Sabtu, 16 Februari 2013

PENDIDIKAN ISLAM YANG BERBASIS SOCIAL PLANNING: UPAYA MEMBANGUN PENDIDIKAN ISLAM KRITIS TRANSFORMATIF

PENDIDIKAN ISLAM YANG BERBASIS SOCIAL PLANNING: UPAYA MEMBANGUN PENDIDIKAN ISLAM KRITIS TRANSFORMATIF Tauhedi As’ad Al-Ghazali menyatakan "keraguanlah yang dapat menyampaikan kebenaran. Seseorang yang tidak meragukan, dia berarti tidak bernalar, seseorang tidak bernalar, dia sama sekali tidak akan dapat melihat. Seseorang tidak dapat melihat, dia akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan". A. Pengantar Pendidikan Islam di Indonesia seringkali mengajarkan pendidikan keagamaan konservatif-normatif yang menyebabkan kemandulan pemikiran keislaman. Padahal pendidikan Islam seharusnya berpijak pada konteks historis-sosiologis yang akan menghantarkan kepada pemahaman yang membumi untuk keluar dari jebakan dominasi sekularisme barat sehingga pemikiran pendidikan Islam tidak mengalami stagnasi. Perkembangan pendidikan Islam kontemporer masih memasuki wilayah garapan konseptual pemikiran untuk mempertahankan identitas kependidikan Islam yang jauh dari kemajuan pendidikan di Barat, namun gagasan-gagasan pendidikan Islam tersebut terus dilakukan secara kritis dan membenahi paradigma berpikir kritis guna memberikan cakrawala pemikiran Islam kritis transformatif dengan melakukan perubahan pola berpikir kreatif dan inovatif. Secara faktual pendidikan Islam dalam kelembagaan pendidikan formal hanya berfokus pada silabus dan sistem normalisasi semata tanpa melihat adanya konstruk yang melingkupinya baik dilihat dari sisi kebudayaan, keagamaan, politiknya. Justru involusi pendidikan Islam terjadi karena tidak pernah menyentuh pada aspek historisitas atau perkembangan masyarakat secara holistik, sehingga sistem pembelajaran pendidikan Islam tidak mengikuti perkembangan kultur masyarakat pula dan bahkan pendidikan Islam selalu membosankan. Sedangkan problematika pendidikan Islam menurut Sembodo Ardi Widodo bahwa banyak hambatan yang dijumpai untuk memformulasikan tentang konsep pendidikan Islam itu sendiri dengan adanya daya tarik menarik antara aspek filosofis yang diperlukan dan aspek teologis yang agaknya sulit dilepaskan dalam pendidikan Islam. Oleh karena itu, formulasi pendidikan Islam kritis hanya dapat menjaga keutuhan dari gelombang sosial globalisasi yang sangat mencengkram terhadap proses pendidikan kita sehingga pendidikan Islam mampu mewarnai dan berperan memberikan kontribusi yang relevan terhadap tantangan dunia global. pendidikan Islam berbasis social planning yaitu untuk melakukan perubahan pola pemikiran normatif kedalam pemikiran pendidikan Islam kritis yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Maka tulisan ini hanya fokus pada upaya membangun pendidikan Islam kritis transformatif untuk mengembalikan dasar-dasar pendidikan kritis yang kontekstual sesuai dengan pesan-pesan Tuhan yang diberlakukan untuk manusia secara inovatif-konstruktif. B. Pergeseran Paradigma Pendidikan Islam berbasis social planning, sebenarnya menggunakan teori konstruktivisme sosiologis yaitu berpandangan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil penemuan sosial dan sekaligus juga merupakan faktor dalam perubahan sosial. Ilmu pengetahuan yang diperoleh sebenarnya merupakan konstruksi sosial bukan konstruksi individual, kelompok ini yang menekankan lingkungan, masyarakat, dan dinamika pembentukan ilmu pengetahuan. Dengan paradigma konstruktivisme ini, maka akan melahirkan perkembangan pendidikan Islam yang kritis untuk keluar dari dominasi kuasa dalam struktur sosial baik dalam bentuk lembaga pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan Islam, tentunya mengacu pada paradigma berpikir yang hendak diangkat kepermukaan yaitu gagasan pemikiran kritis untuk mengkritik terhadap lapisan pemahaman doktrinal-obsolut yang dapat mematikan daya berpikir kritis. Sementara konsep pendidikan Islam yang selama ini dipahami secara tekstual yang tidak mampu melakukan perubahan sosial secara signifikan sehingga cara berpikir tentang pendidikan Islam banyak dipahami secara teologis belaka. Rekonstruksi pendidikan bercorak magis, naïf harus berubah ke cara berpikir kritis sebagaimana di ungkapkan oleh Paulo Freire yaitu konsep kesadaran pendidikan harus menjadikan manusia yang manusiawi. Sedangkan magis adalah kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran naïf yaitu kesadaran yang melihat aspek menusia sebagai akar penyebab masalah. Kesadaran kritis yaitu kesadaran pada tahap ini melihat aspek sistem struktur sebagai sumber masalah. Dengan kesadaran pendidikan diatas pada umumnya masih digunakan cara berpikir konservatif di Indonesia, paling tidak pada tahapan kesadaran naïf sehingga pendidikan Islam Indonesia tidak berkembang. Oleh karena itu, untuk memulihkan pendidikan Islam konservatif perlu adanya nalar kritis dengan menggunakan teori-teori kritis serta metode berpikir kritis. Maka penulis ambil contoh: pemikiran pendidikan Islam yang mengakar dalam lingkungan umat Islam yaitu pendidikan Islam tradisional dan pendidikan Islam modern, dan juga bagaimana dua mainstream yang sama-sama mempertahankan ideologi berpikirnya bisa keluar dari dominasi nalar sehingga dikotomi ilmu pengetahuan tidak mempengaruhi terhadap lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Pendidikan Islam kritis transformatif ini, dimaksudkan untuk memberikan sumbangan pemikiran kritis secara teoritis dan berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi di dalam kehidupan sosial serta perkembangan pendidikan Islam. Paling tidak kebekuan pola berpikir kritis yang dihadapi umat Islam kontemporer, dan sekaligus mempengaruhi terhadap kelembagaan pendidikan Islam di akibatkan kemandekan berpikir kritis sehingga menular ke dalam bidang pendidikan Islam yaitu para teolog dan mistisi tampil sebagai pengawal pengetahuan Islam, dan penyebar tradisi Islam melalui penagajaran dam khotbah. Watak pendidikan umat Islam, tujuannya, isi, metode dan pranata-pranatanya di tentukan selama berabad-abad. Hampir-hampir tidak berubah selama seratus lima puluh tahun terakhir. C. Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Bercorak Kritis Konsep pendidikan Islam dalam kaitannya dengan materi pembelajaran secara kelembagaan jarang sekali wacana pendidikan keislaman yang membahas tentang pendidikan Islam bercorak kritis. Mestinya daya nalar pendidikan Islam yang di bentuk oleh sosial-masyarakat harus mampu memberikan ruang kecerdasan kritis untuk keluar dari kungkungan dominasi nalar sentralistik-hegemonik, sehingga pendidikan Islam akan melahirkan keterbukaan-universal. Dengan demikian, struktur masyarakat yang menganut paham post tradisionalisme Islam dan post modernisme Islam mampu mengakomodir persoalan-persoalan sekularisme yang didominasi oleh masyarakat Barat yang dikotomik, sehingga konsep pendidikan Islam tidak mengalami ketinggalan jauh dari peradabannya. Konsep pendidikan Islam yang berhubungan dengan pemikiran kritis untuk memahami secara sadar terhadap ilmu pengetahuan yang diperoleh. Menurut Ibnu Khaldun menjelaskan tiga tingkatan akal yang berjenjang yaitu pertama, al-aql al-tamyizi (akal pemilah), kedua, al-aql al-tajribi (akal ekspremental), ketiga al-aql al-nadhari (akal kritis). Sedangkan bagian pertama adalah akal pemilah yaitu pada umumnya cara berpikirnya hanya mendapatkan keuntungan dan mencegah kemudharatan. Kedua akal ekspremental yaitu cara berpikirnya berdasarkan pada pengalaman realitas-empiris. Sementara bagian ketiga akal kritis yaitu daya berpikirnya berkembang sempurna sehingga menjadi akal murni yang mencerahkan. Oleh karena itu, klasifikasi kesadaran akal menurut Ibnu Khaldun hampir sama dengan konsepnya Paulo Freire yaitu kesadaran magis, naïf dan kritis. Klasifikasi kesadaran akal kritis diatas, yang hendak diformulasikan adalah pendidikan Islam bercorak kritis yaitu pendidikan Islam menghadapi persoalan yang cukup serius dan rentan terhadap terjadinya krisis nilai. Pola hidup materislisme di tengah masyarakat dewasa ini tentunya sebuah tantangan berat bagi pendidikan Islam berkarakter balancing antara kepentingan dunia dan akhirat. Sebenarnya pendidikan Islam pernah menjadi nalar kritis yang berlangsung beratus tahun, salah satunya adalah formulasi dan pembaharuan sistem pendidikan Islam yang memadai. Menurut Umaruddin, zaman kejayaan dunia pendidikan Islam kritis terjadi di masa al-Ghazali, ketika itu masyarakat Islam berada dibawah naungan pemerintahan Bani Saljuk. Tercatat para tokoh Muslim terkemuka yang lahir pada masa itu, seperti al-Syahrastani, al-Raghib al-Asfihany, Umar Khayyam, Nizham al-Mulk dan al-Hariry. Masih banyak contoh yang lain penulis tidak sebutkan, tapi yang jelas tujuan pendidikan Islam tiada lain adalah ikut andil dalam menyelesaikan persoalan industri-informasi semakin kompleks yang beroreintasi pada sains dan tekhnologi yaitu pembenahan nalar kritis-konstruktif sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Didalam bukunya sutrisno, pendidikan Islam yang menghidupkan disebutkan bahwa, tujuan dikembangkannya daya kritis dalam pendidikan Islam paling tidak, mempunyai tiga kategori yaitu, pertama mempunyai pemikiran asli atau orisinil (originality), kedua mempunyai keluwesan (flexibility), dan ketiga menunjukkan kelancaran proses berpikir (fluency). Inilah pentingnya nalar kritis yang yang dilakukan oleh para ahli pendidikan untuk memberdayakan konsep-konsep pendidikan Islam secara kritis guna mampu memberikan pencerahan metodologis. Oleh karena itu, pendidikan Islam yang bersumber pada normativitas keagamaan (al-Quran) semata. Pendidikan Islam lebih dimaknai sebagai sebuah tujuan beragama, bukan sebagaimana fungsi pendidikan itu sendiri. Inilah yang disebut sebagai krisis konseptual dalam sejarah pendidikan Islam. Disini terlihat bahwa pemaknaan pendidikan Islam telah menyimpang dari makna yang sebenarnya, sehingga pengertian tentang pendidikan Islam hanya terbatas pada pendidikan agama Islam, dan bukan pengertian pendidikan Islam dalam arti proses penggalangan intelektualisme Islam. Dengan demikian, mencermati persoalan pendidikan Islam dalam kerangka pengembangan konsep dan teorisasi, tidak hanya dilihat secara normatif, tetapi juga mesti dilihat secara filosofis-empiris. Ada sebagian kalangan dari pemikir Islam di Indonesia yang mempunyai kegelisahan akademiknya terutama mengenai pendidikan Islam untuk mengubah pola-pola pembaharuan pendidikan Islam. Berbagai nilai normatif dalam ajaran Islam perlu sekali dipikirkan secara filosofis agar teraktualisasi pada dataran empiris yang dikembangkan dalam dinamika pendidikan Islam yaitu pencarian konsep pendidikan Islam tidak menutup kemungkinan melalui hubungan antara pandangan Islam dengan pemikiran pendidikan modern sepanjang ada korelasi yang kuat dalam merekonstruksi pemikiran pendidikan Islam sebagaimana yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra bahwa: Pola kajian pemikiran dan teori pendidikan Islam pada hakikatnya berusaha mengembangkan konsepsi kependidikan Islam secara menyeluruh dengan bertitik dari sejumlah pandangan dasar Islam mengenai kependidikan dan mengkombinasikannya dengan pemikiran kependidikan modern (Barat). Dalam pengertian itu, maka pola kajian seperti ini secara implisit menyarankan adanya aspirasi di kalangan pemikir pendidikan Islam untuk melakukan semacam “terobosan intelektual” guna merekonstruksi pemikiran dan teori kependidikan Islam dalam konteks tantangan dunia kontemporer. Karena itu, saatnya umat Islam di dalam pemikiran pendidikan Islam harus merokonstruksi ulang terhadap konsep dan teori yang berhubungan dengan perkembangan pendidikan modern untuk melaju masa depan intelektualisme umat Islam sehingga berimplikasi terhadap kependidikan Islam. Terbukti literatur-literatur pendidikan Islam yang berbahasa Indonesia juga di dominasi oleh isu-isu yang bersifat normatif, kurang banyak yang menyentuh terhadap persoalan-persoalan nalar kritis kontemporer yang dihadapi oleh masyarakat modern. Contoh di dalam penelitian Mahmud Arif, bahwa teks-teks pendidikan Islam menunjukkan telah mengalami terjadinya kemandekan dan kebekuan pemikiran pendidikan Islam atau involusi pendidikan Islam. Dengan demikian, kebekuan pendidikan Islam benar-benar terjadi, karena krisis konseptual dan keilmuan yang berhubungan dengan kemanusiaan, multikultural dan demokrasi. D. Membangun Pendidikan Islam Kritis Transformatif. Berdasarkan cara berpikir kritis dalam pendidikan Islam akan melahirkan transformasi sosial, karena itu pendidikan Islam tadak bisa dipisahkan dengan kehidupan sosial. Transformasi pendidikan Islam yang berhubungan dengan social planning adalah pendidikan Islam yang berbasis masyarakat untuk mengembangkan kualitas mutu pendidikan dan mengontrol pertautan pendidikan baik di lihat dari segi kekuasaan-politik dan serta ekonomi-sosial sehingga masyarakat mampu menjaga keutuhan pendidikan secara keseluruhan. Pendidikan Islam berbasis social planning, penulis membatasi dua model kategori yang pertama penarapan pendidikan berwawasan demokrasi, kedua penerepan pendidikan berwawasan masyarakat. 1. Penerapan Pendidikan Berwawasan Demokrasi Upaya membangun pendidikan Islam kritis transformatif, maka perlu adanya penegembangan pendidikan demokrasi. Demokrasi pendidikan mengandung arti, proses menuju demokrasi di bidang pendidikan. Menurut Zamroni, dalam kerangka reformasi pendidikan, demokratisasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Pasalnya melalui proses inilah diharapkan dapat muncul manusia yang berwatak demokratis. Tujuan demokratisasi pendidikan adalah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir kritis, dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik demokrasi. Dalam pandangan Azyumardi Azra, bahwa cara paling srategis mengalami demokrasi adalah melalui apa yang disebut sebagai democracy education. Pendidikan demokrasi dapat dipahami sebagai sosialisasi, diseminasi, dan aktualisasi konsep, sistem, nilai budaya, dan praktik demokrasi melalui pendidikan. Selajutnya Azra menegaskan bahwa pendidikan berwawasan demokrasi identik dengan pendidikan kewarnegaraan, meskipun pendidikan kewarganegaraan lebih luas cakupannya daripada pendidikan demokrasi. Namun yang jelas, keduanya berupaya menumbuhkan civil cultur dan civility dilingkungan pendidikan, yang pada giliranya akan menjadi kontribusi penting bagi pengembangan demokrasi yang otentik pada Negara-bangsa Indonesia. Dan senada apa yang diungkapkan oleh Syafi’i Maarif, bahwa proses penciptaan mentalitas dan kultur demokrasi kiranya dapat dilakukan melalui proses pendidikan. Dalam kaitan ini, aktualisasi sistem pendidikan yang demokratis merupakan kenicyaan yang harus disikapi secara positif oleh seluruh komponen yang terlibat dalam proses pendidikan. Menurut H.A.R Tilaar yang dikutip oleh Assegaf, bahwa inti demokrasi adalah penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa demokrasi, kreativitas manusia tidak mungkin berkembang. Sedangkan pendidikan demokrasi dengan peserta didik, paling tidak ada empat model. Pertama, diberikan kesempatan penuh mengembangkan dirinya sendiri sebagai individu yang memiliki kepribadian sehingga mampu menikmati hidupnya dengan mengembangkan kemampuannya sendiri dan dapat hidup sesuai dengan realitas yang dihadapi. Kedua, memiliki kemampuan memainkan peran sosial dan politik secara aktif sebagai warga masyarakat. Ketiga, disiapkan dengan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan minat dan kepentingannya. Keempat, dikembangkan kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat dan budayanya. Adapun pendidikan demokrasi berkaitan dengan bagaimana proses pendidikan itu dilaksanakan ditingkat lokal. Didalam pendidikan demokrasi, proses pembelajaran di kelas dapat diarahkan pada pembaharuan kultur dan norma keadaban. Fungsi pendidik dalam proses pembelajaran yang demokratis adalah sebagai fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator. Sebagai fasilitator, pendidik harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba menemukan sendiri makna informasi yang diterimanya. Sebagai dinamisator, pendidik harus berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang dialogis dan beroreintasi pada proses. Sebagai mediator, pendidik harus memberikan rambu-rambu atau arahan agar peserta didik bebas belajar. Sebagai motivator,pendidik harus selalu memberikan dorongan agar peserta didiknya bersemangat dalam mencari ilmu pengetahuan. 2. Penerapan Pendidikan Berwawasan Masyarakat Pendidikan berwawasan masyarakat merupakan kelanjutan dari unsur-unsur demokrasi yaitu pendidikan berbasis masyarakat menurut Umberto sihombing, merupakan pendidikan yang cenderung dilaksanakan, dinilai, dikembangkan oleh masyarakat yang mengarah pada usaha menjawab tantangan dan peluang yang ada dilingkungan masyarakat tertentu dengan bertujuan pada masa depan. Dengan kata lain, pendidikan berwawasan masyarakat adalah konsep pendidikan dari masyarakat, oleh masyarakat dan masyarakat. Dengan ini, acuan dalam memahami pendidikan masyarakat adalah pendidikan luar sekolah, karena pendidikan luar sekolah itu bertumpu pada masyarakat, bukan pada pemerintah. Ia dapat mengambil bentuk pusat kegiatan belajar-mengajar yang tumbuh subur dan masyarakat berlomba-lomba untuk mendirikannya. Pendidikan masyarakat sesungguhnya bukan hanya dapat dilaksanakan melalui jalur pendidikan nonformal, sebagaimana diungkapkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 13 ayat (1) menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri dari atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang saling melengkapi dan memperkaya. Oleh karena itu, pendidikan berbasis masyarakat dapat juga mengambil jalur formal, nonformal, dan informal. Sedangkan pendidikan masyarakat secara formal biasanya pendidikan diselenggarakan oleh birokrasi formal, misalnya sekolah dan Universitas. Nonformal biasanya mengambil bentuk pendidikan diluar kerangka sistem formal yang menyediakan jenis pelajaran terpilih, misalnya perpustakaan, museum. Informal merupakan proses pendidikan yang diperoleh individu melalui interaksi dengan orang lain, atau tempat, dan teman. Dalam pandangan literatur, ada tiga perspektif yang mencoba mencari landasan konseptual bagi pendidikan berbasis masyarakat. Pertama perspektif historis. Pandangan ini melihat pendidikan masyarakat sebagai sebuah perkembangan lanjut dari pendidikan berbasis sekolah. Asumsi ini juga dikemukakan oleh Winarno Surakhmad yang menyatakan bahwa pendidikan berbasis merupakan perkembangan pendidikan masyarakat merupakan kelanjutan dari pendidikan sekolah. Dalam pandangannya, konsep pengelolaan pendidikan berbasis sekolah adalah konsep yang sangat mungkin perlu di dahulukan sebagai konsep pendidikan berbasis masyarakat. Senada dengan Nourouszaman Shiddiqi, analisis historis selalu mengeluarkan dua unsure pokok yaitu periodesasi dan rekonstruksi proses asal-usul, perubahan, dan perkembangan. Pendidikan berbasis masyarakat Surakhmad ada enam kondisi yang dapat terlaksana yaitu, Pertama, masyarakat sendiri memliki kepedulian dan kepekaan mengenai pendidikan. Kedua, masyarakat sendiri telah menyadari pentingnya pendidikan bagi kemajuan masyarakat. Ketiga, masyarakat sendiri merasa memiliki pendidikan sebagai potensi kemajuan mereka. Keempat, masyarakat sendiri mampu menetukan tujuan-tujuan pendidikan yang relevan bagi mereka. Kelima, masyarakat sendiri yang menjadi pendukung pembiayaan dan pengadaan sarana pendidikan. Keenam, masyarakat sendiri aktif berpartisipasi didalam penyelengarakan pendidikan. Inilah yang dapat mendukung peekembangan dan kemjuan pendidikan berbasis masyarakat baik pendidikan yang berbentuk formal, nonformal dan informal sehingga pendidikan masyarakat berjalan secara optimal. Dalam konteks keindonesiaan, menurut Nielsen, pendidikan berbasis masyarakat menunjuk pada tujuh pengertian, yaitu (1), peran serta masyarakat dalam pendidikan, (2) pengambilan keputusan berbasis sekolah, (3) pendidikan yang diberikan oleh sekolah atau yayasan, (4) pendidikan dan pelatihan yang diberikan oleh pusat pelatihan milik swasta, (5) pendidikan luar sekolah yang disediakan pemerintah, (6) pusat kegiatan belajar masyarakat, dan (7) pendidikan luar sekolah yang diberikan oleh organisasi akar rumput seperti LSM dan Pesantren. Dari beberapa pandangan diatas tentang pendidikan berbasis social planning baik pendidikan berwawasan demokrasi maupun pendidikan berwawasan masyarakat, perlu kiranya dilandasi dengan adanya pandangan kritis, sebab pendidikan berbasis masyarakat sebagaimana diungkapkan oleh Sharon Murphy, senantiasa didasarkan pada teori dan pedagogi kritis. Pendidikan kritis adalah melakukan refleksi kritis terhadap dominasi ideology kearah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang untuk bersikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin bisa bersikap netral, bersikap obyektif, maupun berjarak dengan masyarakat. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan sistem sosial baru yang lebih adil. Dalam pandangan kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis dalam rangka transformasi sosial. Kesimpulan Dari uaraian di atas bahwa pendidikan Islam berbasis social planning merupakan bentukan struktur sosial sehingga pendidikan Islam dikonstruk oleh lingkungan masyarakat secara demokratis bahkan ilmu pengetahuanpun juga di peroleh oleh lingkungan masyarakat secara kolektif. Upaya membangun konsep pendidikan Islam bercorak kritis tersebut perlu adanya analisa kritis dengan paradigma kontekstual yang mampu terobasan intelektual untuk keluar dari nalar domanisi ideologi penguasa yang cenderung dehumanisasi terhadap konsep-konsep pemikiran pendidikan keislaman. Pada saat ini, literatur-literatur pendidikan Islam lebih cenderung kearah konseptual yang normatif-konservatif dengan lemahnya pendidikan Islam kritis, sehingga pendidikan Islam kontemporer krisis kelilmuan atau disebut involusi pendidikan Islam. Pendidikan Islam kritis transformatif merupakan upaya memberikan gagasan konseptual untuk menghidupkan kembali pendidikan demokrasi dan masyarakat, pendidikan demokrasi dan masyarakat merupakan pendidikan yang sebagian besar keputusan kependidikannya ditentukan oleh masyarakat, mulai dari masalah input, proses, dan ouput pendidikan. Pendidikan tersebut sebagai sebuah konsep yang urgensif untuk dilakukan dalam rangka demokratisasi pendidikan, karena pendidikan masyarakat tidak lepas dari kepentingan dan perjuangan politik menuju transformasi sosial. Pendidikan masyarakat demokrasi merupakan dari agenda pedagogi kritis yang senantiasa berupaya membebaskan pendidikan dari belenggu kekuasaan. Manakala pendidikan telah terbebas dari dominasi dan hegemoni kekuasaan, itu berarti demokratisasi pendidikan dapat terlaksana sesuai dengan harapan. Daftar Pustaka Abdur Rahman Assegaf dkk, Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: SUKA Press, 2007. Abdur-Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. Al-Ghazali, Mizan Amal, Pentahqiq: Sulaiman Dun-ya, Kairo: Dar al-Ma'arif, Cet-2, 2003. Asrorun Ni’am Shaleh, Reoreintasi Pendidikan Islam, Jakarta: eLSAS, 2004. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Dan Modernisasi, Jakarta: Logos, 1999. Fasli Jalal dan Dedi supriadi, (Ed), Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 200. M. Agus Nuryatno, Madzhab Pendidikan Kritis, Yogyakarta: Resist Book, 2008. Mamfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1986. Moh Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004. Muhammad Jawwad Ridla, Tiga aliran Utama Teori Pendidikan Islam Perspektif Sosiologis-Filosofis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Transformatif, Yogyakarta: Arruzzmedia, 2009. Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996. Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1997. Sutrisno, Pendidikan Islam Yang Menghidupkan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2006). Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Yogyakarta, 2006. Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung: Citra Umbara, 2003. William A. Smith, Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Zamroni, Pendidikan Dan Demokrasi Dalam Transisi, Jakarta: PSAP, 2007. Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi, Tantangan Menuju Civil Society, Yogyakarta: Bigraf. t.t.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar