Sabtu, 16 Februari 2013

NALAR HADITS DALAM KONTEKS REALITAS: INTERPRETASI HADITS KONTROVERSI DENGAN LOGIKA NASH

NALAR HADITS DALAM KONTEKS REALITAS: INTERPRETASI HADITS KONTROVERSI DENGAN LOGIKA NASH Oleh: Tauhedi As’ad Pendahuluan Hadits merupakan struktur berpikir yang sistemik dengan menggunakan nalar nash sebagai kesinambungan terhadap peristiwa dan fakta sosial. Karena itu Hadits tiada lain menjelaskan makna ucapan dengan pesan peristiwa untuk meyelesaikan masalah dimana teks Hadits diberlakukan. Dengan nalar Hadits tersebut seringkali menimbulkan corak pemahaman tekstual untuk menyamakan tindakan Nabi masa lalu yang dinggap paling superioritas. Lalu realitas kekinian mau tidak mau harus mengikuti tradisi Nabi sebagai warisan masa lalu yang harus diikuti oleh umat Islam, dan Hadits tersebut diberlakukan ke dalam ruang dan waktu, kemudian posisi Hadits menjadi dominasi keabsahan yang telah ditentukan oleh timformatur untuk kodifikasi Hadits menjadi konsensus hukum Islam pada pasca Nabi dan sahabat, maka lahirlah aliran mahzhab. Interpretasi Hadits ini secara kontekstual dimulai masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in sampai Ulama’ sehingga mata rantai periwayatan Hadits dengan menggunakan matan dan sanad akan melahirkan kebenaran obyek secara subyektif. Dengan temuan-temuan verifikasi Hadits yang benar secara ilmiah serta dengan tahapan beberapa syarat yang digunakan untuk mengetahui status Hadits. Rasionalitas Nabi sebagai obyek kajian dalam membenarkan fenomena masyarakat untuk menjawab persoalan yang terjadi, dan Hadits Nabi sebagai epistemologi pengetahuan sehingga Hadits Nabi mengalami interpretasi ganda dalam memaknai realitas dan peristiwa yang berbeda, sedangkan perbedaan interpretasi dalam menangkap Hadits yang terjadi pada peristiwa tertentu maka konsensus formal harus berlaku pada peristiwa tertentu pula, inilah yang penulis sebut dengan Hadits partikular . Dengan konsep ini, yang harus diketahui terlebih dahulu bahwa peristiwa adalah realitas natural yang berjalan secara alamiah maka posisinya adalah primer, sedangkan Hadits berposisi sebagai sekunder karena Hadits merupakan ekspresi tindakan Nabi untuk menjawab realitas, maka lahirlah wacana yang disebut dengan Hadits kontekstual. Oleh karena itu, kedudukan Nabi sebagai peran aktif harus diklasifikasi kedalam kodifikasi Hadits sehingga tidak terjadi kontraproduktif didalam memahami tindakan Nabi. Dengan berbagai persoalan yang terjadi dikalangan masyarakat, maka Hadits sebagai respont realitas untuk memberikan solusi secara kontekstual. Dengan kegelisahan ini, penulis mendeskripsikan pertentangan nalar rasionalitas dengan Hadits lain maupun dengan nalar Nash al-Quran, kemudian penulis menggunakan pendekatan fakta sosial untuk merevikasi persoalan realitas teks Hadits khususnya para pengguna Hadits kontekstual. Pendekatan fakta sosial ini mencoba melihat fenomena yang terjadi, kemudian ditarik kedalam teks nalar kontekstual untuk memberikan solusi terhadap masalah dan peristiwa yang berlaku dan waktu bersamaan. Banyak sekali didalam Hadits dengan Hadits yang lain seolah-olah ada perbedaan ungkapan dan ekspresi tindakan Nabi dalam menjawab realitas yang berbeda. Untuk itu, didalam memahami Hadits kontekstual harus dimulai dengan bahasa lisan sebagai bahasa logosentris dan verbalisme sehingga berimplikasi maksud makna Hadits dalam berekspresi tindakan Nabi terhadap masyarakat sebagai penerima pesan yang bersamaan kemudian diberlakukan pada peristiwa yang berbeda. Obyektifikasi Teks Nalar Hadits. kajian teks Hadits ini, penulis memberikan pengertian secara singkat teks Hadits sesuai dengan pandangan para sarjana Hadits. Menurut ahli Hadits, kata Hadits menunjukkan kepada makna atau sesuatu yang disandarkan pada Nabi Saw, baik berupa perkataan, sikap dan tidakan serta persetujuan nabi. Akan tetapi kategori tersebut, tidak semua dikatakan Hadits karena masih ada relevansi dengan konteks tertentu yang hendak diberlakukan. Kadangkala pengertian secara etimologis yang digunakan untuk mengungkapkan makna yang sama dengan arti Hadits; seperti atsar dan khabar. Kebanyakan para ahli banyak menggunakan ketiga istilah tersebut sebagai sinonim. Walaupun demikian masih ada para ahli, terutama penduduk khurasan yang menggunakan dalam makna yang berbeda. Mereka menggunakan kata khabar semakna dengan istilah Hadits dan kata atsar untuk menunjukkan perkataan atau keputusan para sahabat. Masih ada kata kunci lainnya yang dipakai hamper semakin dengan kata Hadits. Istilah tersebut adalah sunnah, karena pentingnya istilah ini . Kalangan sarjana Hadits banyak berargumen bahwa Hadits merupakan tradisi Sunnah yang diakui keabsahannya setelah al-Quran, namun dari kalangan pemikir tafsir-tafsir Hadits berpendapat bahwa banyak Hadits yang kontroversi dengan nalar al-Quran dan Hadits lain sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama Hadits, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Qutaibah, beliau mengatakan bahwa aliran-aliran Hadits klasik mempunyai klaim kebenaran yang menjatuhkan terhadap ahli Hadits terutama serangan terhadap kalangan ulama sunnah. Pendapat ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Syekh Muhammad al-Khudari dalam bukunya Tarikh at-Tasyri’ al-Islam menyatakan bahwa: “Imam asy-Syafi’i sangat keras menentang orang yang melawan sunnah, khususnya mereka yang berasal dari Basrah. Dibasrahlah tempat tumbuh dan berkembangnya pemimpin mu’tazilah dan juga kitab-kitab mereka. Mereka dikenal dengan menentangnya terhadap ahli Hadits” . Dengan pernyataan tersebut memberikan contoh yang sangat konstruktif untuk melakukan kritik terhadap lawan-lawan ideologi yang tidak sepaham, sehingga memunculkan bermacam ungkapan Hadits yang ia dimaksud. Paradigma Hadits yang digunakan dengan nalar tekstual Hadits tersebut perlu adanya pemahaman obyektifikasi yang sangat erat terhadap realitas sehingga otentisitas Hadits tetap kontekstual dalam rangka menjawab masalah yang dihadapinya. Dengan pandangan teks Hadits, untuk memahami kembali dimana Hadits itu berlakukan maka posisi pengata atau subyek membawa pesan untuk menerima pesan terhadap realitas agar Hadits tetap kontekstual, maka posisi Nabi sebagai obyek yang dikaji ulang kedalam realitas yang berkembang, sehingga setiap teks Hadits harus dicari konteksnya, apakah dia diucapkan atau diperankan oleh manusia agung itu dalam kedudukan Nabi sebagai: pertama, Rasul dan karena itu pasti benar, sebab sumbernya dari Tuhan. Yang kedua, mufti, yang memberi fatwa berdasarkan pemahaman dan wewenang yang diberikan Tuhan kepadanya. Dan inipun pasti banar serta berlaku umum bagi setiap muslim. Yang ketiga, hakim, yang memutuskan perkara. Dalam hal ini putusan tersebut walaupun secara formal pasti benar, namun secara material adakalanya keliru. Hal ini diakibatkan salah satu pihak yang bersengketa dalam menutup-nutupi kebenaran, sementara disisi lain keputusan ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa. Yang keempat pemimpin suatu masyarakat, yang menyesuaikan sikap bimbingan dan petunjuknya sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat yang beliau temui. Yang kelima, kepribadian beliau yang universal . Oleh karenanya, Hadits sebenarnya merupakan dasar sejarah yang berfungsi penjelas dari maksud nash al-Quran yang tidak bisa dipahaminya, maka muncullah perbedaan-perbedaan dalam Hadits untuk kodifikasi Hadits, namun dalam Hadits lain Nabi melarang untuk menulis membukukan Hadits, cukup dengan menghafalnya saja, ini terbukti bahwa wacana epistemologi Hadits sebagai teks interpretasi untuk mengkaji konsep ke-Nabi-an dalam posisi tertentu dimana penerima Hadits diberlakukan dalam waktu yang berbeda. Dengan demikian, maka posisi Hadits tidak harus dilakukan secara normatif melainkan interpretasi nalar Hadits untuk mengkaji secara kritis terutama terhadap legetimasi pengetahuan yang hendak diberlakukan untuk kepentingan-kepentingan para pengguna Hadits. Banyak para sarjana Hadits tidak kritis untuk mengkaji Hadits dalam aspek epistemologis-ideologis sehingga Hadits sebagai sumber kedua setalah al-Quran yang hanya membahas tentang Sanad, Matan, Rawi serta kedudukan Hadits secara deskriptif-historis . Kontroversi Nalar Hadits Dengan Nash al-Quran Jika Hadits telah memperoleh penilaian maqbul dan terima kehujjahannya, namun konsep yang dikandung diduga berlawanan dengan pentunjuk makna al-Quran, yakni dalalah yang muhkam, maka rumusan konsep Hadits harus berpihak pada eksplisitas al-Quran. Berbeda halnya bila Hadits antara konsep yang berasumsi kontroversial itu sama-sama berasal dari ungapan Hadits dan ayat yang ber-dalalah zhanni karena unsurnya mutasyabih (analogi), bangunan konsep seyogyanya diarahkan ke ta’wil (interpretasi alegoris). Contoh pertama berkaitan dengan ungkapan sandaran Hadits eks Barra’ Bin ‘Azib yang bercerita tentang proses kesepakatan shulh al-hudaibiyah terbaca narasi verbal sebagai berikut: “ Maka Rasulullah Saw bertindak mengambil kitab (naskah perjanjian) dan segera menuliskan teks: inilah hal-hal yang Muhammad Bin Abdillah memutuskan bersama…” (HR. al-Bukhari). Dengan konsep ini, segera dipahami adalah Nabi Saw ternyata terampil menulis teks dan cakap membaca atau mengenal pangkal kalimat krusial dalam naskah perjanjian gencatan senjata yang pihak Quraisy bertahan menolaknya. Persepsi serupa terbaca pada kesaksian Abu Uqail al-Tsaqafi dalam kolesi al-Tabarani bahwa: Nabi Saw wafat beliau telah terampil membaca teks dan menulis. Formula konsep tersebut kontradiktif dengan penegasan didalam firman Tuhan . Oleh karenanya petunjuk teks nalar al-Quran amat eksplisit, maka kosep ini layak dirumuskan dari Hadits Riwayat Barra’ bin Azib di atas diorientasikan pada makna ta’wil “maka Nabi Saw memerintahkan penulisan teks kata” sesuai keinginan orang Quraisy kepada sekretaris beliau saat itu, yakni Ali bin Abi Thalib, bukan beliau yang menuliskannya. Ada beberapa Hadits yang sangat berbeda dalam menggunakan teks Hadits yang berhubungan dengan nalar al-Quran, sedangkan penemuan yang dilakukan oleh kalangan para pengkaji teks Hadits untuk menemukan makna maksud Hadits yang diberlakukan pada waktu yang berbeda sehingga penerima disesuaikan dengan konteks yang berlaku. Sedangkan Hadits yang kontroversi dengan nash al-Quran yang mengenai Tuhan mengambil kesaksian manusia di alam Arwah, dengan Hadits berikut ini bagi sebagian orang nampak tidak sejalan dengan ayat al-Quran. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa: Nabi pernah bersabda: “Allah mengusap punggung Nabi Adam as, lalu Dia mengeluarkan darinya anak keturunannya sampai hari kiamat seperti biji jagung. Dia kemudian mengambil persaksian terhadap jiwa mereka: bukankah aku Tuhan? Mereka menjawab: Betul kami bersaksi” . Dengan asumsi diatas, ada perbedaan pandangan dari kata Nash al-Quran dalam kalimat yang ditambai dengan kata-kata mengusap punggung Nabi Adam, sebenarnya didalam Nash al-Quran hanya membahas secara umum yang tidak dimengerti maksud pesan teks Hadits tersebut, sehingga didalam menentukan interpretasi teks Hadits adalah memperjelas dalam makna nalar Hadits yang berlakukan sesuai dengan ruang dan waktu. Sebenarnya ayat al-Quran tersebut tidak bertentangan dengan Hadits sebagai maksud pesan Hadits sesuai dengan pesan yang disampaikan oleh Nabi untuk lebih mengetahui secara obyektif. Logikanya adalah sebagai berikut. Bukankah ketika disebutkan bahwa Tuhan mengeluarkan manusia dari punggung Adam? Sebagaimana keterangan Hadits diatas, lalu dengan sebab itu keluarlah anak-anak darinya, maka yang demikian itu adalah sebagai ilustrasi bagaimana Tuhan menciptakan pada diri Adam benih yang akan menjadi keturunannya, dan anak keturunan tersebut juga melahirkan keturunan yang lain, demikian seterusnya hingga hari kiamat? Lalu ketika Tuhan membuat perjanjian dan mengambil kesaksian dari Adam, maka pada saat yang sama Tuhan telah mengambil kesaksian dari yang kelak akan menjadi anak keturunannya. Pengertian seperti ini sejalan juga dengan firman Tuhan: “Sesunggunya kami telah menciptakan kalian, lalu kami bentuk tubuh kalian, kemudian kami katakan kepada para malaikat: bersujudlah kamu semua kepada Adam ”, Maka mereka-pun bersujud kecuali Iblis, dia tidak termasuk mereka yang bersujud (QS. al-A’raf: 11). Banyak hal yang sangat kontroversi teks Hadits dengan nash al-Quran, sehingga para kalangan sarjana Hadits menjelaskan maksud pesan nalar teks Hadits dan nash al-Quran, agar tidak terjadi perbedaan yang signifikan sehingga keduanya saling menjelaskan dengan jelas sesuai dengan konteks tersendiri. Penulis ambil sebagian Hadits yang saling bertentangan: “Siapa yang dibunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid.” Sementara pada Hadits lain dikatakan: “Jadilah penjaga rumahmu. Jika seseorang masuk kerumahmu, maka masuklah kekamarmu. Jika dia masuk ke kamarmu, maka katakanlah: “Kembali demi dosaku dan dosamu. Jadilah hamba Allah yang terbunuh. Janganlah menjadi hamba Allah yang membunuh. Sesungguhnya Allah Swt, membuat perumpamaan kepada kalian dengan menggunakan anak Adam. Ambillah perumpamaan yang terbaik di antara dan tinggakanlah yang buruk.” Menurut penulis, masing-masing Hadits ini memiliki konteks tersendiri sehingga masing-masing tidak bisa di terapkan pada konteks yang lain. Jika masing-masing ditempatkan sesuai dengan tempatnya maka hilanglah pertentangannya. Apa yang dimaksud oleh sabda Nabi Saw, “Siapa yang dibunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid” adalah orang yang berkelahi dengan perampok untuk mempertahankan hartanya lalu terbunuh ditempat atau dijalan. Dalam Hadits lain Nabi Saw, melarang kita menjadi penakut di rumah sendiri: “Jika kalian melihat seorang yang lemah dirumah kalian maka janganlah kamu menambahnya lemah dirumah kalian maka janganlah kamu menambahnya menjadi dua orang lemah” maksudnya peganglah senjata dan pertahankanlah hakmu. Hadits pertama berlaku dalam konteks seperti ini. Adapun konteks Hadits kedua. “jadilah penjaga rumahmu. Jika seseorang untuk ke rumahmu, maka masuklah ke kamarmu. Jika dia masuk ke kamarmu, maka katakanlah: kembalilah demi dosaku dan dosamu. Jadilah hamba Tuhan yang terbunuh, jagalah menjadi hamba Tuhan yang membunuh”, pergulatan teks Hadits tersebut adalah persoalan kekuatan pada zaman fitnah atau kekacauan politik dan ketika itu orang-orang berbeda dalam mena’wilkan serta pertentangan dua pemerintahan, masing-masing menginginkan posisi menjadi pemimpin dan masing-masing menggunakan hujjah sendiri-sendiri sehingga keadaan menjadi kacau. Sedangkan mengenai Firman Tuhan yang berbunyi : “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”(QS. al-Hujarat: 9). Inilah nalar teks Hadits yang berimplikasi terhadap bunyi teks Hadits yang bertolak belakang dengan teks al-Quran, jika tidak ada penjelasan secara cermat dan teliti terhadap maksud keduanya. Sedangkan teks nalar Hadits tersebut adalah perintah dan pentunjuk bagi manusia secara keseluruhan setelah adanya rekonsliasi atau perdamaian dan pertikaian Hadits. Semua orang diperintahkan untuk selalu menjaga diri, selalu berada dalam perdamaian dan menjaga agama masing-masing dengan harta dan jiwa manusia universal. Dengan demikian masih banyak lagi yang penulis tidak sebutkan secara rinci mengenai bertentangan secara nalar akal yang dimaksud dalam al-Quran, karena teks Hadits hanya memperjelas maksud dari makna al-Quran secara umum. Kontroversi Teks Hadits Dengan Maksud Hadits Lain Konsep pembahasan yang diatas telah memberikan contoh mengenai nalar bunyi teks Hadits yang berhubungan dengan Nash al-Quran yang bertentangan maksud dari subyek penyampaian Nash al-Quran ke obyek penerima teks Hadits dari maksud pesan makna Hadits dengan maksud keumuman teks al-Quran, sehingga menimbulkan kontroversi dalam menangkap kebenaran secara obyektif. Pada tahap berikutnya penulis beralih pada bunyi teks Hadits dengan Hadits lain yang diberlakukan dalam waktu yang berbeda sehingga dalam menerima pesan bunyi teks Hadits juga mengalami reduksi pemahaman para menerimaan Hadits tersebut. Jadi pendapat dari salah satu perbedaan didalam teks Hadits yang telah diriwayatkan oleh Perawi, sedangkan penulis mengambil sebagian fakta teks Hadits yang dikemukakan oleh interpretator untuk mengkaji terhadap tafsir al-manar yang banyak diteliti oleh pengkajinya. Penulis mengambil salah satu Hadits yang dikutip oleh Syekh Imam al-Ghazali yang termaktub dalam kitab Tafsir al-manar, namun masalah ini banyak pendapat dari kalangan ulama’ peneliti tentang tafsir al-manar berkata: dalam salah satu Hadits riwayat Abu Hurairah yang tercatat dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sabda Nabi Saw. Setiap anak Adam disentuh oleh setan pada saat ia dilahirkan oleh ibunya, kecuali Maryam dan putranya. Al-Baidhawi menafsirkan kata ‘disentuh’ dengan keinginan yang sangat dari setan untuk menipunya. Mengenai ini, menurut Muhammad Abduh berkata: jika Hadits ini sahih, maka keterangan tersebut tergolong pengertian kiasan dan bukannya pengertian hakiki. Mungkin itulah yang dimaksud oleh al-Baidhawi . Hal ini bahwa istilah setan tersebut merupakan analogi belaka atau perumpamaan, mungkin yang dimaksud dengan teks kalimat ini bahwa setan sudah kehabisan bagiannya dalam hati Nabi untuk mengganggunya, walaupun hanya dengan membangkitkan keraguan. Sebagaimana dapat disimpulkan dari sabda beliau lainnya berkenaan dengan dengan setan yang menyertai Nabi Saw… namun Tuhan telah menolongku dalam berhadapan dengannya sehingga menyerah. Dalam riwayat Muslim…. Sehingga ia tidak memerintahkan sesuatu selain kebaikan . Sebagaimana telah ditetapkan bersama bahwa sunnah menafsirkan al-Quran dan menjelaskan makna-maknanya. Pendapat tersebut harus pula diterapkan antara Hadits yang satu dengan Hadits yang lainnya. Mencukupkan diri dengan pengertian lahiriah suatu Hadits saja tanpa memperhatikan lainnya, nash-nash lain yang berkaitan dengan topik tertentu seringkali menjerumuskan orang kedalam kesalahan. Dan menjauhkannya dari kebenaran mengenai maksud sebenarnya dari konteks Hadits tersebut. Contoh Hadits Nabi yang diriwayatkan al-Bukhari pada kitab al-Mazariah, bab Ma Yahzuru min awaqib al-istigal, dalam shahi-nya: “Tidak akan masuk (alat) ini kerumah suatu kaum, kecuali Allah pasti memasukkan kehinaan kedalamnya”. (HR Bukhari) Menurut al-Qardhawi, pengertian lahiriah Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw tidak menyukai pekerjaan bertani sebab akan mengakibatkan kehinaan bagi para pekerjanya. Namun, secara lahiriah teks Hadits tersebut bertentangan dengan Hadits shahih lainnya yang sangat jelas, karena sunnah yang kemudia dirinci didalam figh telah banyak menjelaskan tentang hokum-hukum pertanian, pengairahan dan penggarapan tanah kosong, serta segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing . Dari teks Hadits diatas dapat dipahami bahwa orang yang menyimpan alat pertanian dirumahnya, berarti orang tersebut meninggalkan profesinya sebagai petani. Jika seorang petani meninggalkan profesinya, maka akan menjadi hina, kerana menyengsarakan keluarganya. Teks Hadits Dengan Konteks Realitas Berikutnya nalar teks Hadits dengan realitas yang melatar belakangi ketika diucapkan maksud dan tujuannya. Salah satu cara untuk memahami Hadits Nabi Saw adalah dengan pendekatan sosio-historis, yaitu dengan mengetahui latar belakang diucapkannya atau berhubungan dengan sebab tertentu yang ditemukan dalam riwayat atau dari pengkajian terhadap suatu Hadits. Selain itu, untuk memahami teks Hadits harus diketahui kondisi yang melingkupinya serta dimana dan untuk tujuan apa ia diucapkan. Dengan demikian, maksud teks Hadits benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari perbagai perkiraan yang menyimpang. Pendekataan ini berusaha mengetahui situasi Nabi Saw dan menyelusuri segala peristiwa yang melingkupnya dan masyarakat pada periode tersebut secara umum. Sebenarnya pendekatan tersebut telah dilakukan oleh sarjana klasik yang disebut dengan asbab wurud Hadits. Namun ilmu tersebut hanya terikat dengan data yang disebutkan dalam teks Hadits, baik yang terdapat pada sandaran maupun pada isi teks Hadits. Salah satu Hadits yang kontroversi dengan akal yang disampaikan oleh ahli Hadits dengan kepeduliannya terhadap akal guna menilai kebenaran Hadits dari segi substansi doktrin yang didukungnya, menurut Ibnu Hatim al-Razi (w. 327 h) terpusat pada target penuturan apakah isi ungkapan Hadits itu relevan untuk disebut sebagai pernyataan. Pemegang otoritas nubuwah. Penalaran akal dalam tradisi kritik isi Hadits di lingkungan para ahli Hadits bukan penalaran bebas nilai seperti pandangan Mu’tazilah yang mengakui potensi akal secara mandiri hingga mampu menilai baik-buruk perbuatan. Sejalan dengan pola umum para ahli Hadits dalam menerima informasi ke-Nabi-an seperti itu, maka terjadi pengelompokan doktrin Islam yang rasional dengan lantaran tidak terjangkau hakikat maknanya oleh penalaran akal. Berikut sajikan dinamika kritik isi dengan penalaran akal berbasis realitas yang kontroversial. “Diberikan dari Asma’ binti Usmain, ia berkata: Rasulullah Saw menerima wahyu dan posisi kepala beliau terbaring diatas pengakuan Ali bin abi Thalib, maka Ali bertahan demikian tanpa menunaikan shalat ashar hingga matahari terbenam. Maka Rasulullah bersabda: sesungguhnya ia Ali berada dalam kepatuhan kepadamu dan dalam mematuhi utusanmu, maka kembalikan matahari atasnya. Asma’ berkata: maka aku melihat matahari terbenam, kemudian aku melihatnya muncul kembali sesudah is nyata-nyata terbenam. Kontroversi teks hadits tersebut ada berhubungannya dengan para sahabat Nabi yang terjadi dalam situasi dan kondisi yang hanya dipersaksikan oleh Asma’ bin Umais, karenanya kontroversi berawal dari kejadian alam yang terkesan melawan sunnah Tuhan dalam tradisi tata surya. Jika hanya memberikan kesempatan bershalat ashar kepada Ali bin Abi Thalib agar tidak jatuh qhada’, kejadian yang luar itu berimplikasi rendah manfaatnya. Kompensasi mukjizat harusnya berskala besar, pengalaman serupa itu justru menimpah diri Nabi Saw saat sibuk melayani pihak kafir pada perang Ahzab (Kandaq) sehingga beliau tidak sempat shalat ashar dan matahari terlanjur sudah terbenam. Demikian pula saat beliau tertidur bersama rombongan sahabat dalam perjalanan kembali ke madinah dan belum menunaikan shalat shubuh hingga matahari terbit di ufuk timur. Pada kedua kejadian itu Nabi Saw menunaikan shalat ashar dan shubuh dengan qhada’ karena telah lewat waktu regulernya, karena gejala perlawanan dengan logika keagamaan itulah, maka Imam Ahmad bin Hambal memandang mawdhu’ isi Hadits diatas. Serupa pula penilaian Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Jauzi, al-Zdahabi, Ibnu Katsir menggolongkan sebagai la asla lahu atau tidak diperoleh kebenaran sumber informasinya. Ada juga sebagian teks Hadits yang berhubungan dengan realitas atau sangat kontekstual walaupun kalangan para sarjana Hadits mengenai kedudukan Hadits ini dianggap lemah, akan tetapi sangat mendukung terhadap sarana kekinian yaitu pengetahuan empirik atau pengalaman yang berkembang saat ini. Yaitu kemajuan instrumental tekhnologi canggih telah dicapai hasil observasi ke system galaksi yang kadar kebenaran informasi tentang posisi Hadits dianggap lemah akan segera tersingkap dengan bantuan pengetahuan alam yang empirik dan mengenai hadits yang telah disinyalir oleh Nshirudin al-Albani. Dengan hasil pantauan teleskop yang yang dibawa satelet tidak merekam gambar frekuensi lemparan bola salju. Data fisika membuktikan bahwa yang meminimalisir bahaya radiasi dari panas matahari adalah faktor jarak dengan planet bumi kurang lebih 150 juta kilometer cahaya. Betapa keterliban sejumlah malaikat itu tergolong hal yang gaib namun kritik subtansi isi Hadits bias memperbantukan sarana pengetahuan kontekstual. Itulah realitas teks Hadits dengan maksud ucapan yang disampaikan nabi untuk diberlakukan untuk sebab tertentu sehingga kedudukan Hadits dalam pandangan ulama tekstualis atau konservatif terutama kalangan Imam Hambali dengan pengikut-pengikutnya yang tidak kurang absah didalam mengamabil epistemologi pengetahuan Hadits. Kesimpulan Hadits kontekstual adalah merupakan relevansi teks ungkapan dengan realitas, tujuannya adalah memperjelas makna isi yang di sandarankan dalam riwayat oleh sarjana hadits dengan cara memisahkan posisi teks Hadits Nabi baik secara bahasa lisan, bahasa tindakan serta pengakuan atau taqririyah. Dengan maksud diatas bahwa teks Hadits sebagai pemahaman sekunder dari sumber dasar pokok yaitu al-Quran. Interpretasi teks nalar Hadits seringkali menimbulkan sudut pandang yang berbeda dari kalangan ulama Hadits masa klasik sehingga terjadi legetimasi Hadits, untuk menjadi kekuasaan madzhab didalam menjalankan ibadah mu’amalah. Dengan kodifikasi teks hadits maka posisi menjadi tampak untuk mengetahui kedudukan Hadits masing-masing yang telah diklasifikasi oleh ulama Hadits. Nalar teks Hadits ini, masih ada kontroversi didalam memahami Hadits lain sebagai respont untuk menjawab masalah-masalah yang terjadi waktu dan tempat tertentu sehingga antara taks Hadist dengan Hadist lain saling integralitas, serta saling memahami secara asbabul wurud. Oleh karenanya, posisi Hadits seharusnya mengkaji kritis untuk memberikan pemahaman baru terhadap realitas yang berkembang dengan munculnya tekhnologi, serta teks Hadits mampu memaknai ulang maksud teks hadits secara kontekstual untuk melahirkan gerakan sosial yang terjadi saat ini. Dengan logika nalar Hadits tersebut sering menimbulkan pemahaman yang berbeda antara teks nalar sebagai wahyu yang dikaitkan dengan realitas yang berkembang sehingga teks Hadits tidak mengalami statis dan stagnan didalam memahami Hadits kontekstual. Pemahaman antara teks Hadits dengan nalar Wahyu serta Hadist yang lain sebenarnya terletak makna pesan yang disampaikan oleh Nabi ke-sahabat-nya untuk memahami dan menjelaskan maksud al-Quran itu sendiri. Kesinambungan periwayatan teks Hadits untuk melakukan krtik didalam isi wacana nalar Hadits perlu adanya pembuktian ilmiah secara kontekstual untuk menemukan kebenaran empati sesuai dengan ruang dan waktu serta teks nalar Hadits tetap berguna sepanjang zaman. BAHAN BACAAN Azami, Muhammad Mustafa, Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992. Al-Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Ash-Shiddiqy Hasbi, Teungku Muhammad, Sejarah&Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustakan Rizki Putra, 2009. Abbas, Hasjim, Kritik Matan Hadits, Yogyakarta: Teras, 2004. Al-Ghazali, Syaikh Muhammad, Studi Kritis Hadits Nabi Saw: Antara Pemahaman Tekstual Dan Kontekstual, Jakarta: Mizan, 1998. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: al-Jumanatul ‘Ali –ART, 2007. H. A. Salam, Bustamin M. Isa, Metodologi Kritis Hadits, Jakarta: Rajawali Pers, 2004. Mukri, H. Barmawi, Kontekstualisasi Hadits Rasulullah: Mengungkap Akar dan Implementasi, Yogyakarta: Ideal Press, 2005. Qutaibah, Ibnu, Rasionalitas Nabi Muhammad Saw: Tafsir atas Hadits-Hadits yang dianggap Bertentangan dengan Logika,al-Quran dan Hadits, (Terj), Jakarta: alGhuraba, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar