merumuskan kembali pendidikan Islam inklusif yang berbasis pada negosiasi sesuai dengan kebutuhan ruang dan waktu. Jika konsep ini diterapkan kedalam dunia pendidikan Islam di Indonesia maka tidak ada saling menyalahkan dan menjatuhkan antara satu sama lainnya. Kemudian memberikan oreintasi dan prinsip-prinsip hermeneutika pendidikan Islam yang berbasis negosiatif dengan berikut.
Pertama, Prinsip Integratif. Prinsip ini memandang adanya wujud kesatuan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, pendidikan akan meletakkan porsi yang seimbang untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Yang kedua, Prinsip keseimbangan. Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip integrasi. Keseimbangan yang proporsional antara muatan lahir dan bathin, antara ilmu murni, dan ilmu terapan, antara teori dan praktek, antara nilai yang menyangkut aqidah, syariah dan akhlak. Yang ketiga, Prinsip persamaan dan Pembebasan. Prinsip ini dikembangkan dari nilai tauhid, bahwa Tuhan adalah Esa. Oleh karena itu, setiap individu dan bahkan semua makhluk hidup diciptakan oleh pencipta yang sama. Pendidikan Islam adalah satu upaya untuk membebaskan manusia dari belenggu nafsu dunia menuju pada nilai tauhid yang bersih dan mulia. Yang keempat, prinsip kontinuitas dan berkelanjutan. Dari prinsip inilah dikenal pendidikan seumur hidup, sebab didalam Islam belajar adalah satu kewajiban yang tidak pernah dan tidak boleh berakhir. Yang kelima, perinsip kemaslahatan dan keutamaan,
Pembagian prinsip-prinsip pendidikan Islam diatas, perlu adanya rincian untuk menjadikan bentuk indikator-indikator sehingga mudah untuk diaplikasikan dan dievaluasi. Selain itu, prinsip-prinsip ini juga dapat dijabarkan menjadi langkah-langkah konseptual dan operasional sehingga mudah diaplikasikan dalam pendidikan Islam, baik yang berhubungan dengan pembacaan teks tertulis, penggagas konseptual pendidikan Islam dan pembacaan hasil produksi pengetahuan. Maka pendidikan Islam akan melahirkan kemajuan jika melakukan kajian kritis terus-menerus untuk menformat pendidikan Islam tranformatif. Inilah kajian dan wacana pendidikan Islam kontemporer dalam merumuskan metodologi hermeneutika kritis yang berbasis negosiatif untuk keluar dari hegemonik dan kemacetan intelektual sepanjang masa. Sementara penerapan pendidikan Islam di Indonesia masih terikat pada sistem pendidikan nasional yang cendrung politis dan kepentingam kekuasan sesaat, sehingga kebijakan pendidikan Islam tersebut tidak holistik, dan tidak memihak pada kepentingan masyarakat yang plural.
Kesimpulan
Al-Quran adalah wahyu Tuhan yang dituliskan dalam bentuk sejarah yang dikembangkan oleh generasi muslim berikutnya. Mulai sejak Muhammad sebagai penerima dan mediator, para sahabat melanjutkan, kemudian dilanjutkan oleh umatnya. Dengan pola pemahaman tersebut, perlu adanya pengembangan keilmuan yang disebut dengan metode ilmiah, metode dan pendekatan dalam mendekati kebenaran pesan wahyu Tuhan adalah didekati dengan hermeneutika sesuai prinsip-prinsip penafsiran. Salah satu cara memahami studi al-Quran untuk melihat produksi pemahaman para sarjana Islam klasik, tiada lain tentang kebahasaan dan majaz atau dalam filsafatnya, disebut lingustik dan semiotik. Sementara para penafsir Islam klasik secara umum hanya fokus pada dua tafsir yaitu tafsir Bil-Ma'sur (tematik) dan tafsir Bil-ra'yu (akal).
Dengan pola pemahaman tafsir diatas, al-Quran sebagai teks tertulis yang ditulis oleh zamannya, sehingga al-Quran menjadi Mushaf Usmani. Diakui atau tidak para sarjana muslim klasik masih banyak menyimpan pandangan kontroversi sekitar eksistensi wahyu Tuhan dalam tinjauan ontologis. Secara umum perbedaannya terletak pada bahasa al-Quran sebagai pemilik bahasa masyarakat arab, sehingga teks terikat pada ruang yang ditulis oleh waktu dan peristiwa tertentu. Perbedaan antara Mu'tazilah dengan akalnya, dan Abu Hasan Asy'ari yang dimotori oleh Imam Hambali sebenarnya terletak pada muatan hakikat al-Quran antara (lama) Qhadim dan Hadits (baru).
Untuk itu, penafsiran sepanjang masa tidak pernah berhenti untuk menformulasikan prinsip-prinsip penafsiran yang berbasis pada negosiatif dalam lingkaran hermeneutika al-Quran baik dari segi teks, penggagas dan pembaca. Maka nilai-nilai metode dan pendekatan dalam studi al-Quran terus-terus dirumuskan kembali dalam bentuk pendidikan Islam agar pendidikan Islam mampu menjalankan misi keislaman yang transformatif demi pendidikan Islam kedepan. Karenanya, dunia kontemporer memasuki Era industri yang mampu mewarnai segala dimensi sosial yang semakin bersaing, maka yang harus dilakukan oleh penggagas pendidikan Islam adalah dialogis secara terbuka dan demokratis.
Daftar Pustaka
Al-Sid, Muhammad Ata, Sejarah Kalam Tuhan, Kaum Beriman Menalar al-Quran Masa Nabi, Klasik & Modern, (Terj) Jakarta: Teraju. 2004.
Abu Zaid, Nasr Hamid, Menalar Firman Tuhan, Wacana Majas Dalam al-Quran Menurut Mu'tazilah, (Terj) Jakarta: Mizan. 2003.
__________________, Hermeneutika Inklusif, (Terj) Yogyakarta: ICIP. 2004.
__________________, Teks Otoritas Kebenaran, (Terj) Yogyakarta: LKiS. 2003.
__________________, Tekstualitas al-Quran, Kritik Terhadap Ulumul Quran, (Terj) Yogyakarta: LKiS. 2003.
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies, Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
Al-Jabiri, Muhammad Abid, Kritik Pemikiran Islam, Wacana Baru Filsafat Islam, (Terj) Yogyakarta: Fajar Pustaka. 2003.
_____________________, Agama, Negara Dan Penerapan Syari'ah, (Terj) Yogyakarta: Fajar Pustaka. 2001.
_____________________, Nalar Filsafat Dan Teologi Islam, (Terj) Yogyakarta: IRCiSoD. 2003.
Abu el-Fadl, Khaled, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif, (Terj) Jakarta: Serambi. 2004.
Arkoun, Muhammad, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, (Terj) Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008.
Blecher, Josef, Hermeneutika Kontemporer, Hermeneutika Sebagai Metode, Filsafat, Dan Kritik, (Terj) Yogyakarta: Fajar Pustaka, Cet-3, 2007.
Brown, Gillian Dan Yule, George, Analisis Wacana, (Terj) Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKiS. Cet-5, 2006.
Faiz, Fahruddin, Hermeneutika al-Quran, Tema-Tema Kontroversial. Yogyakarta: el-SAQ Press, 2005.
Hanafi, Hasan, Metode Tafsir Dan Kemaslahatan Umat, (Terj) Yogyakarta: Nawesea. 2007.
___________, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, (Ter) Yogyakarta: Jendela Grafika. 2001.
Hidayat, Komaruddin, Wahyu Di Langit Wahyu Di Bumi, Doktrin Dan Peradaban Islam Di Panggung Sejarah, Jakarta: Paramadina, 2003.
Harb, Ali, Kritik Nalar al-Quran, (Terj) Yogyakarta: LKiS, 2003.
Izutsu, Toshihiko, Realasi Tuhan Dan Manusia, Pendekatan Semantik Terhadap al-Quran, (Terj) Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Jorgensen, Marianne W Dan Phillisps, Louise J, Analisis Wacana, Teori & Metode, (Terj) Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Ricoeur, Paul, Filsafat Wacana, Membelah Makna Dalam Anatomi Bahasa, (Terj) Yogyakarta: IRCiSoD, 2002.
__________, Hermeneutika Ilmu Sosial, (Terj), Edisi, Ke-II, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008.
Ruslani, Masyarakat Kitab Dan Dialog Antar Agama, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000.
Roqib, Moh, Ilmu Pendidikan Islam, Pengembangan Pendidikan Integratif Di Sekolah, Keluarga, Dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS, 2009.
Soleh, A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004,
Wijaya, Aksin, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, Kritik Atas Nalar Tafsir Gender, Yogyakarta: Safaria Insania Press, 2004.
__________, Arah Baru Ulumul Quran, Memburu Pesan Tuhan Di Balik Fenomena Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
__________, Teori Interpretasi al-Quran Ibnu Rusyd, Kritik Ideologis-Hermeneutis, Yogyakarta: LKiS, 2009.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar