Sabtu, 16 Februari 2013

REINTERPRETASI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL: MEMBANGUN PROFESIONALITAS GURU DALAM OTONOMI DAERAH

REINTERPRETASI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL: MEMBANGUN PROFESIONALITAS GURU DALAM OTONOMI DAERAH Oleh: Tauhedi As’ad Dosen FIP-IKIP PGRI Jember A. Pengantar Lahirnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional dan UU No. 14 tahun 2004 tentang guru dan dosen menandai babak baru dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Dengan perangkat UU ini pemerintah dan masyarakat Indonesia memiliki landasan yang kuat dan mengikat untuk memberikan perhatian yang besar pada dunia pendidikan sebagai wahana mencerdaskan bangsa. Sebab hanya bangsa yang cerdas dan berkualitas yang dapat membawa kepada kemajuan, kemerdekaan dari kesejahteraan di satu sisi dan bermartabat dalam fora pergaulan antara bangsa disisi lain. Namun pada perkembangan selanjutnya, dunia pendidikan bangsa mengalami benturan dengan peradaban global yang semakin terhimpit dengan persaingan pasar bebas yang berimplikasi terhadap sumber daya manusia secara keseluruhan sehingga proses pengembangan pembelajaran pendidikan juga mengalami dilematik. Persoalan yang dihadapi didalam dunia pendidikan nasional harus tetap melakukan negosiasi terus-menerus secara intensif untuk membenahi kekurangan terhadap dunia pendidikan, baik secara teoritik maupun praksis sehingga dunia pendidikan mampu bertahan dalam memberikan kontribusi pemikiran terhadap perkembangan pendidikan kedepan yang sangat diharapkan oleh masyarakat. Sedangkan hakikat dan oreintasi pendidikan adalah menciptakan nilai-nilai kemanusiaan yang bermartabat dan memiliki kualitas yang tinggi serta mampu memberikan kesadaran pendidikan yang transformatif terhadap masyarakat secara demokratis. Sementara problem pendidikan nasional secara mendasar setidaknya ada tiga pokok yang harus dikaji ulang. Yang pertama persoalan landasan dan fondasi pendidikan yang kedua persoalan sistem dan struktur pendidikan sedangkan yang ketiga persoalan operasional pendidikan. Dengan problem diatas, bagi praktisi pendidikan harus mempunyai langkah-langkah yang jelas untuk merumuskan kembali terhadap interpretasi pendidikan yang ideal agar pendidikan nasional mempunyai nilai-nilai yang berkualitas, baik yang berhubungan dengan nilai kesadaran masyarakat secara umum maupun yang berhubungan dengan infrastruktur pendidikan secara keseluruhan. Akan tetapi sebagaian para pakar pendidikan menilai bahwa konsep tentang desentralisasi pendidikan masih belum menunjukkan sumber daya manusia secara holistik, namun apa yang dikatakan oleh Benny Susetyo penerapan konsep desentralisasi tampaknya masih terwujud setengah hati. Oleh karenanya, sistem pendidikan nasional perlu adanya kesadaran kritis untuk membangun dinamika pendidikan masa depan, sehingga interpretasi pendidikan nasional harus berpihak pada kepentingan masyarakat yang plural dan majemuk. Maka kegelisahan akademik ini, mencoba untuk reinterpretasi pendidikan nasional sebagai gagasan besar untuk menjadikan pedoman bagi pelaksanaan pendidikan secara nasional, kemudian implikasi pendidikan daerah untuk menerapkan konsep desentaralisasi pendidikan yang tidak lagi "mengekor" terhadap kebijakan pemerintahan pusat yang diperuntukkan hanya kepada pemerintahan daerah untuk mengembangkan sumber daya manusia secara keseluruhan dan serta bagaimana guru mampu mengembangkan konsep dan paradigma profesionalitas yang harus dilakukan untuk menciptakan kualitas pendidikan nasional. Maka penulis menawarkan konsep pendidikan transformatif bagi profesionalisme guru sebagai pendidik yang pofesional dan transformatif. B. Reinterpretasi Sistem Pendidikan Nasional Sejak berdirinya sistem pendidikan nasional tidak lepas dari politik kebijakan pemerintah untuk mengatur peran dan fungsi dari otonomi pendidikan maka corak keputusan sistem pendidikan nasional selalu terlibat kedalam aktivitas politik yang cenderung mempertahankan kepentingan legitimasi penguasa sehingga berimplikasi pada keputusan dan ketetapan sistem pendidikan nasional yang aksentuasinya mengenai pengembangan konsep profesionalisme dan sumber daya manusia secara keseluruhan. Sementara reinterpretasi pendidikan nasional adalah mengkaji ulang terhadap landasan dan pondasi pendidikan secara umum, salah satunya mengenai isu strategis pendidikan nasional yang bersifat penting, mendasar, mendesak, berjangka panjang, dan menentukan pencapaian tujuan pembangunan nasional. Sedangkan isu strategis pendidikan nasional adalah masalah pendidikan yang harus menjadi perhatian. Disini ada dua isu strategis yaitu, dari pemerintah yang dikemukakan pada kurun waktu yang berbeda, yaitu pada 1970 (melalui proyek penilaian nasional pendidikan (PPNP) dan tahun 2005 (Restra Depdiknas 2005-2009), dan ahli senior di bidang pendidikan. Pertama, versi pemerintah pada tahun 1969/1970 dibentuk melalui proyek penilaian nasional pendidikan (PPNP) yang merumuskan masalah pokok pendidikan Indonesia dan menemukan empat masalah pokok: pemerataan, mutu, relevansi dan efiensi pendidikan. Pada saat ini, pemerintah melalui Depdiknas mengedapankan tiga masalah pokok atau isu strategis pendidikan nasional Indonesia, yaitu berkenaan dengan masalah: pemerataan dan perluasaan pendidikan, mutu dan relevansi pendidikan, dan akuntabilitas. Kedua, versi para pakar. Sejumlah ahli pendidikan tinggi yang senior di Indonesia mempunyai pandangan tentang masalah strategis bagi pendidikan nasional Indonesia. Sedangkan Tila'ar berpendapat bahwa, ada delapan masalah pendidikan yang harus menjadi perhatian. Kedelapan masalah itu menyangkut kebijakan pendidikan, perkembangan anak Indonesia, guru, relevansi pendidikan, mutu pendidikan, pemerataan, manajemen pendidikan, dan pembiayaan pendidikan. Menurutnya, permasalahan tersebut sebetulnya telah terindentifikasi data skala berbeda dalam penelitian nasional pendidikan (PNP) pada tahun 1969 saat sekitar 100 pakar pendidikan dari seluruh Indonesia berkumpul di Cipayung. Namun, setelah lebih dari 30 tahun berlalu, perubahan belum banyak. Dengan pandangan tersebut, bahwa isu-isu strategis dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu pemerataan pendidikan, mutu pendidikan (termasuk didalamnya perkembangan anak guru, relevansi), dan manajemen pendidikan (termasuk kebijakan pendidikan, efisiensi pendidikan dan pembiayaan pendidikan). Sementara "filsafat pendidikan" dikelompokkan bukan sebagai isu, namun sebagai pondasi dari penanganan isu-isu strategis tersebut, karena filsafat merupakan dasar pijakan yang dipilih untuk menentukan pilihan-pilihan mulai dari politis, strategis dan praktis. Pemerataan pendidikan telah berkenan dengan seberapa luas pendidikan telah menjangkau seluruh warga Negara? Mutu pendidikan berkenan dengan seberapa mendalam pendidikan memberikan nilai tambah kepada para peserta didik? khususnya guru dan murid. Manajemen pendidikan berkenan dengan pengelolaan institusi pendidikan sehingga pencapaian tujuan kelembagaan. Pemerataan berkenaan dengan pertanyaan siapa yang memperoleh, apakah semua sudah mendapatkannya, mutu berkenaan dengan apa yang diberikan sehingga memberikan nilai, dan manajemen berkenaan dengan pertanyaan bagaimana dikelola sehingga mencapai hasil? Ada pernyataan umum bahwa, pendidikan nasional tidak mewakili prestasi yang berkualitas pada tingkat internasional terutama pada tingkat Negara Asian bahkan urutan pendidikan bangsa kita memasuki ranking yang sangat memperhatinkan. Dengan demikian, sumber daya manusia didalam dunia pendidikan jauh ketinggalan dengan pendidikan Negara-negara tetangga, maka dengan analisis tersebut perlu adanya reformasi pendidikan untuk meningkatkan kembali terhadap kualitas pendidikan nasional secara kritis dan transformatif. Ini bisa dilihat mulai sejak pergantian kebijakan kementerian dari tahun ketahun pendidikan selalu mengalami penurunan. Apa yang menjadi penyebab dari menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia. Ada tiga indikasi dan alasan yang mengakibatkan penurunnya kualitas pendidikan nasional. Pertama, kebijakan pendidikan Indonesia tidak mempunyai visi yang jelas. Pergantian kurikulum sebanyak enam kali, yaitu kurikulum pada menteri-menteri pendidikan mulai sejak Suwandi (1947), Mashuri (1968), Syarif Thajeb (1975), Nogroho Notosusanto (1984), Wardiman Djojonegoro (1994), dan Malik Fajdar (2004). Dengan alasan ini, kurikulum nasional tidak memberikan prestasi pendidikan nasional yang tinggi. Sesuai dengan apa yang dilaporkan oleh majalah kompas bahwa: "Praksis pendidikan di Negeri ini tidak pernah lekang dari uji coba. Kebijakan dan kebijaksanaan gampang berubah. Kurikulum yang seharusnya tidak gampang berubah tanpa menisbikan faktor fleksibilitas sebagai keharusan perlu diakui praksis pendidikan selama ini minus visi. Akibat berikutnya, banyak kebijakan yang dilakukan seolah-olah sebagai kebijakan instan dan kurang disadari atas pertimbangan pedagogis-edukatif". Kedua, pendidikan Indonesia menuju bentuk yang involutif, atau "jalan ditempat", ilmplikasinya prestasi pendidikan bangsa Indonesia tidak bisa meningkat dari 60 tahun usia Indonesia merdeka masih rendah dibandingkan dengan Negara-negara tetangga. Walaupun terdapat putra Indonesia yang menjadi putra olimpiade ilmu pengetahuan dunia, namun indeks pembangunan manusia Indonesia (HDI) Indonesia masih berada pada ranking 111 dari 177 negara anggota PBB. Menurut laporan dari International Association For The Evaluation or Educational Achievement (IEA) yang berdasarkan hasil studi Trends In Internastional Mathematic And Science Study (TIMSS) pendidikan nasional menunjukkan bahwa untuk bidang matematika, siswa sekolah menengah pertama kelas II di Indonesia berada pada peringkat ke-34 dari 45 negara. Ketiga, kondisi sarana pendukung infrastruktur pendidikan yang bermutu memperhatinkan. Pada tahun 2008 dilaporkan 202.607 ruang kelas SD di Indonesia rusak berat, 8.819 ruang kelas SMA di Indonesia rusak berat, 1.195 ruang kelas SD di Indonesia rusak berat, 734 ruang kelas SMK di Indonesia rusak berat. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan anggaran dalam meningkatkan pendidikan semaksimal mungkin sebanyak 20% total dari APBN yang telah diamanatkan dalam undang-undang 1945. kondisi ini sangat temporal akan terjadinya kerusakan sarana pendidikan lembaga formal untuk meningkatkan lebih seriuas yang harus ditangani oleh pemerintah daerah setempat. Sehingga proses pembelajaran pendidikan berjalan secara langsung sebagaimana mestinya. Dengan kebijakan pendidikan nasional selalu intervensi dengan politik pendidikan penguasa, maka akan melahirkan kebijakan yang tidak jelas arah dan oreintasinya. Salah satu bukti perubahan kebijakan pendidikan adalah perubahan kurikulum dari CBSA, KBK dan sampai KTSP yang tidak prospektif. Mestinya kurikulum nasional merupakan acuan dasar didalam menguraikan peningkatan kualitas standar pendidikan nasional sehingga berimplikasi terhadap pelaksanaan pembelajaran pendidikan baik dari guru dengan siswa secara efektif untuk dijalankan kedalam satuan jenjang pendidikan secara nasional. Oleh karenanya, pendidikan nasional harus mempersiapkan diri didalam memenuhi kebutuhan dan perkembangan secara umum terhadap masyarakat kita untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. Sehingga kebijakan pendidikan nasional tidak berkesan apologik terhadap pelaksanaan pembelajaran di sekolah formal. C. Implikasi Otonomi Pendidikan Daerah Implikasi otonomi pendidikan daerah yang diberikan sepenuhnya terhadap kebijakan pemerintah daerah untuk keluar dari hegemonik dan sentralisasi pemerintahan pusat. Dengan adanya keterpurukan dan krisis multidimensi yang terjadi sejak awal penjajahan sampai era reformasi, maka pendidikan perlu adanya reformasi yang revolusioner untuk menanggulangi terhadap krisis mutidisipliner sehingga pemerintah menghasilkan keputusan sangat fundamental yang disebut dengan otonomi daerah. Sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, otonomi daerah adalah "Hak dan wewenang serta kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia." Senada dengan perspektif Pemerintah Republik Indonesia, ada dua tujuan utama kebijakan otonomi daerah secara umum. Pertama, untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat untuk meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004. Sedangkan peresmian kebijakan otonomi daerah berlaku berkenaan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undan-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Aturan otonomi daerah tersebut berlandaskan pada perkembangan dan kebutuhan masyarakat, khususnya mengenai sumber daya manusia (SDM) untuk meningkatkan kesejahteraan yang berkeadilan sesuai dengan prinsip-prisip demokrasi. Oleh karena itu, pendidikan daerah mampu ikut partisipasi didalam mengembangkan kualitas yang berhubungan dengan pendidikan nasional yang telah diatur oleh sistem pendidikan nasional yaitu terhadap pelaksanaan otonomi daerah, tujuannya adalah untuk memajukan dan mengembangkan daerah masing-masing serta perimbangan alokasi keuangan antara pemerintahan pusat sebanyak 30% sedangkan keuangan pemerintahan daerah sebanyak 70%. Ini menunjukkan adanya perubahan pemerintah daerah untuk melalukan reformasi pendidikan nasional dengan konsep desentralisasi. Desentralisasi pendidikan daerah merupakan gerakan reformasi secara revolusioner. Salah satu perubahan mendasar dari reformasi pendidikan dalam era reformasi ini adalah pertama lahirnya UU No. 22 Tahun 1999. dan kini telah direvisi dengan lahirnya UU No. 33 Tahun 2004. kemudian reformasi pendidikan juga ditandai dengan lahirnya UU No. 20 Tahun 2003, sebagai pengganti UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Kedua Undang-Undang tersebut membawa perspektif baru yang amat revolusioner dalam konteks perbaikan sektor pendidikan yang mendorong bahwa pendidikan sebagai urusan publik dan urusan masyarakat secara umum dengan mengurangi otoritas pemerintah baik didalam kebijakan kurikulum, manajemen maupun berbagai kebijakan pengembangan kelembagaan pendidikan itu sendiri. Sedangkan landasan desentralisasi secara demokratis dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 dengan berikut: ayat Pertama "Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Kedua "Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan memperdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Ketiga "Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Keempat "Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Kelima "Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan menghitung bagi warga masyarakat. Keenam "Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat. Walaupun pada sisi lain, pelaksanaan konsep desentralisasi pendidikan daerah tidak akan menjadi jaminan untuk melakukan pengembangan kualitas sumber daya manusia secara umum, namun menurut Supriyoko pendidikan sampai sekarang masih menimbulkan tanda tanya besar. Menurutnya, lebih baik dan meningkat dari sebelum adanya konsep desentralisasi pendidikan. Ia merasa perlu meragukan desentralisasi pendidikan karena beberapa hal. (a) sistem desentralisasi pendidikan merupakan barang baru dalam dunia pendidikan nasional yang tentu saja Indonesia sendiri belum pernah teruji kehebatannya. (b) banyak daerah di Indonesia yang tidak memiliki sumber daya alam keuangan dan juga manusia yang memadai untuk menjalankan desentralisasi. (c) banyaknya para pemimpin daerah yang tidak memiliki kepedulian yang memadai terhadap pendidikan itu sendiri. Ada dua otoritas kewenangan dan tanggung jawab yang dibebankan pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam konteks desentralisasi. Yang pertama, desentralisasi politis. Desentralisasi politis menyangkut segala kebijakan yang dibutuhkan untuk melaksanakan wewenang tersebut, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan sampai evaluasinya. Sementara yang kedua, desentralisasi administratif. Desentralisasi administratif menyangkut strategi pengelolaan kewenangan yang bersifat implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi pendidikan. Jika pada kewenangan politis itu bersifat mutlak, maka pada kewenangan administratif pemerintah daerah hanya berfungsi sebagai lembaga pengejawantahan bagi strategi pelaksanaan pendidikan didaerahnya. Secara garis besarnya, bahwa perjalanan otonomi pendidikan daerah dengan konsep desentralisasi banyak diragukan oleh pengamat pendidikan yang berdasarkan pada proses peningkatan mutu dan kualitas terhadap tiap-tiap jenjang pendidikan sehingga pendidikan daerah tidak mengalami perubahan yang sangat signifikan. Oleh karenanya, pendidikan daerah harus direnovasi baru untuk meningkatkan kembali paradigma berpikir konseptual yang beroreintasi pada kualitas pendidikan dilembaga pendidikan formal. Dengan semangat reinterpretasi pendidikan nasional didalam memajukan bangsa khususnya pendidikan daerah yang berbasis masyarakat untuk meningkatkan kembali terhadap kemampuan dan keahlian yang dimiliki untuk terus dikembangkan dalam dunia pendidikan. D. Paradigma Profesionalisme Guru Interpretasi pendidikan nasional telah dilakukan secara berkala berdasarkan pada konteksnya, maka pendidikan daerah harus mampu mengembangkan kualitas pendidikan yang sangat diharapkan oleh bangsa yaitu paradigma profesionalisme guru. Paradigma ini mencoba untuk mengkaji secara konseptual berdasarkan pada kualifikasi akademik yang telah diatur oleh undang-undang Nomor. 14 Tahun 2004 tentang guru dan dosen yang mengatur tentang profesionalisme. Kualifikasi minimal seseorang bisa diangkat menjadi guru dan dosen, hak dan kewajiban guru dan dosen, serta tugas-tugas teknis guru dan dosen, maka semuanya ini merupakan perangkat sistem yang akan memberikan jaminan, bahwa hasil pendidikan Indonesia akan memiliki kualitas yang baik dan mampu berkompetisi dengan sumber daya manusia dari bangsa lain di dunia. Akan tetapi untuk mengkaji tentang konsep profesionalisme, maka ada dua jenis distorsi. Pertama, kata "profesi" dianggap identik dengan pekerjaan, dengan mata pencaharian atau "okupasi". Distorsi kedua, adalah bahwa profesi dipandang sebagai keseluruhan pengetahuan dan keterampilan teknis yang harus dikuasai untuk melakukan suatu pekerjaan. Dan tidak ada hubungannya dengan persoalan-persoalan etika yang melekat pada pekerjaan itu. Kedua distorsi ini bersumber kepada pemahaman yang salah mengenai makna kata "profesi". Menurut sebuah kamus, "profession" berarti suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut pendidikan khusus yang tinggi dan rangkaian latihan yang intensif dan panjang. Kata ini berasal dari kata latin professus, derivatif dari kata profiteor, yaitu menyatakan secara terbuka. Singkatnya, profesionalisme merupakan kesinambungan untuk melakukan latihan dasar didalam mengembangkan kompetensi dan kualitas guru, agar guru mampu menguasai materi pelajaran yang diajarkan sesuai dengan materi masing-masing sehingga kualifikasi guru bisa dihandalkan secara profesional dalam proses pembelajaran pendidikan saat berlangsung. Serta guru mampu memberikan motodologi baru yang hendak diterapkan kedalam pembelajaran pendidikan dikelas saat disampaikan terhadap paserta didik baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotorik. Salah satu komponen penting untuk memajukan pendidikan bangsa adalah usaha memperdayakan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) sebagai lembaga pencetak dan pendidik guru dan calon guru. Paradigma ini merupakan langka awal untuk mempersiapkan diri sebagai profesi seorang guru didalam membangun kualitas pendidikan secara nasional agar pendidikan bangsa mempunyai peradaban sesuai dengan tutuntan ruang dan waktu. Sementara lembaga-lembaga pelatihan pendidikan yang telah disediakan oleh pemerintah untuk meningkatkan dan memperdayaan guru di upayakan terus-menerus dilaksanakan secara proporsional agar guru mempunyai prestasi yang dinginkan oleh bangsa, serta mempu memberikan paradigma baru terhadap pendidikan kedepan. Kemudian kompetensi guru sebagai tujuan pendidikan didalam pembelajaran pada tiap-tiap unit, sedangkan menurut teori menjamin S. Bloom membagi tujuan pembelajaran menjadi tiga yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Bagian pertama, kompetensi kognitif terdiri dari enam kategori. Pertama, knowledge yaitu kemampuan untuk mengingat dan mengetahui sesuatu secara benar. Kedua, comprehension yaitu kemampuan untuk memahami apa yang sedang dikomunikasikan dan mampu mengaplikasikan ide tanpa harus mengaitkan dengan ide lain, juga tanpa harus melihat ide itu secara mendalam. Ketiga, application yaitu kemampuan untuk menggunakan sebuah ide, prinsip-prinsip dan teori-teori pada kasus baru pada situasi yang spesifik. Keempat, analysis yaitu kemampuan untuk menguraikan ide-ide pada bagian-bagian konstituen, agar semua unsur dalam organisasi itu menjadi jelas. Kelima, synthesis yaitu kemampuan untuk memposisikan seluruh bagian menjadi satu kesatuan yang utuh. Keenam, evaluation yaitu kemampuan untuk menilai apakah ide, prosedur dan metode yang digunakan itu sudah sesuai dengan kriteria atau belum. Bagian kedua, kompetensi afektif terdiri dari lima kategori. Pertama, receiving yakni mendatangi, menjadi peduli terhadap sebuah ide, sebuah proses atau sesuatu yang lain, dan ada keinginan untuk memperhatikan sebuah fenomena yang khusus. Kedua, responding yakni memberikan respons pada tahap pertama dengan kerelaan, dan berikutnya dengan keinginan untuk menerima dengan kepuasan. Ketiga, valuing yakni menerima nilai dari sesuatu, ide, atau prilaku, memilih salah satu nilai yang menurutnya paling benar, selalu konsisten dalam menerimanya dan bahkan terus berupaya untuk meningkatkan konsistensinya. Keempat, organization yaitu kemampuan mengorganisasikan nilai-nilai, menentukan pola-pola hubungan antara satu nilai dengan lainnya, dan mengadaptasikan prilaku pada sistem nilai. Kelima, characterization yakni kemampuan menggeneralisasi nilai-nilai dalam tendensi control, penekanan pada konsistensi dan kemudian mengintegrasikan semua nilai menjadi filosofi hidup. Bagian ketiga, kompetensi psikomotorik terdiri dari empat kategori. Pertama observing yaitu mengamati proses, memberikan perhatian terhadap step-step dan teknik-teknik yang dilalui dan yang digunakan dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan atau mengartikulasikan sebuah prilaku. Kedua imitating yaitu mengikuti semua arahan, tahap-tahap dan teknik-teknik yang diamatinya dalam menyelesaikan sesuatu dengan penuh kesadaran dan dengan usaha yang sungguh-sungguh. Ketiga practicing yaitu mengulang tahap-tahap dan teknik-teknik yang mencoba untuk diikutinya, sehingga menjadi kebiasaan. Untuk itu diperlukan semangat dan memperlancar langkah-langkah tersebut melalui pembiasaan terus-menerus. Keempat adapting yaitu melakukan penyesuaian individu terhadap tahap-tahap dan teknik-teknik yang telah dibisakannya, agar sesuai dengan kondisi dan situasi pelaku sendiri. E. Analisis Dilematik Profesionalitas Guru Pada saat ini, perkembangan pendidikan guru sangat memperhatinkan bahkan tidak lagi perhatian terhadap lembaga pendidikan. Ada sebuah pernyataan yang sangat menakjubkan mengenai nasib pendidik lebih fokus adalah guru terutama lembaga pendidikan swasta. Nasib pendidikan di Indonesia memang sungguh menyedihkan. Kenyataan ini diperkuat oleh media massa yang menyatakan bahwa, Indonesia termasuk satu dari tujuh Negara yang dinilai oleh organisasi guru internasional yang tidak memperhatikan bidang pendidikan. salah satu bagian dari lemahnya pendidikan di Indonesia adalah tidak memperhatikan terhadap perkembangan pendidikan sehingga guru harus bertanggung jawab secara profesional serta mengembalikan citra nama bangsa. Oleh karenanya, guru harus diberikan kebebasan berpikir untuk melangkah dan berbuat secara benar sesuai dengan kebijakan otonomi pendidikan daerah. Sedangkan munculnya sikap dilematik itu dipicu oleh berbagai alasan antara lain. Pertama, ketidaksiapan sumber daya manusia didaerah itu sendiri. Secara obyektif hanya sedikit daerah yang mampu menjalankan otonomi pendidikan yang diberikan oleh pusat. Kedua, ketidakjelasan jenis otonomi yang diberikan kepada daerah, mengingat masih terdapat banyak harapan yang ditumpukan oleh pusat kepada daerah, seperti kurikulum nasional. Juga masih adanya beberapa kewenangan yang diserahkan kepada daerah Tingkat I (Provinsi), sehingga dengan demikian, otonomi sebetulnya tidak sepenuhnya otonom. Kedepan tetap akan terjadi tarik menarik antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Ketiga ketidakjelasan sumber pembiayaan pendidikan diambilkan dari APBN, setelah melakukan otonomi nanti anggaran pendidikan diambilkan dari mana? jika hanya diambilkan dari APBN, maka berarti besarnya antar daerah tidak sama, sehingga hal itu justru makin memperburuk mutu pendidikan. Untuk mengetahui seberapa jauh implikasi politis dari pelaksanaan otonomi daerah, sebenarnya dapat dilihat dari kesiapan para guru sendiri maupun Pemda Kabupaten/Kota dalam memahami makna dan pelaksanaan otonomi daerah. Beberapa pertanyaan mendasar yang berkaitan erat dengan dilematik profesionalisme guru dan kiranya harus memahami implikasi-implikasi politis dari pelaksanaan otonomi daerah yang akan berdampak secara langsung terhadap nasib pendidikan masa yang akan datang. Pertama, sejauh manakah guru, aparat birokrasi di Kanwil dan Kandep P dan K, serta Kabupaten/ kota memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah otonomi daerah? Seberapa banyak diantara kita telah membaca apalagi mendiskusikan isi UU No. 22/1999 serta peraturan-peraturan lain yang terkait dengan otonomi daerah, terutama menyangkut pendidikan. Bagi praktis pendidikan, paling tidak harus mendiskusikan kembali terhadap pendidikan yang berkaitan dengan isi undang-undang tersebut untuk mengkritisinya. Kedua, bentuk-bentuk respon macam apakah yang telah diberikan oleh masing-masing pihak (guru maupun birokrasi pemda dati II ) dalam menghadapi pelaksanaan otonomi daerah itu. Tampaknya dalam hal respon ini masing-masing pihak cenderung tidak acuh. Aparat kanwil p dan k pusing terhadap dirinya sendiri karena institusinya akan dihapuskan, sedangkan pemda dati II sibuk dengan usaha meningkatkan pendapatan asli daerah dan menganggap pendidikan bukan urusannya, sedangkan guru menganggap otonomi daerah itu urusannya orang-orang besar. Tugas saya adalah mengajar. Ketiga, seberapa besar otonomi daerah tercakup otonomi pendidikan, mampu menciptakan pengelolaan pendidikan yang lebih efektif, efisien, serta mampu meningkatkan profesionalisme para guru. Hal itu mengingat salah satu tujuan dari pelaksanaan otonomi itu, adalah terciptanya suatu tatanan birokrasi yang lebih efektif dan efisien, sehingga dalam malayani masyarakat bisa lebih profesional. Bila kelak akhirnya birokrasi tidak bertambah efektif, efisien, dan profesional, maka pelaksanaan otonomi perlu mendapatkan koreksi serius. Keempat, seberapa besar tingkat apresiasi birokrasi di daerah terhadap perubahan-perubahan tatanan dalam bidang pendidikan, serta terhadap berbagai model pendidikan yang dikembangkan oleh masyarakat. Komitmen daerah itu akan terlihat sekaligus ditentukan dari seberapa besar anggaran keuangan daerah yang dialokasikan bagi pengembangan pendidikan. Kelima, bagaimana menggali sumber-sumber dana untuk pengembangan pendidikan, agar disatu pihak, tidak menghambat peningkatan profesionalitas guru tapi dipihak lain tidak membebani masyarakat atau murid. Pertanyaan ini penting dikemukakan di sini; mengingat salah satu ciri khas mentalitas birokrat pemda yang diwariskan oleh orde baru adalah dalam bentuk suatu instansi baru di pemda, pada dasarnya adalah harus ada sumber pungutannya. Artinya, ikatan suatu bentuk Dinas baru, bila Dinas itu diketahui jelas memiliki sumber pungutan sebagai pembiayaanya. Jika tidak, mereka akan bertanya, dari mana sumber pembiayaannya. Hal itu juga bisa berlaku pada pembentukan Dinas pendidikan di daerah. Jangan-jangan pembentukan Dinas itu tidak dimaksudkan untuk mengembangkan pendidikan di daerah, tapi karena dipandang disektor pendidikan banyak hal yang banyak dipungut. Ini berbahaya sekali, karena pasti akan menjadikan pendidikan sebagai komoditas. Keenam, bagaimana menciptakan suatu sistem pendidikan yang lentur agar pendidikan pasca otonomi tidak menanamkan pandangan yang lokal-sentris, sehingga pendidikan pasca otonomi tidak menyumbang terjadinya konflik horizontal yang makin luas. Kecenderungan yang muncul sekarang adalah pendaerahan semua jabatan sehingga memicu timbulnya konflik horizontal. Praktek pendidikan pasca otonomi mestinya mampu mengembangkan sistem berfikir terbuka sehingga tidak melahirkan orang-orang yang kerdil kedaerahan. Ketujuh, bagaimana memaknai konsep profesionalisme guru dimasa mendatang. Hal ini terkait dengan otonomi daerah itu sendiri yang menuntut peran guru lebih luas lagi. Tidak sekedar menjadi tenaga pengajar di kelas, tapi juga memiliki kemampuan menyusun kurikulum loka, modul pembelajar, melakukan lobi dan negosiasi kepada legislative maupun eksekutif untuk menggolkan rancangan kebijakan pendidikan yang lebih menjawab kebutuhan masyarakat. F. Guru Sebagai Pendidik Profesional Dan Transformatif Guru bukan hanya sebagai profesi mengajar melainkan guru merupakan sistem sosial yang mempunyai kekuatan untuk melakukan pembebasan baik lembaga pendidikan formal maupun lembaga pendidikan diluar sekolah. Pendidik mampu merancang dan merumuskan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat baik yang berhubungan masalah proses pembelajaran, evaluasi pendidikan serta menjadi agensi masyarakat yaitu pengabdian langsung terhadap masyarakat. Oleh karena itu, guru sebagai pendidik transformatif mampu mewarnai terhadap dinamika dan perkembangan yang terjadi pada pendidikan bangsa sehingga guru mampu membebaskan dari hegemonik kekuasaan yang diskriminatif. Sementara persyaratan jadi guru yang transformatif dan profesional berarti memiliki komponen-komponen yang diperlukan untuk mampu mendidik secara profesional. Di antara kompetensi-kompetensi yang diperlukan sebagai pendidik profesional antara lain. Pertama, mengenal peserta didik secara mendalam. Kedua, menguasai bidang studi. Ketiga, menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik. Keempat, meningkatkan profesionalitas secara keberlanjutan dan. Kelima, meningkatkan profesionalitas pelaksanaan tugas sebagai pendidik (kepribadian, pembelajaran, dan komunikasi). Sementara menurut Mulyasa, bahwa guru sebagai pendidik yang profesional diidealkan mampu menjadi agen pembelajaran yang edukatif, yaitu dapat menjadi fasilitator, pemacu, perekayasa, dan inspirator. Sedangkan guru mempunyai konsepsional secara ideal yang harus diamalkan oleh guru baik guru dibawah naungan Depdiknas maupun dibawah naungan kementerian agama untuk mengembangkan kriteria pembelajaran edukatif sebagai berikut: Sementara Guru sebagai fasilitator pembelajaran, berarti pendidik: pertama membantu memudahkan dan membantu peserta didik dalam belajar. Kedua tidak berperan sebagi satu-satunya sumber belajar, melainkan berperanan sebagai salah satu sumber belajar. Ketiga, berupaya memberdayakan sumber daya peserta didik sehingga mereka dapat berkembang optimal. Kemudian, Prinsip-prinsip (a) guru sebagai fasilitor pembelajaran, berarti pendidik sebagai; guru membantu memudahkan dan membantu peserta didik dalam belajar dan guru tidak berperan sebagai satu-satunya sumber belajar, melainkan berperanan sebagai salah satu sumber belajar. Kemudian guru berupaya memberdayakan sumber daya peserta didik sehingga mereka dapat berkembang optimal. Sedangkan langkah-langkah guru sebagai motivator pembelajaran, berarti pendidik sebagai; mendorong dan menggerakkan peserta didik agar mereka semakin giat dalam belajar. Memiliki kemampuan membangkitkan semangat dan kesadaran diri peserta didik sehingga mereka terbiasa belajar. Guru harus dapat menggunakan prinsip-prinsip Selanjutnya (b) guru sebagai pemicu pembelajaran, berarti guru sebagai berikut; guru dituntut memiliki kemampuan mengoptimalkan berbagai kondisi prima dan semakin giat dalam belajar. Dituntut selalu berada di sekitar peserta didik dan memahami sebagai kelebihan dan kelemahan paserta didiknya. Menegtahui kapan peserta didik harus belajar dan kapan peserta didik harus beristirahat. (c) Guru sebagai perekayasa pembelajaran, berarti guru sebagai berikut; Mampu merancang, mengembangkan, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Tidak memandang kegiatan pembelajaran sebagai kegiatan yang dinamis dan inovatif yang perlu dikembangkan dan dimutakhirkan secara terus menrus sesuai kebutuhan peserta didik. (d) Guru sebagai inspirator pembelajaran, berarti guru sebagai berikut; Dituntut memiliki peranan sebagai pemberi pembelajaran kepada peserta didik. Wajib mengemukakan berbagai gagasan, kegiatan dan tugas pembelajaran yang dapat menyebabkan peserta didik belajar. Wajib memperkarsai kegiatan belajar paserta didik. Mengetahui kemana dan kegiatan-kegiatan belajar apa saja yang akan dilakukan peserta didik. Pendidik transformatif memandang proses pedagogis tidak sekedar diarahkan untuk membantu peserta didik memperoleh tingkat ketrampilan kognitif yang tinggi agar dapat menguasai ketrampilan-ketrampilan teknis yang diperlukan dalam dunia kerja. Ini adalah kecendrungan utama pendidikan saat ini. Proses edukatif dan pedagogis saat ini lebih diarahkan untu mengorientasikan peserta didik dapat sukses di tengan kompetensi dunia kerja yang keras. Manyoritas publikpun juga beranggapan bahwa sukses akademik identik dengan sukses dengan dunia kerja dan menjadi pekerja yang produktif. Pendidikan transformatif memandang sukses akademik tidak hanya diukur oleh indikator-ndikator keseksesan kerja, tetapi juga sejauhmana pesrta didik mampu menjadi warga yang kritis, aktif, dan bertanggung jawab. Pendidik trasformatif menyakini peserta didik untuk berpartisipasi dalam penciptaan sejarah manusia. Pendidik transformatif memandang perlu dikembangkan language of critique dan language of possibility dalam pendidikan. artinya, pendidikan seharusnya menjadi media kritik atas realitas sosial dan sekaligus mampu menawarkan kemungkinan-kemungkinan dikembangkannya wilayah publik yang demokratis. Jika kosa kata ini telah menjadi bagian dari pendidikan bisa di posisikan sebagai kritik ideologi yang punya kekuatan aktif dan potensi untuk melakukan kritik sosial dan membangun pandangan yang kritis terhadap dunia, bukan sebagai pemelihara status quo. Jika diposisikan sebagai ideologi kritik, pendidikan mempunyai kekuatan untuk mendefinisikan, memproduksi dan mengubah habitus sosial. Sayangnya, language of critique dan language of possibility, semakin lama semakin hilang akibat derasnya arus pragmatisme pendidikan. Saat ini dunia pendidikan di hadapkan pada persoalan serius, yaitu semakin dominannya corporate values dalam pendidikan nasional. Di beberapa institusi pendidikan nilai korporasi telah menjadi corporate values mengalahkan academic values, yang seharusnya selalu menjadi basis institusi pendidikan. jika kecendrungan seperti ini terus berlangsung maka pendidikan disanksikan mempunyai peran yang signifikan dalam membentuk pendidikan publik, politik, dan kultural. Justeru yang terjadi sabaliknya, pndidikan akan dibentuk oleh dunia pasar. Akibatnya, yang ditekankan dalam proses pembelajaran adalah bagaimana beradaptasi dengan dunia industri. Ilmu yang diajarkan lebih mengarah kepada ilmu-ilmu teknis-praktis. Pendidikan transformatif berupanya untuk membentengi dunia pendidikan dari cengkraman nilai-nilai korporasi. Kesimpulan Sampai saat ini, pendidikan nasional tdak menjadikan tolak ukur prestasi secara internasional, karena kualitas dan sumber daya manusia mengalami penurunan sehingga pendidikan nasional setiap tahunnya selalu ketinggalan dengan Negara-negara tetangga. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya semangat untuk memperhatikan perkembangan pendidikan bangsa terutama pengontoran evaluasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara intergralitas. Pendidikan semacam ini juga melahirkan perubahan baru yang disebut dengan otonomi pendidikan daerah yang harus dikelolah oleh pemerintah daerah masing-masing. Baik berhubungan denga Perencanaan Pendidikan, Manajemen Pendidikan dan Infrastruktur pendidikan secara umum. Dengan dasar otonomi pendidikan daerah, maka pendidikan sangat urgenstif untuk membuka peluang kesadaran baru yang sangat kritis transformatif didalam memajukan pendidikan daerah masing-masing. Akan tetapi pada perkembangan pendidikan nasional yang terdesentralisasi mengalami kendala serius yaitu adanya raja-raja kecil saling mempertahankan kepentingan pemerintah daerah setempat sehingga akan mempuruk perkembangan kualitas pendidikan bangsa. Sedangkan guru sebagai sarana pewaris dari ilmuan-ilmuan sebelumnya untuk memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia, guna bangsa kita akan menjadi manusia berpikir alias berpikir berpikir sesuai dengan undang-undang dasar Negara 1945. Sementara guru merupakan kewajiban sebagai pendidik yang profesional yang telah diatur oleh undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Oleh karenanya, guru tidak hanya mandek didunia pembelajaran, akan tetapi guru juga mampu menjadi pelopor untuk mengembangkan sayap kritis transformatif untuk melakukan perubahan realitas sesuai dengan situasi dan kondisi. Sehingga guru mempunyai kesan yang baik terhadap masyarakat, karena guru merupakan perwakilan orang Tua yang ada dirumah, maka peserta didik harus berposisi subyek bukan obyek didalam dunia pendidikan. Pendidikan anak merupakan keharusan untuk menjaga perkembangan dan kepribadian sehingga perjalanan masa depan anak akan mencerahkan. Daftar Pustaka A Smith, William. Conscientizacao, Tujuan Pendidikan Paulo Freire (Terj) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). Buchori, Mochtar. Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta: Kanisius, 2001). Darmaningtyas. Pendidikan Rusak-Rusakan, (Yogyakarta: LKiS, 2007). Charles, Weingartner. Mengajar Sebagai Aktivitas Subversif, (Yogyakarta: Jendela, 2001). Freire, Paulo. Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan Dan Pembebasan (Terj), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007). Fajar, Malik. Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005). H.A.R. Tilaar. Kekuasaan & Pendidikan, Suatu Tinjauan Dari Perspektif Studi Kultural, (Jakarta: Indonesia Tera, 2003). Karim, Muhammad. Pendidikan Kritis Transformatif, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009). Komisi Nasional Pendidikan, Menuju Pendidikan Bermutu Dan Merata, (Jakarta: Laporan Komisi Nasional Pendidikan, 2001). Musthofa, Imam Machalli. Pendidikan Islam Dan Tantangan Globalisas (Ed), (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004). Nugroho, Riant. Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi, dan Srategi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). Nuryatno, M. Agus. Mazhab Pendidikan Kritis, (Yogyakarta: Risist Book, 2008). Rosyadah, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Kencana, 2007). Rogib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam, (Yagyakarta: LKiS, 2009). Susetyo, Benny. Politik Pendidikan Penguasa, (Yogyakarta: LKiS, 2005). Sirozi, M. Politik Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers. 2007). Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan Bagian 4 Pendidikan Lintas Bidang, (Bandung: IMTIMA, 2007). ___________________________ FIP-UPI Ilmu & Aplikasi Pendidikan Bagian 2 Ilmu Pendidikan Praktis, (Bandung: IMTIMA, 2007). Zubaedi. Pendidikan Berbasis Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007). UU RI N0M0R 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen Serta UU RI N0M0R Tentang Sisdiknas, (Bandung: Citra Umbara, 2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar