Sabtu, 16 Februari 2013

NALAR PEMIKIRAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN MENURUT SYED MUHAMMAD NAQUIB Al-ATTAS

NALAR PEMIKIRAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN MENURUT SYED MUHAMMAD NAQUIB Al-ATTAS Tauhedi As’ad Dosen FIP-IKIP PGRI Jember Abstrak Naquib al-Attas merupakan bagian dari pemikir Islam yang kritis dan menawarkan wacana Islamisasi ilmu pengetahuan yang dilakukan pada konferensi pertama kali di Mekkah tahun 1977. Munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan respont kekecewaan sebagian pemikir Islam terhadap dominasi Barat yang cenderung sekuralistik-materialistik sehingga umat Islam mengalami tekanan-tekanan internal dan eksternal baik dari segi pemikiran maupun sikap arogansi, kemudian mereka menggagas dan mengadakan pertemuan kolektif untuk membahas Islamisasi ilmu pengetahuan yang dihadiri dunia Muslim di Mekkah. Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut juga memberikan ruang untuk mempertemukan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu alam atau mendamaikan agama dengan pengetahuan yang berdasarkan kepada agama. Maka respont intelektual terhadap dampak negatif dari ilmu modern Barat yang semakin jelas dan dirasakan oleh mayarakat dunia yang merupakan akibat krisis dari kemampuan ilmu modern. Dengan ini, penulisan ini menggunakan metode analisis wacana dengan pendekatan bahasa kritis. Namun di samping itu, penulis juga mengungkapkan gaya berpikir Naquib al-Attas didalam membahas dominasi epistemologi Barat atas Islam yaitu peleburan historisitas pemikiran Barat sekuler sejak alam pemikiran yunani, Modern dan kontemporer itu tidak sesuai dengan epistemologi Islam. Kata Kunci: epistemologi Islam, Islamisasi Ilmu, bahasa Kritis, A. Pendahuluan Wacana tentang Islamisasi ilmu yang digagas oleh Naquib al-Attas pada konferensi internasional tentang pendidikan Islam pada tanggal 31 Maret sampai dengan 8 April tahun 1977 di Jeddah Mekkah. Gagasan konsep Islamisasi ilmu ini banyak dibicarakan oleh sebagian pemikir Islam kontemporer khususnya di kalangan Islam Timur Tengah dan Islam Asia Tenggara bahkan di negara Eropa. Wacana Islamisasi ilmu muncul, karena selama ini konsep pendidikan di dominasi oleh pemikiran Barat sejak kebangkitan masyarakat Eropa sekuler sehingga melahirkan dikotomi ilmu pengetahuan yaitu ilmu agama dan ilmu umum. Bangkitnya pemikiran Barat modern berawal dari kritik pemikiran yang lahir untuk memisahkan dari ajaran Agama dan filsafat sehingga pemikiran Barat mampu merumuskan rasionalisme secara sistemik. Pada perkembangannya, pemikiran Barat lebih cenderung ke arah pemahaman empirik-positivistik secara obyektif, kemudian pemikiran umat Islam banyak yang mengadopsinya bahkan metodologi Barat yang digunakan kedalam pemikiran Islam tanpa di kritisi, sehingga sebagian pemikir Islam khususnya yang mengusung wacana Islamisasi ilmu mengkritik pula terhadap pemikiran Barat sekuler maupun sebagian dari cendekiawan Islam itu sendiri. Wacana Islamisasi ilmu menurut Syed Husein Nasr, adalah upaya menerjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat muslim di mana mereka tinggal. Artinya, Islamisasi ilmu lebih merupakan usaha untuk mempertemukan cara berpikir dan bertindak (epistemologi dan aksiologis) masyarakat Barat dengan muslim. Sedangkan, menurut Naquib al-Attas, Islamisasi ilmu adalah upaya membebaskan ilmu pengetahuan dari makna, ideologis dan prinsip-prinsip sekuler, sehingga terbentuk ilmu pengetahuan baru yang sesuai dengan fitrah Islam. Berbeda dengan Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi ilmu adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam, setelah melakukan kajian kritis terhadap kedua sistem pengetahuan Islam dan Barat. Pengertian ini lebih jelas dari pengertian sebelumnya, disamping memberikan langkah-langkah operasional bagi terlaksananya program Islamisasi ilmu. Persoalan epistemologis muncul, karena Islamisasi ilmu pengetahuan di Islamkan dengan pandangan teologis yang bercorak teosentris, bahkan konsep Islamisasi ilmu akan dimasukkan kedalam gagasan pemikiran Islam secara keseluruhan. Dengan persoalan diatas, maka perlu adanya gagasan wacana atas konsep Islamisasi ilmu pengetahuan khususnya wacana metafisik yang digunakan ke dalam ilmu pengetahuan yang berdampak pada pendidikan Islam. Wacana Islamisasi ilmu pengetahuan al-Attas ini, bisa dilihat dari aspek epistemologis untuk mengungkap yang tersurat atas pemikiran filosofis khususnya konsep pemikiran Islam. Naquib al-Attas mempunyai dua pandangan yaitu konsep tentang gagasan Islamisasi ilmu dan konsep mengembangkan pemikiran pendidikan Islam sehingga konsep keduanya terpadu menjadi kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Naquib al-Attas mempunyai gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ke dalam pendidikan Islam merupakan konsepsi integral berdasarkan terhadap pemahaman metafisika Islam. Atas dasar itulah, maka yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya gagasan teori tentang ideologi yang tersembunyi dalam pemikiran Naquib al-Attas secara filosofis melalui konsep Islamisasi ilmu pengetahuan. Kegelisahan ini cukup beralasan mengingat adanya beberapa ungkapan didalam bukunya yang mencerminkan pemikiran rasional. Ada ungkapan yang bersifat epistemologis dan aksiologis yang mestinya harus muncul didalam pemikirannya. Ungkapan yang bernada epistemologis misalnya tertuang didalam wacana Islamisasi Ilmu: penggunaan istilah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib, sebagai terma yang tepat untuk menerjemahkan pendidikan Islam adalah konsep ta’dib sebab inti dari pendidikan Islam adalah pembentukan watak, akhlak yang mulia. Sedangkan yang bernada aksiologis adalah kesatuan gagasan nilai-nilai metafisika didunia Islam dan pandangan sistemik tentang realitas baik mengenai Tuhan, alam semesta, manusia maupun ilmu, harus didasari oleh pandangan tauhid. B. Metode dan Pendekatannya Metode dan pendekatan ini hanya untuk mempermudah dalam analisis teks dalam penelitian khususnya penelitian pustaka. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan mengalisis tentang kritik nalar konsep Islamisasi ilmu pengetahuan ke dalam pemikiran Naquib al-Attas, maka data-data tersebut menggunakan metode berpikir deskriptif-kritis. Sementara metode deskriptif dimaksudkan untuk mendeskripsikan gagasan Naquib al-Attas tentang nalar pemikiran Islamisasi ilmu pengetahuan Naquib al-Attas dengan berikut metode dan pendekatannya, kemudian gagasan itu, akan dibahas secara kritis dengan menggunakan metode kritis, sebagai perangkat analisis kritis, dan akan digunakan analisis wacana bahasa kritis. C. Jejak Pemikiran dan Kegelisahannya. Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir di Bogor Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Naquib al-Attas pindah ke Malaysia, disebabkan kondisi bangsa Indonesia mengalami masa transisi di bawa jajahan oleh kolonialisme Belanda. Jika dilihat dari garis keturunannya barasal dari darah biru yaitu bangsawan, keberuntangan dari keluarga al-Attas secara interen baik dari pihak ayah maupun ibu. Keturunan dari ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah al-Attas masih tergolong bangsawan yaitu dari bangsawan Johor, bahkan mendapat gelar Sayyed, dalam tradisi Islam keturunan langsung dari Nabi Muhammad Saw, sedangkan dari pihak Ibunya bernama Syarifah Raguan al-Idrus asli dari pribumi Bogor yaitu keturunan bangsawan Sunda. Melihat dari garis keturunannya Naquib al-Attas diatas, dapat di asumsikan bahwa al-Attas sangat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak didalam kehidupannnya sehingga intelektualitas Naquib al-Attas menjadi popular baik di negara Indonesia maupun Malaysia. Pengaruh interen keluarganya Naquib al-Attas inilah yang selanjutnya membentuk karakter dasar dalam dirinya, yang merupakan penanaman sifat dasar bagi kelanjutan hidupnya kelak. Sedangkan Orang tuanya sangat religius memberikan pendidikan dasar Islam yang kuat. Bahkan Naquib al-Attas sangat semangat pemahaman ritual keagamaan yang kental dan mendalami sekali. Selanjutnya Naquib al-Attas pada usia 5 tahun, diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia untuk dimasukkan ke dalam pendidikan dasar Ngee Heng Primary School sampai 10 tahun. Akan tetapi, pada perkembangannya Naquib al-Attas di Malaysia tidak menguntungkan ketika Jepang menguasai Malaysia, akhirnya Naquib al-Attas dengan keluarganya pulang lagi ke Indonesia. Disini kemudian, Naquib al-Attas melanjutkan pendidikan di pesantren Arwah al-Wusta, dengan memperdalami belajar Bahasa Arab dan Agama Islam di Sukabumi selama 5 tahun. Di tempat ini, Naquib al-Attas juga mulai belajar dan memahami tradisi Islam yang kuat yaitu tarekat. Hal ini bisa dipahami karena pada waktu itu di Sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat Naqsyabandiyah. Pada perkembangannya Naquib al-Attas merasa terusik oleh jiwanya untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya di Sukabumi, sekembalinya ke Malaysia untuk mendaftarkan diri sebagai tentara kerajaan Malaysia untuk upaya mengusir penjajah Jepang. Dalam bidang kemiliteran Naquib al-Attas telah menunjukkan kelasnya dan termasuk peserta pendidikan militer yang lebih tinggi sehingga dia belajar di berbagai sekolah militer di Inggris. Bahkan Naquib al-Attas sempat mengenyam pengalaman yang merupakan salah satu akademi militer yang cukup bergengsi di Inggris pada tahun 1957-1959 sehingga Naquib al-Attas lebih menarik pada akademik militer, dan ia keluar dari dinas militer dengana pangkat terakhir Letnan. Karier akademiknya setelah keluar dari Dinas militer adalah masuk ke university of Malay, Singapur, 1957-1959. Kemudian melanjutkan di McGill University, Kanada untuk kajian (Islamic Study) sampai memperoleh master tahun 1963. Selanjutnya, menempuh program doktor pada School of Orietal and African Studies, University London, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pusat kaum orientalis. Disinilah ia menekuni teologi dan metafisika serta menulis Desertasi berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri. Pada akhirnya Naquib al-Attas menjadi Dosen di al-mamaternya, University of Malay, Singapura yang tidak lama, kemudian diangkat menjadi Dekan Fakultas sastra Melayu di lembaga yang sama. Pada tanggal 24 Januari 1972 dikukuhkan sebagai Profesor bahasa dan kesusteraan Melayu. Naquib Al-Attas pernah juga datang ke Indonesia, pertengahan Januari pada tahun 1987 dan terlibat debat terbuka dengan Nurcholis Madjid, yang mengangkat persoalan sekuralisasi, tuhan dan Tuhan, reaktualisasi ajaran Islam, konsep negara Islam, ilmu pendidikan Islam dan lainnya. Gagasan yang disampaikan saat itu, kemudian diperbaharui pada kedatangan kedua kalinya, yaitu bulan oktober 1988. Pada tahun berikutnya bulan Februari 1989, Naquib al-Attas datang kembali di Jakarta untuk berbicara tentang sains dalam konferensi Asia Pasifik. Sedangkan karyanya Naquib al-Attas yang terpenting adalah Islam the Concep of Religion and the Fundation of Ethic and Morality, Kuala Lumpur, ABIM, 1976; Islam and Secularism, Kuala Lumpur, ABIM, 1978; dan The Concep of Education in Islam A Framework to an Islamic Philosophy of Education, Kuala Lumpur, ABIM, 1980. Wacana Islamisasi ilmu pengetahuan yang digagas oleh tokoh-tokoh pemikir Islam sesuai dengan disiplin keilmuan dan keahlian masing-masing. Tokoh-tokoh yang memberikan pengertian tentang Islamisasi ilmu itu sendiri sesuai dengan istilah yang digunakan oleh apa yang dikemukakan oleh Syed Hussein Nasr, bahwa Islamisasi ilmu termasuk juga Islamisasi budaya adalah upaya menterjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat Muslim di mana mereka tinggal. Artinya Islamisasi ilmu berusaha untuk mendialogkan dan mempertemukan baik pemikiran secara epistemologis maupun bertindak secara aksiologis terhadap masyarakat Islam dengan Barat. Munculnya istilah Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan respont kekecewaan sebagian pemikir Islam terhadap dominasi Barat yang cenderung sekuralistik-materialistik sehingga umat Islam mengalami tekanan-tekanan internal dan eksternal baik dari segi pemikiran maupun sikap yang arogansi, kemudian mereka menggagas dan mengadakan pertemuan kolektif untuk membahas Islamisasi ilmu pengetahuan yang dihadiri dunia Muslim di Mekah. Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut juga memberikan ruang untuk mempertemukan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu alam atau mendamaikan agama dengan pengetahuan yang berdasarkan kepada ayat-ayat Tuhan. Sedangkan menurut Naquib al-Attas bahwa Islamisasi ilmu adalah membebaskan ilmu pengetahuan dari makna, ideologi dan prinsip sekuler, sehingga terbentuk ilmu pengetahuan baru yang sesuai dengan fitrah Islam. Berbeda dengan Nasr, bahwa Islamisasi ilmu berkenaan dengan perubahan ontologis dan epistemologis, terkait dengan perubahan cara memandang dunia yang merupakan dasar lahirnya ilmu dan metodologi yang digunakan, agar sesuai dengan konsep Islam. Sementara pandangan al-Faruqi, Islamisasi ilmu adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan, atau tepatnya menghasilkan buku-buku pegangan di perguruan tinggi dengan menuangkan kembali disiplin-disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam. Ternyata gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dapat sambutan yang baik dari kalangan intelektual Muslim dunia. Karena itu, pada tahun 1977 itu juga mengadakan pertemuan internasional pertama di Swiss, untuk membahas dan membicarakan lebih lanjut terhadap konsep Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut. Konferensi tersebut dihadiri 30 partisan ini berusaha membenahi krisis umat Islam untuk menelusuri terjadinya dominasi Barat dengan cara mengatasinya. Maka solusi yang dijadikan konsensus bersama adalah menawarkan metodologi dan pendekatan yang tepat untuk membangun sistem pemikiran ilmu pengetahuan Islam yang berdasarkan pada konsep dasar-dasar Islam. D. Problem Bangunan Epistemologis: Dominasi Barat Atas Islam Kegelisahan Naquib al-Attas terhadap masalah saat ini, bahwa bagi sarjana-sarjana Barat dan ilmuan-ilmuan Muslim bekerja sistem ilmu pengetahuan oksidentalisme, berarti sama artinya mengembangkan nilai-nilai serta ketegangan batin dari kebudayaan dan peradaban Barat. Wadah kesarjanaan dan ilmu yang seperti itu tidak akan benar-benar bisa memenuhi kebutuhan masyarakat Muslim, demikian pula tidak akan bisa menyentuh akar-akar masalah sosial dunia Muslim. Al-Faruqi mengatakan bahwa penyakit umat hanya dapat diobati dengan injeksi epistemologi. Tugas yang dihadapi umat untuk memecahkan problem pendidikan yaitu tidak dapat diharapkan adanya kebangkitan kembali umat jika sistem pendidikannya tidak diubah dan kesalahan-kesalahanya tidak dikoreksi. Upaya model pemikiran Islam yang dikembangkan oleh Naquib al-Attas berangkat dari kegelisahan terhadap perkembangan pemikiran Barat yang sekuler dan mendominasi atas pemikiran Islam sehingga pemikiran Islam mengalami stagnasi serta kemunduran terutama terhadap persoalan filsafat dan sains (ilmu) Islam. Pandangan dunia tersebut sebagai pijakan untuk di formulasi kedalam bentuk Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu konsep tentang sekularisme sains, metafisika serta epistemologi Islam. Didalam karyanya Naquib al-Attas tentang Islam dan filsafat sains. Naquib al-Attas menyatakan: Rasionalisme yang filosofis maupun yang sekuler dan empirisme cenderung menyangkal otoritas dan intuisi sebagai sumber dan metode ilmu yang syah. Rasionalisme dan empirisme bukannya menyangkal adanya otoritas dan intuisi, tetapi mereduksi otoritas dan intuisi kepada nalar dan pengalaman inderawi. Adalah benar bahwa pada mulanya, dalam hal otoritas dan intuisi, penalaran dan pengalaman selalu berasal dari seorang yang menalari dan mengalami, tetapi ini tidak berarti bahwa otoritas dan intuisi dapat mereduksi kepada nalar dan pengalaman inderawi belaka. Kutipan diatas, Naquib al-Attas mengalami kegelisahan terhadap pemikiran falsafat Barat yang sangat dominan pada paham rasionalisme dan empirisme yang cenderung menyangkal terhadap otoritas dan intuisi, pada akhirnya akan menimbulkan pereduksian kepada nalar dan inderawi yang sempit. Walaupun pada mulanya rasionalisme dan empirisme secara filosofis akan membenarkan kebenaran secara ilmiah yang syah, akan tetapi, pemahaman tersebut akan meletakkan kepada pemahaman skeptisme atau keraguan. Naquib al-Attas melacak metodologi terhadap perkembangan filsafat sains modern yang menolak terhadap kebenaran wahyu Tuhan yaitu dengan asumsi bahwa segala sesuatu yang muncul dari sesuatu yang lainnya. Dengan landasan filosofis tersebut, maka metode utama yang digunakan oleh filsafat Barat. Menurut Naquib al-Attas ada tiga model motode. Pertama, rasionalisme filosofis yang cenderung bersandar pada nalar tanpa bantuan pengalaman atau persepsi inderawi. Kedua, rasionalisme sekuler yang sementara menerima nalar, tapi cenderung lebih bersandar kepada pengalaman inderawi dan menyangkal otoritas serta intuisi, serta menolak wahyu dan agama sebagai sumber ilmu yang benar. Ketiga, empirisme filosofis atau empirisme logis yang menyandarkan seluruh ilmu pada fakta yang dapat diamati, bangunan logika dan analisis bahasa. Model metode inilah yang digunakan oleh pemikir Barat sekuler untuk mereduksi terhadap pemahaman-pemahaman realitas transendental yang berbeda dengan ilmu pengetahuan dalam Islam. Naquib Al-Attas memandang konsep model metode dalam gagasan pemikiran filsafat Barat yang berkaitan dengan filsafat sains dan sekularisme akan berimplikasi pada pemikiran Islam yaitu bertentangan dengan epistemologi Islam, maka cara yang digunakan oleh Naquib al-Attas adalah meletakkan konsep metafisika Islam dengan cara-cara Islamisasi ilmu untuk tidak terjebak pada kungkungan pemikiran Barat sejak filsafat awal muncul sampai filsafat modern. Dengan dasar konsep tersebut, Naquib al-Attas memulai menyusun teori-teori interpretasi ilmu pengetahuan sesuai dengan sumber aslinya yaitu al-Quran dan Sunnah. Menurut Naquib al-Attas, al-Quran sebagai kitab suci, bahwasanya Islam telah diwahyukan secara lengkap dan sempurna buat manusia, dan pernyataan kelengkapan serta kesempurnaan ini telah dibuktikan semenjak awal mulanya sejarah. Nama Islam diberikan kepada agama itu, sebagamana nama muslim yang diberikan untuk menunjukkan para penganut agama tersebut dari awal mulanya. Berbeda dengan masyarakat Barat, bukanlah termasuk kategori agama yang diwahyukan dalam pengertian yang sempit misalnya Islam. sebagaian besar masyarakat Barat merupakan agama kebudayaan yang dibuat-buat yang dapat dicirikan dengan pengakuannya dalam memiliki suatu kitab yang diwahyukan. Tradisi pemikiran Islam selalu mengacu pada sumber aslinya yakni wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad baik pikiran, ucapan dan perbuatannya. Bahkan sahabat-sahabat dan kaum sezaman beliau bertindak dan berprilaku dengan ilham Ilahi sehingga dapat dijadikan standar dan kriteria bagi masa yang akan datang. Naquib al-Attas menolak relativisasi nilai-nilai yang bukan Islam, artinya nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam dan sebagian kebenaran yang ditemui dalam agama-agama dunia lainnya dan tradisi-tradisi baik dari manusia dan masyarakat. Namun masyarakat Islam dan Barat terletak pada ilmu pengetahuan itu sendiri didalam mencapai kebenaran secara obyektif-ilmiah yang berimplikasi terhadap perkembagan sains sekuler, pada akhirnya akan menimbulkan pemahaman sekularisasi. Senada apa yang dikatakan oleh Naquib al-Attas, bahwa tantangan terbesar yang secara diam-diam dihadapi oleh umat Islam pada zaman ini adalah tantangan pengetahuan, bukan dalam bentuk sebagai kebodohan, tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat. Menurut al-Faruqi bahwa sistem pendidikan Islam telah dicetak ke dalam sebuah karikatur Barat, sehingga ia di pandang sebagai inti malaise atau penderitaan yang dialami umat. Dominasi sains Barat modern terhadap Muslim dewasa ini, akan membahayakannya, tidak saja karena penerapannya berbahaya tetapi juga karena epistemologi secara mendasar bertentangan dengan pandangan Islam. Upaya pembaca dan penerima wacana tidak hanya berlaku bagi umat Islam maupun masyarakat Barat, akan tetapi diharuskan melakukan upaya integrasi dengan dua prinsip. Prinsip pertama, para peneliti muslim yang berbobot harus merancang kajian sosial dari perspektif Islami dan manggaris-bawahi hubungan Islam dengan persoalan-persoalan yang dibahas oleh ilmu-ilmu sosial ini. Perinsip kedua, kajian Islam sebagai disiplin harus di integrasikan dengan persoalan-persoalan sosial untuk memecahkan masalah-masalah sekularisasi pendidikan. Proses Islamisasi ilmu tersebut adalah oleh peneliti muslim secara berbeda-beda. Beberapa cara yang utama untuk memahami proses Islamisasi, menurut Abubaker A. Bagader sebagai berikut: Pertama, ada peneliti yang memahami proses Islamisasi itu dengan menggantungkan pada filsafat ilmu. Peneliti muslim berangkat dari perspektif filosofik tertentu dalam kajiannya terhadap segala gejala. Kedua, sebagian peneliti menekankan moralitas dan keterikatan kepada nilai-nilai atau tradisi-tradisi tertentu dalam kajian terhadap gejala sosial dan mendasarkan pada evaluasi yang telah mapan. Ketiga, peneliti-peneliti lain merasakan bahwa arti pentingnya terletak pada cara memperlakukan isu-isu dan persoalan sosial itu. Keempat, peneliti-peneliti lainnya lagi berpendapat bahwa proses Islamisasi itu berarti bahwa kepentingan mendasar dari peneliti sosial muslim tersebut adalah mengkaji realitas sosial tanpa mempertimbangkan aliran-aliran sosialogik atau metodologi yang mereka ikuti, dan membandingkannya dengan citra sosial Islami yang ideal dan normatif sebagaimana ditunjukkan dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya. Alasan konsep diatas, secara umum yang banyak dibahas dalam kajian modernitas terutama dari kalangan Barat yang mengesampingkan spritualitas-metafisika dan kecenderungannya kepada sekularisme sehingga ilmu pengetahuan dianggap otentik. Naquib al-Attas menyatakan, bahwa Islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan-ungkapan manusia sekuler. Banyak pemahaman ilmu pengetahuan yang terlanjur tersekulerkan dapat digeser dan diganti dengan pemahaman-pemahaman yang mengacu pada pesan-pesan Islam, manakala proyek Islamisasi ilmu pengetahuan benar-benar digarap secara serius dan maksimal. Dengan demikian, Islam dan Barat dipahami secara antagonis yang berbeda baik ajaran wahyu, ideologi serta epistemologi yang gunakan oleh keduanya. Pemahaman tersebut bagi umat Islam harus mampu menghindari dari pemikiran sekuler yang memisahkan dari metafisika-spritualitas sehingga moralitas tetap eksis untuk keluar dari jeratan modernitas. Bahkan umat Islam mampu bersaing dibidang ilmu pengetahuan yang Islami terutama dibidang sains berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Ilmu pengetahuan kontemporer yang perlu dibangun bukan hanya harus mensitesiskan apa yang disebut dengan sains keagamaan dengan sains sekuler, fisik dan metafisik, tetapi harus menempatkan aspirasi dan instuisi pada inti pengetahuan. Semangat spritualitas yang dikembangkan oleh Naquib al-Attas sangat mempengaruhi terhadap kategori atau pemetaan ilmu pengetahuan terhadap pembaca untuk melihat faktualitas masyarakat Islam dan Barat maupun menerima wacana terhadap corak pemikiran yang berbeda secara epistemlogis. Sedangkan menurut Naquib al-Attas masyarakat muslim, epistemologi ilmu pengetahuan benar-benar berdasarkan konsep wahyu Tuhan, sebagai sarana pengetahuan metafisik, maka kebenarannya adalah mutlak. Sementara masyarakat Barat, kebenaran dan kenyataan dirumuskan tidak berdasarkan pengetahuan yang diwahyukan ataupun kepercayaan agama, tetapi diatas tradisi kebudayaan yang diperkuat dengan dasar-dasar filosofis-rasional. Kemudian Naquib al-Attas mengkritik terhadap gagasan Barat tentang ilmu pengetahuan dan sains-sains rasional, intelektual dan filosofisnya disebabkan, pertama konsepnya mengenai dualisme yang meliputi pandangan tentang realitas di satu pihak, dan kebenaran di pihak lain. Kedua, dualismenya tentang jiwa dan raga, pemisahan antara intelek dan rasio, serta penekanannya pada validitas rasio, keterpecahan metodologinya menyangkut rasionalisme dan empirisme. Ketiga, doktrinnya mengenai humanisme sebagai sebuah ideologi sekular. Keempat, konsepnya tentang tragedi, terutama dalam sastra. Meskipun demikian, ketika menggambarkan konsep Islam mengenai ilmu pengetahuan, Naquib al-Attas mengikuti pandangan yang sudah di kembangkan oleh sarjana-sarjana pemikir Islam klasik seperti Ibnu Sina al-Kindi, al-Farabi, dan al-Ghazali. Metode epistemologi Barat modern yang dipandang oleh Naquib al-Attas sebagai pandangan sekuler, maka perlu adanya pengembangan lanjut untuk mengoreksi ilmu pengetahuan Barat yang berdasarkan kepada pengalaman empiris. Sejalan dengan strategi Islamisasi ilmu, Naquib al-Attas tidak mencampakkan begitu saja inti dari asumsi dasar epistemologi Barat. Naquib al-Attas nampaknya menggunakan pendekatan tersebut sebagai batu loncatan untuk mengoreksi disiplin modern dan memunirkan ilmu-ilmu Islam yang telah tercelup kedalam paham-paham sekuler. Inilah model pembacaan dan menerima wacana bagi intelektual muslim untuk memahami kembali pemikiran Barat yang sekuler, terutama berkembangnya ilmu sains modern. Dengan landasan filsafat diatas, Naquib al-Attas memandang metode yang digunakan oleh pemikir Barat sekuler, maka metode-metode utama yang dikembangkan tidak lepas dari tiga macam metode, yaitu pertama nasionalisme filosofis yang cenderung atau persepsi inderawi. Kedua, rasionalisme sekuler yang cenderung lebih bersandar kepada pengalaman inderawi dan menyangkal otoritas serta intuisi, dan menolak wahyu dengan agama sebagai sumber ilmu yang benar. Ketiga, empirisme filosofis atau empirisme logis yang menyandarkan seluruh ilmu pada fakta dapat diamati, bangunan logika analisis bahasa. Naquib al-Attas memposisikan dirinya sebagai pembaharuan Islam fundamental yang menolak terhadap pemikiran Barat sekuler, dan mengharuskan untuk melakukan kritik sains atau ilmu pengetahuan yang melanda terhadap intelektual Muslim. Kesimpulan Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan al-Attas merupakan pijakan utama dalam melihat perkembangan Islam dan Barat dengan pemisahan ilmu pengetahuan, dan wacana Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai respot negatif atas berkembangnya paham sekuler sehingga kekecewaan sebagian pemikir Islam terhadap dominasi Barat yang cenderung sekularistik-materialistik sehingga umat Islam mengalami tekanan-tekanan internal dan eksternal baik dari segi pemikiran filosofis yaitu rasionalisme-empirisme maupun sikap arogansi yang tidak bercermin pada moralitas sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hubungan masyarakat Islam dan Barat yang dipetakan oleh al-Attas mengandung sisi ideologis dan epistemologis. Dengan kesimpuan ini, berpijak pada Rasionalisme dan empirisme Barat melairkan skeptisme yang menyangkalkan otoritas intuisi sehingga berimplikasi ketegangan batin dan berdampak hirarkisitas ilmu serta pemisahan ilmu pengetahuan atau yang disebut dengan bebas nilai. Jadi al-Attas melacak metodologi terhadap perkembangan filsafat sains modern yang menolak kebenaran wahyu Tuhan. Sedangkan model metode yang digunakan Barat menurut al-Attas. Pertama, rasionalisme filosofis yang cendrung bersandar pada nalar tanpa bantuan pengalaman atau persepsi inderawi. Kedua, rasionalisme sekuler yang sementara menerima nalar. Ketiga, empirisme filosofis logis yang menyandarkan seluruh ilmu pada fakta dapat diamati. Wacana interpretasi Islamisasi ilmu ini pada akhirnya melahirkan tindakan dengan sebutan Pembersian atau purifikasi. Tindakan ini berdampak terhadap penyingkiran dan pengangkatan kelompok lain dengan cara diasingkan, dan dikenali, yang harus dibebaskan dari tubuh pengetahuan Barat sekuler yaitu tentang mitologis, animisme, nasional-kultural. Daftar Pustaka Abubaker A. Bagader, (Ed), Islam Dan Perspektif Sosiologik, (Surabaya: Amar Press, 1991). Ahmad Tafsir, Epistemologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: IAIN Sunan Gunung Jati, 1995). Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif –Intekonektif. (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2006). Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, (Bandung, Pustaka, 1984). Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007). Khudori Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan. (Jakarta: Rajawali Pers, 2006). Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005). Perver Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas Antara Sains Dan Ortodoksi Islam, (Bandung: Mizan, 1996). ______________,Islam dan Sains: Pertarungan Menegakkan Rasionalitas, (Bandung: Pustaka, 1997). Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. (Jakarta: Quanthum Teching, 2005). Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ABIM, 1978). Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam Dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995). Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future, (Mansell, London, 1985). Syed, Muhammad Naquib al-Attas, Islam Dan Sekularisme.,, hlm 198. Toshihiko Izutsu. Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap al-Quran. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997). Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar