Jumat, 15 Februari 2013

MENGKAJI ULANG PENDIDIKAN AGAMA YANG DIKOTOMIK DALAM KONTEKS PERGULATAN PENDIDIKAN NASIONAL

Mengkaji Ulang Pendidikan Agama Yang Dikotomik Dalam Konteks Pergulatan Pendidikan Nasional Oleh: Tauhedi As’ad (Dosen Tetap FIP-IKIP PGRI Jember) Abstrak Islam tidak mewacanakan dikotomisasi dalam ilmu pengetahuan, baik ilmu yang bersumber pada teks normatif keagamaan maupun ilmu yang bersumber pada empirik dan pengalaman manusia. Dengan paradigma dikotomik tersebut akan melahirkan terhadap lembaga kependidikan yaitu pendidikan yang dibawah naungan pendidikan nasional maupun pendidikan dibawah naungan pendidikan agama. Padahal akar gelombang kemajuan pendidikan Islam sejak abad ke-8 M sampai abad ke 12 M yang didomisasi oleh umat Islam di dalam mengembangkan ilmu sains dan teknologi bercorak integralistik-ensiklopedik, kemudian pada pasca abad 12 M, paradigma pendidikan menjadi dikotomik, beralihan ilmu-ilmu alam menjadi ilmu-ilmu agama sejak Madrasah Nidzamiyah berdiri pada era Abbasiyah, yang bermadzhab Sunni, sehingga kebudayaan dan peradaban Islam secara bertahap mengalami kemunduran. Sedang ilmu sains dan tekhnologi berpindah ke dunia Barat dengan datangnya kolonial-imperealisme Barat ke dunia Islam sampai abad ke-18-19 M, akhirnya pendidikan Barat menggunakan system pendidikan sekularisme. Oleh karenanya, perlunya rekonsialiasi berbagai pihak dalam menciptakan integritas serta mengharmoniskan pendidikan umum dan pendidikan agama yang cenderung ke nalar teosentris ataupun yang cenderung ke nalar antroprosentis perlu merancang konsep baru secara teoritik dengan pendekatan negosiasi antara pihak praktisi dan akademisi sebagai perumus terhadap kebijakan pendidikan nasional dengan tawaran keilmuan baru yaitu dari berpikir positivistik-atomistik ke teoantroposentrik. Kata kunci: Pendidikan dikotomik, Hermeneutika Negosiasi, Teoantroposentrik. A. Pendahuluan Dalam konteks sejarah, Islam mengalami perkembangan pesat terutama masuknya pemikiran Islam pada abad pertengahan, sehingga ilmu tidak membedakan antara ilmu Islam dan non Islam. Pemikiran Islam dan Yunani selalu berdialektika dan menggunakan premis-premis para filsuf Yunani kemudian dikembangkan oleh filsuf Muslim, sehingga pemikiran Islam berimplikasi terhadap perkembangan pendidikan keislaman untuk saling mempertahankan legalisasi kewacanaan yang melahirkan dominasi yaitu pemikiran Islam modern dan pemikiran Islam tradisional. Sedangkan kelompok yang pertama pemikiran Islam modern mengacu pada pembaharuan pemikiran yang kontekstual, sedangkan kelompok yang kedua pemikiran Islam tradisional yang mengacu pada pemikiran yang mempertahankan terhadap pemahaman Islam literalistik dan simbolik keagamaan klasik. Dengan pola pemikiran tersebut akan mempengaruhi pada paradigma berpikir pendidikan dikotomik yang memisahkan materi ilmu pengetahuan. Sementara perkembangan pemikiran pendidikan dipengaruhi dua cara pandang yang pertama pendidikan Islam modern berdialog langsung dengan pemikiran Barat, yang kedua pendidikan Islam tradisional tidak mau berkompromi dengan pemikiran Barat, jika demikian adanya bahwa pendidikan Islam menjadi dualisme pendidikan. Awalnya, konsep pendidikan Islam hanya mengajarkan nilai-nilai moralitas yang bertujuan untuk ketaqwaan dirinya kepada Tuhan. Dengan demikian, Islam menjadi dua kategori, yaitu Islam normatif dan Islam historis, sedangkan Islam normatif merupakan pemahaman yang tidak terikat pada ruang dan waktu, seperti al-Quran dan al-Hadits, sementara Islam historis terikat pada ruang dan waktu, sehingga pemikiran Islam melahirkan kreasi keilmuan, seperti ilmu-ilmu Tafsir, Fiqh, Tasawuf dan lain sebagainya. Dengan corak dualisme pemahaman Islam, maka dikotomisasi ilmu semakin mengakar kuat sehingga berimplikasi terhadap perkembangan pendidikan Islam baik pendidikan Islam modern maupun pendidikan Islam tradisional. Oleh karenanya, kemajuan pendidikan Islam bukan terletak pada ilmuwan yang mengkaji secara rasionalitas melainkan obyek pengetahuan yang dimilikinya untuk dikembangkan sesuai dengan disiplin ilmu pengetahuan masing-masing. Dengan adanya dikotomisasi pendidikan Islam akan melahirkan cakrawala didalam khazanah pemikiran Islam sebagaimana pemikir Islam klasik. Dengan konsep pemisahan ilmu pengetahuan, maka tulisan ini, akan mencoba untuk mendeskripsikan konsep ilmu pengetahuan kedalam pendidikan dikotomik dan dominasi sistem institusi kelembagaan yang berkembang didalam pendidikan Islam kontemporer dengan pendekatan analisis wacana dominasi. B. Kerangka Teori dan Metode Seputar kerangka teori yang hendak digunakan untuk penelitian ini, penulis menggunakan teori hermeneutika negosioasinya Khalid Abu el Fadl yaitu untuk menghilangkan konsep pendidikan dikotomik baik pendidikan agama dan pendidikan umum. Hermeneutika negosiasi berpandangan pada prinsip negosiasi kreatif antara teks, penggagas, dan pembaca, dengan menjadikan teks sebagai titik pusat yang bersifat terbuka. Ketika sebuah pemikiran lepas dari penggagas dan telah mewujudkan otonomi relatif rangkap tiga: otonomi dari penggagas, dari makna awal dan dari audiens awal. Walaupun demikian, pesan penggagas masih tersimpan dalam teks, sehingga pesan itu masih dianalisis melalui pembacaan yang bersifat negosiasi antara penggagas, teks, dan pembaca. Oleh karena itu, teks harus membuka diri dari kepentingan penggagas dibalik pemikirannya. C. Akar Munculnya Dikotomi Ilmu Pengetahuan: Beralihan Ilmu-Ilmu Alam ke Ilmu-Ilmu Keagamaan Dalam sejarah Islam dinyatakan bahwa, dikotomi ilmu diawali adanya gejala kemunduran peradaban Islam secara bertahap sejak munculnya dominasi kekuasaan Muktazilah beralih ke madzhab Asy'ariyah yang di alamatkan kepada Madrasah Nidzamiyah. Dengan madrasah Nidzamiyah yang berpusat pada kota Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan, sedangkan oreintasi ilmu pengetahuan juga mengalami pergeseran pemahaman dari ilmu-ilmu kealaman menjadi ilmu-ilmu keagamaan. Salah satunya adalah al-Ghazali dengan konsep dasar epistemologi tasawufnya yang cenderung teosentris-intuitif, pada akhirnya membedakan ilmu-ilmu agama sebagai sumber primer (pusat) sementara ilmu-ilmu pengetahuan terpinggirkan (cabang). Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Abdurrahhman Mas'ud dalam disertasinya bahwa, erah Nidzamiyah merupakan akar sejarah berkembangnya pendidikan Islam dikotomik. Dengan proses kemunduran peradaban Islam tersebut terus berlanjut dan benar-benar mengalami stagnasi pemikiran Islam dengan jatuhnya kota Baghdad ditangan Hulagu Khan (1258) dan kejatuhan orang-orang Muwahid di Spanyol (1268) ditangan perang Salib. Namun erah kemunduran sebenarnya juga masih ada sisa-sisa pemikir muslim yaitu Ibnu Khaldun (1332-1406) yang eksis sebagai sejarawan untuk mengisi kekosongan intelektual Islam sejak itu dengan suasana kemunduran Islam yang diwarnai kemandekan ijtihad dalam ilmu pengetahuan. Sementara beralihan dunia Islam kedunia Barat terus-menerus melanjutkan pengembangan ilmu pengetahuan tekhnologi mampu mendominasi dunia Islam. maka sejak itulah pemahaman Islam hanya mengajarkan ilmu Islam semata tanpa melibatkan ilmu pengetahuan. Perkembangan dikotomi ilmu agama dan ilmu pengetahuan semakin nampak dimulai sejak era Nidzamiyah. Oleh karenanya, dominasi politik Abbasiyah yang bermadzhab Sunni pada kekuasaan al-Mutawakkil sehingga pendidikan madrasah Nidzamiyah mengalami kekuatan ideologi kekuasaan pasca runtuhnya Muktazilah untuk menyebarkan penerapan kurikulum konservatif terhadap lembaga-lembaga pendidikan. Sejak itulah umat Islam tidak lagi memperdalami ilmu-ilmu sains dan filsafat, pada akhirnya pemikiran rasional beralih pada pemahaman tradisional yang sangat ekslusif. Menurut Stanton, yang tampak senada dengan Makdisi, perihal kasus madrasah Nidzamiyah menguatkan anggapan tentang ekslusifitas kemazhaban madrasah ini sesuai dengan ketentuan sebagai berikut: Hak guna-pakai status wakaf madrasah Nidzamiyah haruslah pengikut madzhab Syafi'ie, dan Staf-staf madrasah Nidzamiyah haruslah pengikut madzhab Syafi'ie, serta madrasah Nidzamiyah harus memiliki tenaga pengajar ilmu al-Quran dan bahasa Arab kemudian setiap staf menerima bagian tertentu dari nilai tambah wakaf. Kemudian pada perkembangan pendidikan yang dikotomik kira-kira pada abad ke-12, yang akan berimplikasi terhadap kebudayaan masyarakat muslim pada umumnya. Ada beberapa faktor secara umum mengenai dualisme sistem pendidikan Islam dikotomik didunia muslim. Pertama, stagnasi pemikiran Islam, kemunduran Islam yang melanda terhadap pemikiran umat Islam sekitar pada abad 16-17 M. Dengan kondisi tersebut merupakan dampak kelesuan umat Islam untuk melakukan pembaharuan politik dan kebudayaan sehingga proses perjalanan pemikiran sarjana Barat semakin berkembang untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, penjajahan Barat atas dunia muslim, penjajahan Barat terhadap dunia muslim sekitar abad ke-18-19 M. yaitu injeksi budaya dan peradaban modern Barat dibawah naungan kekuasaan imperialisme Barat. Ketiga, modernisasi atas dunia muslim, yaitu modernisasi yang muncul untuk berpaduan antara ideologi Barat, teknikisme, dan nasionalisme. Konsep ketiga bentuk dualisme sistem pendidikan Islam tersebut, banyak para sarjana muslim merumuskan kembali tentang perkembangan pendidikan yang berkaitan dengan modernisme Islam agar pendidikan Islam terus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan Barat yang cenderung materialistik. Corak kemajuan Barat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan terutama pendidikan sekuler yang memisahkan agama dengan Negara, maka pendidikan Islam haruslah mampu untuk melakukan transformasi sosial dan budaya dalam rangka memecahkan persoalan dikotomisasi ilmu pengetahuan yang melekat kedalam sistem berpikir umat Islam. Akan tetapi dari kalangan modernisasi Islam tidak disamakan dengan Islamisasi yang didengungkan oleh sebagian para pemikir Islam untuk menciptakan pendidikan Islam dalam konteks nasionalisme, sementara Islamisasi ilmu lebih cenderung Islam sebagai ideologi Negara yang terjebak pada totalisme berpikir teosentris. Dari kalangan modernisasi Islam, mewujudkan pendidikan transformatif untuk mengatasi kemandekan berpikir yang tidak ambisi akan Islam sebagai agama untuk di Islamkan kedalam aspek kehidupan. Pemikiran modernisasi Islam lebih mengarahkan pada kelenturan dan keterbukaan sesuai dengan perkembangan dan kemajuan pluralisme ilmu pengetahuan teknologi. Sementara kalangan Islamisasi ilmu lebih cenderung memberikan pelabelan negatif dengan munculnya dominasi dualisme sistem pendidikan Islam yang cenderung pada penyatuan agama dari Negara. Sehingga konsep pemikiran "Islamisasi" berawal dari kekhawatiran pemikiran keagamaan yang disubordinasi oleh modernime Barat yang materiastik dan tidak akan memberikan pencerahan masa depan agama. D. Implikasi Dualisme Pendidikan Islam: Upaya Pembaharuan Pendidikan Islam Bercorak Interkonektif Sebagai akibat kegagalan pendidikan Islam yang didominasi oleh kebudayaan Barat terutama kebudayaan masyarakat Eropa, maka pola-pola pembaharuan pendidikan Islam yang dirumuskan oleh pemikir Islam kontemporer untuk memadukan dualisme sistem pendidikan agar mengangkat derajat kebudayaan umat Islam untuk menciptakan pendidikan Islam yang harmonis. Ada beberapa pola-pola pembaharuan pendidikan Islam yaitu ada tiga pola. Pertama, pola pembaharuan pendidikan Islam yang beroreintasi kepada pola pendidikan modern di Eropa. Kedua, pola pembaharuan pendidikan Islam yang beroreintasi kepada kemurnian kembali ajaran Islam murni. Ketiga, pola pembaharuan pendidikan Islam yang bertujuan pada kejayaan dan sumber budaya bangsa masing-masing dan bersifat nasionalisme. Dengan kategori pembaharuan pendidikan Islam tersebut akan membentuk suatu sistem pendidikan Barat dengan penyesuaian-penyesuaian Islam untuk kepentingan pendidikan nasional. Di lain pihak sistem pendidikan Islam tradisional yang telah ada dikalangan umat Islam tetap dipertahankan, namun dalam sistem pendidikan modern, pada umumnya dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan modern untuk memasukkan kurikulum dan tenaga ahli kependidikan yang profesional dalam rangka menghadapi tantangan globalisasi agar pendidikan Islam tidak ketinggalan jauh dengan peradaban Barat. Oleh karenanya, pendidikan Islam tradisonal mengalami berbagai krisis yang meliputi aspek yaitu pertama, krisis konseptual berkenaan dengan definisi atau pembatasan di dalam sistem pendidikan Islam itu sendiri. Yang kedua, krisis kelembagaan, yang dimaksud dengan krisis kelembagaan adalah terjadinya dikotomisasi antara lembaga pendidikan agama dan pendidikan umum, yang ketiga krisis karena adanya konflik antara pemikiran dan praktik pendidikan Islam dengan modernitas, yang keempat, krisis metodologi atau krisis pedagogik, yang kelima, krisis oreintasi. Dengan konsep sistem dualisme diatas akan berimplikasi terhadap sistem pendidikan Islam, baik pendidikan Islam modern maupun pendidikan Islam tradisional, sehingga paradigma integritas institusi pendidikan dikotomik akan melahirkan kebijakan yang tumpang tindih baik yang berhubungan dengan cara pengelolahan pendidikan maupun yang berhubungan dengan kebijakan kurikulum terutama ilmu pengetahuan modern. Sedangkan sistem pendidikan Islam tradisional yang merupakan sisa-sisa dan pengembangan sistem pesantren dan madrasah yang telah ada dari dikalangan masyarakat pada umumnya tetap mempertahankan kurikulum tradisional yang hanya memberikan pendidikan dan pengajaran keagamaan. Dualisme sistem dan pola pendidikan inilah yang mewarnai pendidikan Islam di semua Negara dan masyarakat Islam di zaman modern. Daulisme ini pula yang merupakan problema pokok yang dihadapi oleh usaha pembaharuan pendidikan Islam. Pada umumnya usaha pendidikan untuk memadukan antara kedua sistem tersebut telah diadakan, dengan jalan memasukkan kurikulum ilmu pengetahuan modern kedalam sistem pendidikan tradisional, dan memasukkan pendidikan agama kedalam kurikulum sekolah-sekolah modern. Dengan demikian diharapkan sistem pendidikan tradisional akan berkembang secara berangsur-angsur mengarah ke sistem pendidikan modern. Dan inilah sebenarnya yang dikehendaki oleh para pemikir pembaharuan pendidikan Islam, yang beroreintasi pada Islam yang murni, sebagaimana dipelopori oleh al-Afgani, Muhammad Abduh, menurut Abduh sendiri menyatakan bahwa, Islam sangat baik akan tetapi menjadi tertutup oleh umatnya. Sampai sekarang proses pemaduan antara kedua sistem dan pola pendidikan Islam ini, tampak masih berlangsung diseluruh Negara dan masyarakat Islam. E. Pergulatan ke-Lembaga-an Pendidikan Nasional Jika mempertahankan dualisme sistem pendidikan baik dari pendidikan Islam modern dan pendidikan Islam tradisional, maka kemudian akan berkembang terhadap perkembangan pendidikan nasional di Indonesia. Didalam konteks sejarah, bahwa pendidikan di Indonesia mempunyai dua dominasi pada waktu awal kemerdekaan yaitu golongan nasional sekuler dan golongan nasional Islam, inilah yang melahirkan perkembangan dalam merumuskan kebijakan sistem pendidikan nasional. Akan tetapi munculnya perdebatan dalam merumuskan sistem pendidikan nasional diawali adanya dominasi kekuasaan untuk mempertahankan ideeologi Negara, maka dari kelompok masing-masing saling memegang peranan untuk menduduki porsi kekuasaan pemerintah sehingga lahirlah Departemen Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama. kemudian alasan dari masing-masing pemisahan (dikotomik) lembaga pendidikan tersebut mempunyai aspirasi yang bertolak belakang. Dari kalangan nasional sekuler menyatakan bahwa, pendidikan nasional harus menginginkan satu payung kementerian pendidikan baik antara pendidikan umum maupun pendidikan agama, sementara dari kalangan nasionalis Islam menginginkan untuk tetap mempertahankan lembaga-lembaga pendidikan agama berada didalam naungan pendidikan nasional sebagai bagian dari sistem lembaga pendidikan yang indenpenden terutama pendidikan madrasah, bahkan materi kurikulum agama di upayakan untuk dimasukkan kedalam pendidikan umum. Oleh karenanya, pendidikan Islam yang di tangani oleh Kementerian Agama sesungguhnya berawal dari perdebatan-perdebatan sengit untuk mempertahankan legalitas formal didalam pengembangan sistem pendidikan nasional. Walaupun dominasi sistem pendidikan nasional dari era orde baru sampai era reformasi merupakan langkah kemajuan institusi kelembagaan, namun jika dilihat dari aspek pengembangan kualitas pendidikan Islam terutama pendidikan madrasah tidak mampuni didalam pendidikan umum, akan tetapi pada perkembangan bahwa pendidikan mengalami ambivalensi didalam pengelolaan secara teknis terhadap pendidikan Islam, salah satu contoh munculnya wacana ingin mengembalikan pengelolaan pendidikan ke Departemen Pendidikan Nasional sampai lahirnya Universitas Islam Negeri. Hal ini muncul seiring dengan masih banyaknya penilaian bahwa mutu pendidikan madrasah masih tertinggal dari pendidikan umum yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional maupun semakin menurunya masuk ke-Perguruan Tinggi Agama Islam. Dengan puncak ambivalensi terhadap pendidikan keagamaan bagi kalangan umat Islam menampakkan kurang percaya diri untuk menghadapi tantangan globalisasi, informasi didalam menyelenggarakan pendidikan yang diberikan dengan pelabelan nama keagamaan. Bahkan nama baik kelembagaan Kementerian Agama perlu dipertanyakan kembali didalam manajemen dan pengelolaan pendidikan. Pendirian Universitas Islam Negeri juga menunjukkan kegamangan ini, karena menempatkan Universitas berdiri jalur yang berbeda, satu jalur di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional, jalur yang lain di bawah naungan Departemen Kementerian Agama. Dengan asumsi dua jalur diatas, tiada lain merupakan jalur kebijakan politik pendidikan nasional. Dari kalangan tokoh pemikir pendidikan Islam yaitu mengenai tentang dualisme sistem kelembagaan pendidikan di Indonesia baik Departemen Pendidikan Nasional maupun Departemen Kementerian Agama merupakan sesuatu keunikan yang terjadi di Indonesia, akan tetapi dualisme semacam itu dalam kondisi sekarang merupakan suatu keanehan yang perluh diluruskan kembali. Bahkan didalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutama yang berhubungan dengan masalah akademis, selama ini Kementerian Agama selalu mengikuti kebijakan Departemen Pendidikan nasional. Kementerian Agama sebagai pengikut konsekuensinya selalu dibelakang, artinya menunggu kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi kebijakan Kementerian Agama tidak mempunyai otoritas fungsional akademisi kelembagaan. F. Negosiasi Masa Depan Pendidikan Nasional Tarik-menarik peran lembaga pendidikan agama dan pendidikan umum dilingkungan pendidikan nasional yang berimplikasi terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia, sehingga perhatian salah satu lembaga pendidikan yang tidak harmonis. Sejak pasca kemerdekaan, pendidikan Islam tidak dengan sendirinya dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional. Paradigma dualisme yang diwariskan pemerintah kolonial tetap mengakar kuat kedalam dunia pendidikan di Indonesia. Pemerintah Indonesia mewarisi sistem pendidikan yang dualistik, pertama, sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekuler, kedua, sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Islam, baik yang bercorak isolatif-tradisional maupun yang bercorak sintesis. Pada tahun 1950 terjadi aksiden sejarah dalam dunia pendidikan Indonesia, yaitu ketika presiden Soekarno menetapkan berdirinya Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diperuntukkan bagi golongan nasionalis sekuler dalan waktu yang bersamaan menetapkan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta yang diperuntukkan bagi umat Islam. Dalam perkembangannya, dikotomisasi kedua lembaga pendidikan tersebut membentuk pemisahan yang lebih komprehensif, implikasinya lebih jauh dari polarisasi yang terjadi adalah, pertama Universitas Umum seakan-akan bukan milik golongan Islam, kedua dualisme dikotomi terus bertahan, bahkan melebar, ketiga sekolah atau Perguruan Tinggi Umum menjadi binaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sementara Perguruan Tinggi Islam berada di bawah binaan Kementerian Agama. Kenyataan ini, setidaknya akan mengakibatkan dualisme dikotomi pendidikan Islam yaitu dikotomi pendidikan sekuler dan pendidikan yang mempunyai watak keislaman, serta pendidikan Islam terjebak kedalam dualisme pengelolaan, antara pengelolaan pendidikan dibawah naungan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan pengelolaan Pendidikan dibawah naungan Kementerian Agama (kemenag). Sementara pada sisi lain, kelemahan pendidikan Islam sangat dilematis yang menyangkut mengenai masalah substansi isi pendidikan maupun kelembagaan diantaranya. Pertama, awal kemerdekaan sampai era Orde Baru adalah periode pergulatan politik ideologi dengan menampilkan wajah pendidikan Islam yang terbatas hanya pendidikan keagamaan yang difungsikan sebagai benteng ideologi. Kedua, awal sampai pertengahan era Orde Baru, adalah periode deideologisasi dengan menampilkan wajah pendidikan Islam yang lebih beroreintasi kependidikan Umum. Ketiga, akhir Orde Baru sampai awal era reformasi adalah periode puncak kegamangan yang ditandai dengan semangat memperluas cakupan ilmu pengetahuan umum dalam pendidikan Islam dan munculnya wacana-wacana yang ingin mengembalikan pengelolaan pendidikan ke Depdiknas sampai lahirnya universitas Islam Negeri. Ada beberapa keistimewaan yang harus dilakukan didalam pendidikan Islam kedepan untuk mengubah anomali-anomali perubahan pendidikan Islam. menurut A. Malik Fadjar, kerangka kebijakan perubahan pendidikan Islam hendaknya tetap mempertimbangkan tiga kepentingan. Pertama, kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama umat Islam, yakni menjadikan pendidikan Islam sebagai wahana untuk membina ruh dan praktik hidup Islam. Kedua, kebijakan itu harus memperjelas warga yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian dan produktif setara dengan sistem sekolah. Ketiga, kebijakan itu harus bisa menjadikan pendidikan Islam mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan. Sementara itu, H.A.R. Tilaar memandang perlu dilakukan reaktualisasi pendidikan Islam menuju arah, yang pertama pendidikan yang berbasis masyarakat, yaitu dengan mengikutsertakan masyarakat dalam penyelenggarakan dan pengelolaan pendidikan kedua keterakaran pada nilai-nilai luhur budaya, ketiga otonomi daerah. Kesimpulan Pendidikan pada mulanya merupakan kajian komprehensif dan holistik yang akan berdampak terhadap perkembangan dikotomisasi pengetahuan yang bersumber pada pengetahuan dari Tuhan maupun pengetahuan bersumber pada pengalaman manusia. Pemisahan pendidikan agama dan pendidikan umum berawal dari masuknya modenitas yang dilingkupi oleh globalisasi sehingga ilmu pengetahuan sains yang melanda keseluruh manca Negara. Maka konsep dikotomi pendidikan, sesungguhnya merupakan kekecawaan para pemikir Islam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Barat yang tidak terikat pada nilai, pada akhirnya sebagian kelompok para pemikir Islam merumuskan kebijakan pendidikan Islam yang ideal disebut dengan Islamisasi ilmu. Pada satu sisi, sebagaian kelompok para pemikir Islam tidak mengiginkan terbentuknya konsep Islamisasi ilmu, menurutnya jika konsep Islamisasi ilmu pengetahuan dikembangkan terus-menerus akan terjebak pada pola ideologi. Dengan pandangan tersebut akan berdampak pada pemikiran pendidikan Islam di Indonesia mulai sejak Praproklamasi ke Reformasi untuk merumuskan pendidikan baik pendidikan dibawah naungan Menteri pendidikan nasional maupun dibawah nauangan Menteri Agama. Kebijakan pendidikan nasional saling memegang dominasi peranan baik dari segi teknis akademis maupun teknis fungsional didalam merumuskan pengelolaan kebijakan sistem pendidikan baik pendidikan umum maupun pendidikan agama. Maka pola pendidikan umum dan pendidikan agama memerlukan adanya konseptual yang mencerdaskan demi keharmonisan institusi lembaga formal didalam pendidikan nasional, maka diperlukan adanya konseptual pendidikan Islam Teo-Antroprosentris yang tidak diskriminatif didalam menjalankan roda pendidikan yang integratif, guna pendidikan nasional akan mengalami kemajuan yang tidak kalah dengan pendidikan manca Negara, kesimpulannya pemerintah segera merumuskan kembali pendidikan Islam Teo-Antroprosentris di Indonesia yang berdasarkan pada kebutuhan masyarakat umum agar kebijakan pendidikan nasional tidak tumpang tindih didalam pengelolaan lembaga pendidikan formal serta menghapuskan dominasi-hegemonik sistem kebijakan pendidikan nasional. Pustaka Assegaf, Abd Rahman, Politik Pendidikan Nasional, Pergeseran Pendidikan Agama Islam Dari Praproklamasi Ke Reformasi. (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005) Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif. (Yogyakarta: LKiS, 2008). A. Malik Fadjar, Reoreintasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999). Abdurrahman, Moeslim, Islam Transformatif. (Jakarta: IKAPI, 1995). Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Edisi Ke-II, 2008). Karim, Muhammad, Pendidikan Kritis Transformatif. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009). Khaled M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. (Jakarta: Serambi, 2004). Mas'ud, Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Gama Media, 2002). Mulkhan, Abdul Munir, Nalar Spritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam.(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002). Putra Daulay, Haidar, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2007). Phillips, Louise J, Analisis Wacana, Teori dan Metode (Terj), (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). Qomar, Mujammil, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik. (Jakarta: Erlangga, 2005). Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia. (Jakarta: Logos, 2001). Ramayulis, Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam Di Dunia Islam dan Indonesia. (Jakarta: Quantum Teaching. 2005). Roqib, Moh, Ilmu Pendidikan Islam, Pengembangan Pendidikan Integratif Di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. (Yogyakarta: LKiS, 2009). Shofan, Moh, Pendidikan Berparadigma Profetik, Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam. (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004). Suwito, Fauzan, Ed, Sejarah Sosial Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana, 2005). Ziemek, Manfred, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986). Zuhairi, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar